Tiga hari telah berlalu, Naura pulang ke asramanya. Setibanya di asrama, Naura memeluk Mira dan berkata “Doain Ayah Naura yang kak, semoga Ayah Naura diberi kekuatan untuk bisa bertahan”. Seketika air mata Mira menetes dengan sendirinya. Mira berusaha menenangkan Naura yang ikut menangis. “Iya kakak akan selalu doain ayah kamu, agar ayah kamu bisa bertahan dan kuat, maaf ya dek kemarin kakak berbohong sama kamu soal kabar ini, kakak tidak mau kamu sedih jadi kakak terpaksa berbohong,” ujar Mira sembari menyeka air matanya. “Iya kak, tidak apa-apa,” jawab Naura. “Bagaimana kabar ibu kamu?” tanya Mira. “Alhamdulillah ibu sudah lumayan membaik, tinggal nunggu lepas jahitan luka-luka ditubuh ibu karena sobeknya lebar,” jawab lagi Naura. “Alhamdulillah kalau begitu,”.
Mira mencoba menghibur Naura dengan segala cara, agar Naura tidak berlarut dalam hal ini dan kembali bersemangat. Seminggu sudah tidak ada kabar dari rumah mengenai perkembangan ayah Naura. Mira mencoba menelepon ayahnya dengan telepon asrama. Lama tidak terjawab, tiba-tiba terdengar suara ayah Mira yang sedang mengobrol dengan pengasuh asrama. Mengira bahwa itu ayahnya. Mira segera bertanya kepada pengurus asrama siapakah yang bertamu pagi hari. “Mbak, mau tanya siapa pagi-pagi begini bertamu? Bukanya Abah tidak menerima tamu pagi-pagi karena mengganggu aktivitas ngaji santri?” tanya Mira dengan penasaran. “Bukanya itu ayah kamu?”, jawab pengasuh dengan terkejut karena Mira tidak mengetahuinya.
Sontak Mira terkejut, Karena jam segini ayahnya berjualan sayur. Mira mencoba mengintip arah ruang tamu memastikan itu bukan ayahnya. Hampir saja ingin mengintip ke arah ruang tamu terdapat panggilan bahwa Mira dijenguk. Mira semakin penasaran mengapa ayahnya menjenguk pagi-pagi sekali. Mira berjalan ke arah ruang tamu menemui ayahnya. Ayah Mira memeluk Mira. Mira semakin penasaran tiba-tiba ayahnya memeluknya. Pengasuh asrama pergi meninggalkan ayah dan Mira untuk mengobrol lebih dalam. Setelah pengasuh pergi, Mira bertanya kepada ayahnya “Ayah ada apa tiba-tiba memeluk Mira dan kelihatan sedih?”.
“Tidak ada apa-apa nak, Naura mana? Hari ini Naura dan kamu pulang”, jawab ayah Mira. “Naura ada di dalam yah, pulang? Kenapa yah?” tanya Mira yang semakin penasaran. “Tidak ada apa-apa, tolong panggilkan Naura dan bersiap-siaplah kalian pulang hari ini”, jawab ayah Mira menenangkan Mira. “Baik yah, sebentar Mira panggilkan”, ujar Mira.
Tak lama kemudian Mira dan Naura datang dan menemui ayah Mira. Ayah Mira bertanya “Sudah siap?”. Naura yang bingung mengapa pakde nya menjemput pagi-pagi sekali balik bertanya, “Pakde kalau boleh tau mengapa pakde jemput kita pagi-pagi sekali?”. “Tidak ada apa-apa, sudah ayo pulang, pamit dulu ke Abah dan umi kalian”, jawab ayah Mira menenangkan Naura. Abah dan umi pengasuh asrama pun datang menemui ayah, Mira serta Naura. Ayah Mira berpamitan untuk mengajak Mira dan Naura pulang. Sebaliknya Naura dan Mira juga pamit. Karena sudah tau tentang kabar ini, Abah dan umi mengizinkan Naura dan Mira pulang. Setelah berpamitan, Mira dan Naura masuk mobil yang sudah terparkir di depan asrama. Selama perjalanan Naura menerka-nerka karena masih penasaran mengapa pakde nya menjemput pagi-pagi sekali. Berbeda dengan Mira, Mira merasa ada yang tidak beres. Perasaan Mira mulai tidak enak dan jantungnya berdegup sangat kencang. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Mira pun heran mengapa tiba-tiba perasaannya tidak enak dan khawatir. Mira bertanya kepada Naura yang tidak ada perasaan seperti yang dirasakan Mira. “Dek, adek tidak deg-deg kan atau perasaannya tidak enak gitu?”.
