Sebut saja ini sebuah curhatan kecil dari sosok adik kelas lugu. Curhatan adik kelas yang masih suka merona malu saat diledeki. Dan curhatan dari setumpukan kisah sederhana tentang seorang adik kelas yang menyukai kakak kelasnya. Kakak kelas manis yang …
Rika menutup buku kecil di hadapannya, menggeram kesal saat pulpen bertinta birunya tak berfungsi, mengakibatkan tulisannya terhenti sebelum selesai sepenuhnya.
“Ri, kenapa? kok kelihatannya sebel banget.” ucap Elo sambil membuka-buka lembaran buku yang ia pegang. “Pulpenku abis, padahal baru beli. Boros banget.” sungut Rika. “Kirain tentang gosip baru pagi ini.” “Gosip mulu kerjaannya, nggak bosen, tiap hari cuma ngomongin hal yang belum tentu bener.” sanggah Rika. “Yee, lo pasti kalau denger juga bakalan baper kaya yang lain.” “B aja sih.” “Yakin? kalo tentang kak Anwar, masih tetep ngga peduli?” tanya Elo sengaja disertai nada mencibir. Rika diam tak bergerak sedikitpun, nama yang baru ia dengar seakan menjadi kunci mulutnya yang ingin menyanggah ucapan Elo. “Diem kan, faham aku mah.”
“Gosipnya apaan?” tanya Rika lirih. “Katanya kak Anwar lagi PDKT sama Winda, anak kelas X MIA 2. Kamu tau orangnya?” Rika menggeleng. “Ngga tau.” “Yaudahlah kalo gatau.”
Rika tersenyum menatap ke lapangan sekolah di lantai dasar sekolahnya. Matanya terus bergerak mengikuti sosok Senpai(Read: Sempai*Kakak kelas*) yang tengah menggiring bola, sambil bersorak dalam hati ketika Senpainya berhasil mencetak gol. Buru-buru ia mengalihkan pandang ke yang lain saat tiba-tiba Senpainya menatap ke atas tempatnya berada.
“Udah kali, jangan dilihatin terus, ntar makin suka sama Senpainya.” ledek Elo, sedangkan Rika memukul pelan bahu Elo. “BTW Ri, Penilaian semester kamu duduk sama siapa?” tanya Elo. “Aku ngga tau, kalo ngga kakak kelas 11 ya kelas 12. Semoga aja sama Senpai.” doanya. “Mana bisa, kak Anwar kan anak IIS(Ilmu-ilmu Sosial), lah kamu kan anak BBJ(Budaya Bahasa Jepang), ya ngga mungkin disatuin lah.” “Gapapa siapa aja, yang penting dia baik.” “Kamu mah semua orang dianggap baik.”
Sebut saja ini sebuah curhatan kecil dari sosok adik kelas lugu. Curhatan adik kelas yang masih suka merona malu saat diledeki. Dan curhatan dari setumpukan kisah sederhana tentang seorang adik kelas yang menyukai kakak kelasnya. Kakak kelas manis yang mempesona jutaan mata si hawa dengan senyum tipis sederhananya.
Rika tak bosan-bosannya memandang lingkaran hijau di sebelah nama Senpainya, Anwar Fahreze. Dirinya berharap Senpai akan memulai obrolan dengannya. Namun sampai sekian lamanya Senpai belum juga meng-chatnya, hingga lingkaran hijau itu berubah menjadi ‘1m’. Ia menghela nafas lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam lokernya. Sebelum pergi ia melipat kertas yang baru saja ia selesaikan dengan kata-kata yang sempat terputus kemarin.
“Dek?” Rika menoleh, “Saya?” tanyanya menunjuk dirinya sendiri. “Iya. Bisa bantu saya ngga?” “Bantu apa?” tanya Rika. “Anter lembaran-lembaran ini ke ruang tes no. 14.” Rika mengangguk lalu mulai melangkah lagi.
“Shitsui Suru?(Permisi?)” ucap Rika sambil mengetuk pintu ruang tes no. 14 “Ada apa dek?” Rika menundukkan kepalanya malu saat menyadari yang ada di hadapannya adalah Senpainya yang ia idolakan. Rika memejamkan matanya untuk bisa mengusir rasa gugupnya. “Saya mau mengantarkan lembaran yang tadi dititipkan ke saya. Ini kak?” lalu ia menyodorkan lembaran-lembaran kepada Senpainya. “Oh gitu, makasih ya? Arighatou Gozaimasu” ucap Senpainya. “Douitashimashite(Sama-sama).” setelahnya ia melangkah menjauhi Senpainya. Hingga sebuah suara menghentikannya.
“Tunggu?” Rika berbalik. “Nama kamu siapa?” Senpainya mengulurkan tangan kearahnya. Dengan gugup ia menerima uluran tangan itu dan menyebutkan namanya, “Rika, bisa dipanggil Ri.” “Anwar, Anwar Fahreza.” diberikannya senyum tipis sederhana yang berhasil membuat Rika diam dengan binar kebuncahan dan kebahagiaan terpancar jelas di mata sipitnya yang semakin menyipit karena terjepit pipi bulatnya saat tersenyum. Hati Rika berjingkrak senang, ‘Senpai senyum buat aku. Yeay!’ batinnya. “Kalau gitu saya pergi dulu, sebentar lagi tes-nya dimulai.” “Salam kenal.”
