Tuhan selalu baik. Aku percaya dengan kalimat itu sekalipun dalam rekam jejak hidupku masalah selalu menyertai. Aku tidak perlu pengakuan dari orang banyak mengenai opiniku. Karena aku yakin diluar sana juga banyak orang yang beranggapan sepertiku.
—
Sejak aku merasakan hidupku bermasalah, aku mulai menjauh dari Tuhan. Aku sempat membenci Tuhan ketika hidupku berantakan. Ibu meninggal, ayah menikah lagi, kakak perempuanku merantau untuk kuliah dan memutuskan hubungan dengan keluargaku karena konflik dengan ayah. Saat itu aku sendiri tidak punya siapa pun yang bisa menjadi tempat ntuk bersandar. Terlepas dari rumah yang seharusnya ramah terhadap remaja kelas delapan sepertiku, rupanya di sekolah pun tidak jauh berbeda.
Aku tidak memiliki teman yang bisa kujadikan teman dekat. Ini bukan berarti aku tidak memiliki teman dalam artian umum. Aku punya teman. Banyak, bahkan satu sekolah mengenalku sebagai siswa paling kocak yang suka melawak. Namun, tidak satu pun dari mereka bisa menjadi teman dekatku.
Aku merasa sendiri saat itu. Relung di dalam hatiku kosong melompong. Tak ada sesuatu yang membahagiakan yang bisa membuatku senang. Dan ketika aku merasa benar-benar sendiri, aku berhenti menjadi siswa paling kocak.
Tak ada lagi lawakan yang kulontarkan. Tak ada lagi aksi konyol yang kulakukan. Bahkan tawa renyahku tak lagi menggelegar. Aksi jenaka untuk menghibur penonton telah hilang ketika aku merasa sendiri.
Saat itu aku bertanya, mengapa aku sendiri? Padahal di sekitarku masih ada banyak orang yang berlalu lalang. Aku tidak mengerti. Jujur saat memikirkan hal seperti itu, rasanya kepalaku ingin meledak dan dada bergejolak dengan nafas menderu.
Rasanya aku ingin menghardik, tetapi kutahan itu semua sebab aku tidak tahu siapa yang harus kuhardik.
Di hari ke 40 ibu meninggal, keluargaku mengadakan acara takziah. Saat itu ayah hadir bersama istri barunya dan mereka terlihat bahagia. Kala memandangi mereka yang duduk di teras seraya menyambut para tamu, kedua mataku hanya bisa menatap kosong tanpa arti. Ibuku meninggal 40 hari yang lalu karena sakit keras dan ayah menikah dua minggu setelah ibu meninggal.
Dalam waktu singkat ayah dengan mudah menemukan wanita pengganti ibu. Curigaku, ayah dan wanita itu sudah memiliki hubungan dari sebelum ibu tiada. Dan sebulan kemudian kecurigaanku benar. Ayah dan istri barunya itu memang memiliki hubungan gelap dari sebelum ibuku tiada.
Selain merasa kesepian, aku merasa kecewa dan benar-benar marah. Terlebih ketika aku mengingat bagaimana perjuangan ibu untuk sembuh dari sakitnya karena tidak ingin meninggalkan ayah. Hal tersebut semakin menambah nestapa tak karuan.
Nafas kuhela, aku memalingkan pandangan dari sepasang suami istri yang tidak kusukai itu. Aku tidak suka kondisiku saat itu. Dan beranggapan ini semua tidak adil untukku. Tuhan tidak adil padaku. Tuhan jahat padaku. Itulah yang kukatakan dan kupikirkan ketika hidupku bermasalah.
“Sangkara, kemarilah, Nak!” Suara berat khas pria paruh baya mengintrupsi diriku yang berdiri di dekat pagar rumah. Saat itu aku sedang menyambut kedatangan para undangan. Aku menoleh, memperlihatkan tatapan sayu kepada ayah yang melambaikan tangannya.
“Apa?” Aku tidak melangkah menghampirinya melainkan memilih untuk diam. “Sinilah dulu! Ada yang mau ayah bicarakan padamu.” Ayah berujar dan pada akhirnya kedua tungkaiku bergerak menuju ke tempat ayah duduk bersanding dengan istri barunya. Setibanya di depan ayah, aku sempat mengintip sejenak ke dalam rumahku dan terlihat acara akan hendak dimulai.