Naura menoleh kearah Mira dan menjawab “Tidak kak, Naura biasa aja, kakak kenapa keluar keringat dan seperti deg-deg kan begitu? Kaya habis olahraga aja”, dengan sedikit candaan. “Tidak tau ini dek, tiba-tiba begini”, ujar Mira.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, tibalah di desa Naura dan Mira tinggal. Ayah Mira memakirkan mobil milik di sebelah rumah tetangga yang kebetulan memiliki lahan yang luas. Naura dan Mira turun dari mobil, dari kejauhan tampak tratag terpasang didepan rumah Naura. Naura semakin bingung mengapa ada tratag yang terpasang disana. Naura menerka-nerka apakah akan ada acara syukuran atau acara lain. Mira yang langsung menyadari dan melihat bendera kuning tertancap di sebelah rumah Naura, langsung meneteskan air mata. Kakek Naura menyambut dan menghampiri Naura yang terpaku setelah turun dari mobil. “Kek, ada acara apa? Mengapa banyak orang yang datang? Apakah kakek mengadakan acara syukuran buat ayah? Apakah ayah sudah pulang?”, tanya Naura kepada kakeknya. Tetapi kakek Naura tidak menjawab dan langsung merangkul Naura untuk segera masuk rumah. Mira dan ayahnya mengikuti dari belakang. Saat perjalanan, Naura menatap terdapat bendera kuning yang menancap di sebelah rumahnya tetapi tetap berfikir positif. Sesampainya dirumah, ibu Naura memeluk Naura dan meneteskan air mata. Naura yang terpaku, kemudian bertanya kepada ibunya,” Ibu, mengapa ibu menangis? Apa ayah sudah pulang?”. Ibu Naura melepaskan pelukannya dan menyeka air matanya yang mengalir. Sembari menjawab pertanyaan Naura “Iya ayah sudah pulang, tapi ayah tidur Naura jangan ganggu ayah tidur ya,” ujar Ibu Naura.
Naura hanya menganggukkan kepalanya dan berusaha tetap positif. Setelah itu, Ibu Naura mengantarkan Naura dan Mira di ruang tamu. Disana terdapat banyak orang yang mengaji untuk seorang yang dibalut kain putih didepannya. Naura yang melihatnya berusaha untuk kuat dan tidak rapuh dalam hal ini. Berbeda dengan Mira, Mira membungkam mulutnya dan menangis. Melihat seorang yang dibalut kain putih adalah om yang selama ini dia sayangi. Tetapi dalam hal ini, Mira tidak mau kelihatan sedih yang berlarut-larut. Mira merangkul Naura dan mengajaknya untuk duduk sertai ikut dengan orang-orang yang ada disana. “Dek, ayo kita kesana ikut orang yang ngaji,” ajak Mira dengan menahan air mata yang akan jatuh lagi.