Senyum indah yang sederhana. Tanpa sadar menciptakan skenario indah terbungkus angan. Tipis namun banyak pesona. Dan itu hanya dimiliki oleh Senpai-san yang berjiwa sosial tinggi.
“Auwhh!!!” jemari Rika mengelus pelipis kirinya yang nyeri akibat pukulan benda kecil yang keras menghantam ralat: dihantamkan ke pelipisnya. Si pelaku hanya terkikik geli melihat ekspresi lucu yang ditampilkan Rika. “Ihh kok dipukul sih kak?” dengus Rika sebal pada kakak kelas jahil yang duduk sebangku bersamanya saat tes berlangsung, Adi. “Habisnya kamu kaya orang ngga waras sih, senyum gajelas.” jawab Adi. “Ngga bisa lihat aku bahagia dikit deh.” rutuknya kesal karena dia harus duduk bersebelahan dengan kakak kelas jahil seperti Adi. ‘Kenapa bukan kak Anwar aja?’ pikirnya. “El, pinjem peraut kamu dong?” bisik Rika pada Elo yang ada di depannya. Kemudian Elo memberikan sebuah rautan pensil berbentuk boneka kelinci yang lucu. “Mirip kamu tuh, matanya ciut, badannya juga agak gempil.” Kali ini Rika tergelak dan memukul pelan bahu Adi.
Bulan terus berganti, sejak perkenalan singkat di tes tengah semester itu Rika dan Anwar-senpai menjadi sering menyapa. Namun masih belum berani berbicara banyak.
Sejak tes tengah semester itu pula dirinya selalu digosipkan tengah berpacaran dengan Adi. Padahal ia dan Adi hanya sekedar bercanda singkat saat tak sengaja bertemu atau berpapasan. Sedangkan gosip dari Anwar-senpai, ia dikabarkan tengah menyukai adik kelas berpipi tembam dan mata ciut. Rika sempat berpikir itu dirinya, tapi saat ia berkenalan dengan seorang siswa kelas X MIA 2 di sekolahnya bernama Winda yang tak lain adalah adik kelas yang pernah digosipkan PDKT dengan Anwar-senpai, Rika tak berani lagi berpikir yang disuki Anwar-senpai adalah dirinya. Karena Winda juga memiliki mata ciut dan pipi yang tembam.
Tak terasa Ujian Nasional untuk kelas XII akan segera dilaksanakan, otomatis waktunya untuk bertemu Anwar-senpai hanya tinggal menghitung hari. Dirinya menjadi sering berdiam diri di kelas atau perpustakaan tanpa semangat. Bahkan Elo, sahabatnya itu sudah tak tau mau bagaimana lagi ia harus menghibur Rika. Hingga akhirnya ia meminta Anwar-senpai untuk membantunya. Dan siang itu saat Rika sedang berdiam diri di perpustakaan, Anwar-senpai menghampirinya.
“Aku denger dari temen kamu, katanya kamu sedih ya kakak kelas yang kamu suka bakalan lulus?” Rika tersentak, “Hah? engga kok.” “Jujur Ri, kamu selalu murung karna hal itu kan?” tanya Anwar-senpai. “Iya kak.” Rika menunduk. “Ri, denger ya? seharusnya kalau orang yang kamu suka itu lulus, kamu seneng. Bukan malah murung gini. Semangatin dia supaya nilainya bagus.” “Iya kak.” “Lagian nih ya? kalo Adi lulus, di bisa cepet kerja dan nyenengin kamu dari usahanya sendiri.” “Kok kak Adi sih?” ucap Rika. “Kamu kan pacaran sama dia, jadi pasti kamu sedih karna dialah.” “Engga, aku ngga pacaran sama dia, kak Anwar percaya banget sama gosip.” “Lah terus waktu kalian ketawa bareng pas lagi becanda itu?” “Emang kalo ketawa bareng harus orang yang pacaran? kita becanda itu cuma buat pertemanan kita itu berlanjut, bukan cuma di tes aja.”
Anwar-senpai menatap Rika, “Terus yang kamu suka itu siapa?” “Emmm…. A…Anwar-senpai.” “Hah?” Anwar-senpai terkejut. “Daisuki desu, Senpai-san.” (*Read: Daisuki dess, Sempai-sang* Aku menyukaimu, kakak kelas.) “Kenapa baru bilang Ri?” geram Anwar-senpai. Rika mengerjap menatap Anwar-senpai heran. “Aku juga suka sama kamu, aku suka sama kamu dari awal kamu selalu nonton tim aku main bola dari lantai kelas kamu. Jujur aku nyesek pas denger kabar kamu pacaran sama Adi. Tapi ternyata itu cuma gosip.” jelas Anwar-senpai dengan nafas memburu. Rika menahan nafasnya, ‘Benarkah ini? jadi benar si tembam bermata ciut yang di sukai Anwar-senpai adalah aku.’ teriak batinnya tak percaya.
Tamat
Cerpen Karangan: Siti Mudrikah Blog / Facebook: Arikazu Sasouke-Chan
Nama lengkap: Siti Mudrikah T.T.L: Demak, 12 September 2002 Sekolah: MA plus Keterampilan Al Irsyad Gajah (X IBB*Ilmu Budaya & Bahasa* & keterampilan Multimedia). Hobby: Membaca & Menulis Motto: yakin yang dikagumi tak harus yang bagus atau indah, tapi dari keniatan untuk menyenangkan