“Ada apa, Ayah?” tanyaku. Ayah mengulas senyuman tipis di wajahtuanya. Dia mengusap dagunya lalu menyimpulkan senyum. “Setelah acara ini selesai, kita bicara secara empat mata di kamarmu ya.”
Aku menunggu hingga acara mendoa 40 hari ibuku berakhir. Dan dari penantian tersebut, kekecewaanku semakin besar.
“Besok ayah tidak akan tinggal di sini lagi. Ayah sudah memutuskan untuk membeli rumah baru untuk tinggal bersama mama baru kamu. Maka dari itu, bibi yang akan nemani kamu, Sangkara.” Itulah yang dikatakan ayah kepadaku. Saat itu aku merasa seperti waktu berhenti bersirkulasi. Saat ini aku sudah kesepian, lalu ayah hendak meninggalkanku yang dimana aku akan semakin kesepian. Ini tidak adil. Aku benci Tuhan kala itu.
Kemudian saat kelas tiga SMP, ketika aku jauh dari Tuhan dan tak mematuhi apa pun lagi, aku bertemu dengan seorang remaja lelaki sepantaran denganku. Wajahnya pucat, kacamata bulat bertengger di hidung mancungnya dan rambutnya terlihat jelek di mataku.
Kami bertemu saat aku bermasalah di kantor guru. Waktu itu aku tidak tahu dia ada urusan apa di ruang guru. Awalnya aku tidak mempedulikan siapa pun di sekitarku selain diriku sendiri. Bahkan guru yang sedang menceramahi tak kudengarkan dengan serius. Konsepnya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
“Arfa, kamu kemari, Nak!” Bu Nada yang tadinya menceramahiku menghentikan gerak mulutnya dan beralih memanggil Arfa yang tak lain adalah remaja lelaki pucat itu.
Arfa terlihat bingung dan segera menghampiri meja bu Nada yang berada di dekat pintu lalu berdiri tepat di sebelahku. “Maaf, ada apa bu?” Remaja pucat itu bertanya. Bu Nada menatapku dan Arfa secara bergantian.
“Sangkara, saya heran apa yang membuat kamu menjadi murid bermasalah di sekolah ini. Namun, kamu harus berubah karena kamu sudah kelas sembilan! Sebentar lagi mau masuk SMA. Lihat Arfa, dia sudah menentukan ingin masuk SMA mana. Jadi, ibu harap kamu bisa mencontoh Arfa dan menjadi Sangkara seperti dulu.”
Menjadi Sangkara seperti dulu? Aku tidak bisa menjawab apa pun. Aku saja tidak tahu bagaimana caranya kembali menjadi Sangkara yang dulu. Sebab aku sudah jauh dan membenci diriku sendiri.
Kulirik Arfa melalui sudut mataku lalu berdecak lidah. “Saya usahakan, Bu.” Tidak ada kalimat tentangan. Aku tidak mau berurusan lebih panjang lagi dengan Bu Nada. Maka dari itu kuiyakan saja apa katanya.
Setelah itu aku dibolehkan pergi dari ruang guru dengan Arfa yang masih berbicara dengan Bu Nada. Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku masih terbayang perkataan Bu Nada. Menjadi Sangkara yang dulu? Aku pun tak tahu bagaimana caranya. Tuhan yang membuat diriku berada di kondisi seperti ini. Seharusnya mereka meminta saja kepada Tuhan, bukan kepadaku.
Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu berlalu. Bulan demi bulan berlalu. Semuanya tiba di penghujung akhir tahun. Pembagian rapor sudah di depan mata dan aku hadir sendiri untuk mengambil bukti hasil belajarku selama satu semester.
Disaat semua hadir dengan wali mereka sementara aku hanya sendiri berbekal alasan tak ada lagi keluarga. Bibi yang dulunya menemaniku sudah berhenti bekerja karena tak tahan dengan sikap kurang ajarku. Sehingga membuat aku benar-benar tinggal sendiri di rumah. Bahkan ayah yang mendengar hal tersebut tak ambil pusing dan berkata, “Kamu laki-laki, sudah saatnya terlatih hidup sendiri.”