Naura menoleh kearah Mira dengan tersenyum tipis. “Baik kak”. Setelah itu, mereka bergabung dengan orang-orang yang ada disana tetapi tepat didepan seorang yang berbalut kain putih tersebut. Menyadari bahwa seorang itu merupakan orang yang disayanginya, Naura hanya berpasrah kepada Allah dan takdir. Setelah mengaji, Mira mendengar dan menoleh ke arah Naura yang berkata sembari menahan air mata yang akan keluar. “Ayah, Naura mau cerita, kalu Naura sudah menjadi lebih baik sesuai dengan apa yang diinginkan ayah. Oh ya Naura juga sebentar lagi mau menghafal Al-Qur’an sesuai dengan apa yang di cita-citakan ayah dulu. Maafin Naura ayah, kalau Naura dulu banyak salah dan nakal sekali. Naura terkadang tidak mau mendengar apa yang diomongin ayah. Naura janji akan membanggakan ayah dan ibu kelak. Naura insyaallah akan menjaga ibu. Ayah juga disana tenang ya, Naura juga janji akan selalu mendoakan ayah di setiap selesai shalat maupun tidak”. Mira kembali meneteskan air mata Lalu memeluk Naura dan berusaha menguatkannya.
Tak lama kemudian, acara pemakaman pun tiba. Naura, Mira serta rombongan keluarga mengantarkan jenazah ayah Naura sampai ke tempat pemakaman. Selama perjalanan Naura hanya terdiam dan masih terpaku. Sesampainya di tempat pemakaman, jenazah diturunkan ke liang lahat. Ayah Mira membantu menurunkan jenazah ayah Naura. Setelah diturunkan, diazankan kemudian ditimbunlah liang jenazah dengan tanah. Setelah tertimbun, Naura, Mira dan keluarga menaburkan bunga diatas makam Kemudian meninggalkan makam. Naura masih terpaku dengan meneteskan air mata dimakam ayahnya. Mira mencoba menenangkan Naura dan membujuknya untuk pulang.
“Sebentar kak, Naura masih ingin disini dulu,” ujar Naura. “Baik, tapi adek jangan sedih terus ya, ingat kalau adek nangis terus nanti Om Irwan juga ikutan sedih,” kata Mira dengan menenangkan Naura. “Iya kak, Naura harus kuat dan tabah biar ayah juga tidak sedih disana biar ayah bisa tenang,” ujar Naura. Setelah itu, Mira dan Naura meninggalkan makam dan berjalan untuk pulang.
Seminggu sudah berlalu.. Naura kembali ke asrama dengan diantar ayah Mira. Sesampainya di asrama, Mira menyambut dengan hangat. Mira menunggu kepulangan Naura yang sudah di dahuluinya tiga hari yang lalu. Mira membawa Naura masuk kamar. Naura berkata kepada Mira dengan tersenyum. “Kak, mungkin Allah sayang banget sama ayah ya, sampai ayah diambil dulu, beruntung sekali ayah termasuk orang yang disayang Allah”.
Mira yang mendengar ucapan Naura langsung membendung air mata dan menjawab perkataan Naura “Iya dek, tapi adek harus kuat ya, kita bisa lewati sama-sama. Adek juga harus doain ayah adek terus biar ayah adek bahagia disana, bisa tersenyum melihat putri kesayangannya sudah menjadi lebih baik dan tidak cengeng.”
Naura ketawa tipis kemudian menatap Mira dengan penuh perasaan. Kemudian bertanya “Kak, apakah kakak masih mau menjaga aku sampai aku berhasil disini meskipun nanti aku sudah besar dan bukan anak kecil lagi?”.
Mira sontak terkejut dan langsung merangkul Naura sembari berkata “Sampai kapan pun kamu itu adek kakak, walaupun kamu sudah besar kakak akan tetap menganggap kamu masih kecil dimata kakak, entah sampai sebesar apa kamu nantinya kamu adalah adek kakak, dan kakak sudah berjanji sama Om Irwan untuk jaga kamu. Dan janji itu harus ditepati. Kakak akan jaga kamu sebisa dan sekuat kakak. Kamu boleh anggap ayah kakak ayah kamu juga. Kita buka cerita baru di setiap detik, menit, jam dalam lembaran yang kamu lewati bersama kakak disini”. Setelah itu, Naura dan Mira berpelukan.
Cerpen Karangan: Desti Kurnia Puspitaningrum Blog / Facebook: Destikurniapuspitaningrum