Perjalanan yang tak mudah untukku sampai di kota ini, kota yang sebagian besar orang bilang sebagai kota yang cukup ramah bagi anak manusia sepertiku ini, anak manusia yang bermodal nekat dan keyakinan untuk memperbaiki hidup dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bermodal beasiswa yang kudapatkan menjadikan aku seorang mahasiswa program diploma pada jurusan bahasa inggris, ya perkenalkan namaku Syarif An-Nur.
Sedikit cerita tentang kehidupanku, aku tumbuh dan besar di sebuah Desa yang tidak terlalu pesisir dan juga tidak terlalu ke kota, bisa dibilang tengah tengahnya. Desaku mungkin saat ini sudah cukup maju dari segi fasilitas penunjang kehidupan yang semakin mudah dijangkau, itu menurutku, etah bagaimana kalau menurut manusia lain di luar sana. Namun tidak dengan kwalitas hidup manusianya, ya masih banyak segelintir anak muda yang menurutku masih saja mengambil jalan yang salah dalam pergaulan, mereka ingin dianggap bergaul, tapi mereka tidak paham apa sesungguhnya arti dari kata bergaul, mereka takut tidak memiliki teman, mereka takut tidak dianggap di lingkungannya, yang terkadang pergaulan membuat mereka tersesat tanpa tau jalan pulang, sungguh ironi ku melihatnya, berkumpul sampai larut malam bahkan sampai menjelang subuh, entah apa yang mereka bicarakan sampai selarut itu.
Sesungguhnya masa depan mereka masih sangat cerah, entah siapa yang akan disalahkan dengan keadaan yang sekrang ini, terkadang ingin menyalahkan orangtua rasanya tidak pantas, mana mungkin ada orangtua yang ingin melihat anaknya menjadi hancur, setiap orangtua selalu ingin anaknya menjadi lebih darinya. Ya… ujung-ujungnya kita pasti menyalahkan pemerintah dengan apa yang terjadi di lingkungan kita saat ini. kita selalu saja berkoar-koar lewat media sosial “pemerintah tidak becus, pemerintah tidak bijak dalam hal ini, pemerintah begini, pemerintah begitu dan banyak lainnya” entah apa saja yang kita keluhkan padahal diri kita sendri tidak melakukan apa pun, sungguh lucunya negeriku tercinta ini.
(Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat malah membuat mereka menjadi anak muda yang tak punya ara dan berakhir dalam penjara). “hanya sebagai pengingat saja”
Kukenalkan kembali diriku kepada kalian semua, aku selalu dipanggil adek dalam keluargaku karena orangtuaku hanya mempunyai dua orang anak. ya aku anak kedua dari dua bersaudara, aku memilik seorang kakak perempuan. Kakakku seorang tenaga honorer di salah satu instansi pemerintahan di kabupaten asalku, ya kakakku seorang honorer, meskipun cuman sekedar honorer yang bergaji 750 ribu setiap bulannya, namun beliau mampu menyelesaikan pendidikan strata satu nya dengan bekerja sambil kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di daerah asalku, entah bagaimana cara kakakku menyelesaikan kuliahnya, karena ku tau bukan mudah baginya menyelesaikan pendidikannya itu, sempat menunda selama satu tahun untuk melanjutkan kuliah, sampai akhirnya bekerja sebagai petugas kebersihan selama 3 tahun dan pada akhirnya menjadi operator computer yang dapat duduk enak di dalam ruangan ber ac.
Cukup banyak kudengar darinya anggapan remeh yang terlontar dari mulut manusia yang tak paham arti kehidupan, namun semua dipatahkan oleh beliau dengan sebuah tali toga yang terpasang berpindah tempat dari kiri ke kanan yang berada di atas kepalanya. Aku bangga jika menceritakan tentang dirinya kepada hal layak ramai, karena memang dia pantas untuk aku banggakan, dialah orang yang sangat berpengaruh besar atas pencapaianku saat ini, dia manusia yang kalau marah pasti menagis “karena dia tidak pandai marah” dan kalau ia menangis pasti karena ia tidak dapat menahan apa pun yang bergejolak di hatinya.
Sedikit hal tentang dirinya yang kusebut kakak, kini kuceritakan tentang orangtuaku yang kusebut telah tiada, ya mereka meninggalkanku tidak bersamaan, ibuku yang pergi dahulu ketika aku masih berusia lima tahun cukup besar untuk hitunganku, karena masih banyak di luar sana yang ditinggal di usia yang lebih kecil lagi dariku, aku masih cukup beruntung menerima kasih sayangnya selama lima tahun itu.
Sedikit cerita tentang ibuku berdasrkan ingatanku dan kakakku saja dulu, nanti baru kuceritakan berdasarkan cerita orang lain.
Ibuku menjadi guru mengaji di desaku, banyak anak-anak di desaku yang menimba ilmu mengaji dengan beliau, sungguh mulia pekerjaan ibuku bukan, namun sepertinya beliau tidak menjadikan itu sebuah pekerjaan, kenapa kubilang begitu, karena beliau tidak pernah memberi patokan bayaran akan jasa yang ia lakukan, beliau mengajar dengan penuh keihlasan, namun terkadang ada beberapa orang anak yang memberi uang setiap bulannya, dengan jumlah yang aku pun tidak tau, namun ada pula anak-anak yang memberi ibuku dengan gula dan teh, tak jarang ada anak yang dititipkan orangtuanya dengan sebuah makanan hasil dagangannya dan membaginya kepada ibuku sebagai bayaran atas apa yang diajarkan oleh ibuku, sunggu beraneka ragam yang selalu diterima ibuku dari anak-anak yang mengaji di rumah kami.