Saat itu aku hanya bisa tersenyum tipis. Tidak terlalu banyak bicara karena aku lelah berkata-kata.
“Kau sudah mengambil rapor?” Aku tersentak ketika seseorang tiba-tiba bertanya. Kutolehkan kepalaku ke kiri dan mendapati Arfa duduk di sebelahku. Kami berdua duduk di bangku kayu yang berada di depan kelas sehingga leluasa menatap lapangan sepak bola.
“Belum.” Karena aku tidak membawa wali, jadi jadwal mengambil raporku dibuat terakhir oleh wali kelasku. “Kalau kau?” Arfa tersenyum. “Sudah.” Tapi aku tidak melihat rapor ditangannya. “Ada sama ibuku.” Seolah mengerti mengenai apa kebingunganku dia lanjut berucap. “Oh ….” Aku merespon sekenanya. Enak sekali Arfa bisa mengambil rapor bersama ibunya.
“Kau tidak ada yang menemani?” Dia bertanya. “Tidak.” “Memangnya dimana orangtuamu?” Aku bergeming dan kembali menoleh ke depan. Dia banyak tanya. “Ayahku …” Kalimatku terjeda sejenak. “Entahlah, aku tidak tahu dia dimana,” ucapku dengan kekehan di akhir kalimat. “Kalau ibumu?” Arfa kembali bertanya. Aduh, dia ini memang banyak tanya ya?
Sontak mataku mengosong. Setiap kali ada seseorang yang bertanya mengenai ibu padaku, aku langsung merasa kosong. Entah untuk hati atau pikiranku. Sudah hampir setahun ibuku pergi meninggalkan diriku, tetapi tidak ada satu pun kesiapan yang bisa aku lakukan. Entah ikhlas atau pun rela.
“Ibuku di dalam tanah.” Mungkin candaan seperti itu tak pantas untuk kuucapkan. “Maksudmu?” Lidah berdecak, aku tolehkan kepalaku beserta tatapan malas menatap Arfa. Sebelum menjawab pertanyaan Arfa barusan, aku bangkit berdiri seraya merenggangkan punggung. Rambut hitam yang berantakan dan tubuh sedikit bungkuk ke depan dengan pandangan yang perlahan berkamuflase menjadi tatapan kosong kuperlihatkan kepada Arfa. “Ibuku sudah meninggal.”
Setelah pembicaraan tersebut, aku pergi meninggalkan Arfa entah kemana. Aku pergi menjauh ke tempat yang kurasa bisa memberikan ketenangan. Karena saat itu rasa di dadaku sudah campur aduk.
Memang ya, jika kita belum bisa mengikhlaskan dan merelakan sesuatu, hidup akan susah untuk dijalankan. Dan itu semua justru berlanjut hingga liburan semester 1 berakhir. Untuk liburan semester 1, aku hanya menghabiskan waktu dengan cara bermain playstation di tempat rentalan. Sesekali aku pergi ke makam ibuku dan bercerita panjang lebar di makam ibuku. Hanya kegiatan monoton dan tak ada rencana untuk liburan. Pun ayah sudah jarang sekali melihatku. Dari kabar terbaru, kudengar istri barunya ayah tengah mengandung. Mungkin dia sedang sibuk mengurus istrinya yang tengah hamil itu.
Kini aku juga sudah mulai terbiasa hidup sendirian di rumah penuh kenangan ini. Aku tidak menangis lagi saat bangun dalam keadaan sunyi. Aku tak lagi menghela nafas kala sarapan seorang diri. Aku sudah mulai terbiasa dan tak bereaksi lagi.
Apakah aku sudah dapat menerima keadaanku saat itu? Namun aku keliru. Rupanya aku masih tidak bisa menerima apa yang sudah terjadi di dalam hidupku.
Cerpen Karangan: Rama Karsa Blog / Facebook: Ej Rama Karsa adalah nama pena yang saya gunakan dalam menulis. Karena melalui narasi, saya dapat menuturkan kehendak pribadi saya.