Dengan jumlah anak mengaji yang mencapain 60 orang, bahkan jumlah tersebut melebihi kapasitas rumah kami yang tidak terlalu besar ini, sehingga ibuku selalu membagi jadwal siang dan malam kepada anak mengaji agar tidak membuat mereka bersempit sempitan dalam menimba ilmu Allah itu.
Kakakku selalu berkata kalau ibuku itu tidak pernah marah seumur hidupnya, ibuku hanya marah ketika kakakku tidak sengaja membuatku terjatuh bersamanya dari sepeda, padahal saat itu kakakku hanya ingin mengajak aku untuk bermain dengannya, tapi entah bagaimana aku bisa terjatuh dan membuat gigi depanku berdarah, kalau diingat kembali kejadian itu sungguh lucu menurutku, namun kata kakak ibuku tidak marah tapi kakakku saja yang memasang muka cemberut duluan, mungkin itu cara kakakku biar tidak dimarahi oleh ibuku, karena kakak pasti tau kalau beliau tidak akan bisa melihat anaknya memasang wajah seperti itu. Aaahhhhh… Sungguh ku tau sifat kami berdua menurun dari siapa.
Orang lain selalu bilang kalau ibuku itu menempuh pendidikan sekolah menengah atasnya di ibukota provinsi tempatku berasal, ibukota yang pada masa itu mungkin akan sangat jauh dan akan dianggap sangat hebat jika bisa menempu pendidikan sejauh itu, dan orang lain juga berkata kalau ibuku menempuh pendidikan sarjana di ibukota negeri ini, wahhh bangganya aku ketika mendengar cerita tentang beliau dari orang lain, sungguh ini lah menjadi alasan aku dan kakakku untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi meskipun keterbatasan ekonomi yang kami miliki, bukan ingin menyomboongkan diri atau merasa ingin hebat, namun kami ingin menjadi setara atau mungkin bisa jauh melebihinya, karena ada orang yang mengatakan jadilah lebih hebat dari orangtuamu, namun jangan membuatmu menjadi sombong akan itu.
Kini kuceritakan tentang ayahku, mungkin tak banyak yang mampu kubagikan kepada kalian, karena ayahku menjadi tak banyak bicara semenjak kepergian ibuku, mungkin sifatnya lelaki memang seperti itu, entah pun memang kami satu keluarga tak pandai dalam berbasa basi, entahlah yang kutau ketika seorang ibu telah hilang dalam keluarga itu bisa dipastikan sudah tak akan ada lagi kehidupan di sebuah tempat yang dinamakan rumah. tak ada lagi tempat untuk berkeluh kesah, tak ada lagi tempat untuk duduk bersama bercerita disaat makan malam tiba, ya begitu lah.
Mungkin saja hal ini terjadi karena setelah kepergian ibu kami berdua diasuh oleh kakak dari ibu yang rumahnya tak berapa jauh dari rumah yang selalu kami sebut rumah ayah, ya karena ayah yang menjadi pemilik rumah itu, kami berdua selalu singgah ke rumah ayah ketika kami pulang sekolah, dan bermain di rumah itu ketika libur sekolah tiba. tak lama aku tinggal di rumah kakaknya ibu hanya sekitar 2 tahun atau 3 tahun, karena setelah itu aku merasa harus kembali ke rumah ayah, ya menemani ayah yang tinggal sendrian dan tak pernah menikah lagi sepeninggalan ibuku.
Ayah dan aku cukup pendiam satu sama lain, ayah akan semakin banyak bicara kalau kakakku datang ke rumah karena kakakku yang selalu banyak bertanya tentang kondisi kami di rumah, kakakku selalu ada saja yang membuatnya mengoceh panjang dan terkadang susah untuk dihentikan kalau ia melihat ada yang tidak sesuai dengan matanya, di situlah ayah akan mulai mengeluarkan banyak suara, dan di saat itu jugalah aku dan ayah berkolaborasi untuk membuat kakak tidak mengoceh panjang lagi.
Ayahku meninggal tepat 12 tahun setelah kepergian ibuku, di saat aku sudah berada di kota ini, ya cukup jauh untukku kembali dan mungkin saja ketika ku kembali bisa dipastikan aku hanya bisa melihat pusara dan nisannya saja. Setelah ku terima telpon dari kakakku akan apa yang sebenarnya terjadi pada ayah dan penjelasan dari kakak, dengan besar hati kuputuskan untuk tidak melihatnya untuk terakhir kali, hanya doa yang mampu kukirimkan kepadanya. Di satu sisi sungguh ku ingin kembali di sisi lainnya aku baru saja memulai perkuliahanku, ya tepat hari kepergian ayah adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di bangku kuliah. bukan ku lebih mementingkan kuliah dari pada melihat ayahku, tapi inilah saatnya kepada ku untuk membuktikan kepada ayah, anak laki laki ayah dan ibu juga mampu berdiri di atas kakinya sendri dan membuat orangtuaku bangga dengan apa yang telah dicapai oleh anaknya, kakakku berkata “ayah lebih butuh doa dari adek, biar orang lain mengangap kita seperti apa, nanti juga mereka akan memuji jika mereka lihat hasilnya, manusia hanya tau melihat hasilnya tanpa peduli bagaimana prosesnya”
Itulah sedikit tentangku dan kehidupan sekelilingku, jika kujabarkan semuanya telalu banyak yang akan kalian baca, tapi anggap saja itu cukup untuk menggambarkan semua yang ada di hidupku, karena kita tak berada di masa lalu jadi tak perlu kubagikan terlalu banyak kepada kalian semua, karena senjaku saat ini jauh lebih mempesona.
Cerpen Karangan: Imania Hafni Facebook: Imania Hafni IG: hafni28