19 Oktober 2017 Lembaran-lembaran kertas binder dan sebuah buku tebal tergeletak berantakan di atas meja. Lembaran kertas itu berisi materi Kimia Unsur yang tertulis rapi dengan 3 warna pulpen berbeda dan 5 warna stabilo berbeda.
Aku duduk di atas kursiku sambil melipat kedua tangan di depan dada. Mataku tertuju pada lembaran-lembaran kertas di hadapanku. Dalam hitungan menit, kelasku akan memulai kuis kimia dan dan aku belum siap sama sekali dengan materi ‘Alkali dan Alkali Tanah’. “Ahk!” Aku melempar tabel periodik ke atas meja. Aku sudah lelah dan sangat lelah.
Minggu ini adalah Pekan Kesenian dan Olahraga Siswa ‘PKOS’, tapi guru kimia kami memaksa tetap akan melanjutkan kuis. Di saat kelas lain sibuk heboh di lapangan menonton pertandingan basket antar kelas, apa seluruh kelas XII IPA harus diam di kelas karena kuis kimia?
Aku melihat sekelilingku. Di kelas hanya tersisa sekitar 12 orang yang berusaha tetap teguh untuk belajar. Sisa yang lainnya sudah tidak kuat dan memilih meninggalkan kelas.
“Almirah.” Ruby melemparku dengan remasan kertas. “Apa By?” Aku berbalik. Ruby duduk dua meja di belakangku. “Rumus obat maag?” Aku mendengus pelan, mengambil buku tulis dan membuka lembaran kosongnya. ‘Mg(OH)2’ aku menulis rumus yang Ruby maksud. “Terima kasih.”
Aku mengambil jaket dari dalam tasku setelah melihat jam dinding. Masih ada sepuluh menit. Setidaknya lumayan untuk memimpikan calon imam nun jauh di sana. “WOOOOOO!” “MANTAAAAB!” Baru saja aku ingin memejamkan mata, sisa satu kelas di sini ribut tak karuan. Aku kembali mengangkat kepalaku dan melihat mereka.
“By, kenapa?” Aku melempar Ruby dengan sampah kertas yang tadi. “Cek grup.”
Aku segera meraih smartphoneku untuk melihat apa yang Ruby maksud. Grup dengan nama ‘Scient4stic’ itu dipenuhi komentar dengan caps lock. Aku scroll ke atas hingga muncul penyebabnya. “Finally.” Aku menghela napas lega setelah membaca info dari Raisa.
Teman sekelas kami yang baru saja pergi ke ruang guru dan bertanya perihal kuis kimia pada guru kami dan memberi kabar bahwa kuis hari ini dibatalkan dan dipindah ke minggu depan. Aku menutup buku paket kimia dan memasukan kertas-kertas binder ke tempatnya. Mejaku sudah rapi dan siap untuk tidur siang.
“Almirah.” Asli. Aku benar-benar ingin tidur saat ini. “Ayo kita nonton.” Shafa menarik tanganku. “Sebentar lagi kelasnya ‘Imam Idaman’ main.” Aku tersenyum untuk menuruti Shafa. Gadis ini menarikku keluar kelas, bahkan saking semangatnya, Shafa rela mengambilkan sepatuku dan meletakkannya di hadapanku.
“Kita kantin dulu, yuk!” Aku manarik lengan Wulan. “Butuh asupan makanan.” Tambah Tiara. “Ihk…, buruan!” Shafa yang paling bersemangat untuk nonton pertandingan ‘Imam Idaman’ mereka. “Yaudah sih, kayak ‘Imam Idaman’ bakal main aja.” Tiara menjulurkan lidahnya pada Shafa, lalu berlari menghindar. Kantin sepi karena mungkin semua murid berkumpul di lapangan. Kami segera membagi tugas. Siapa yang akan membeli minum, gorengan, makanan manis dan asin. Aku segera mengambil sebungkus wafer vanilla dan cokelat. Setelah Tiara membeli minum, Wulan membeli gorengan dan Shafa membeli keripik singkong, kami segera ditarik Shafa ke lapangan.
“Terlihat ingin hujan.” Kata Tiara. “Cari spot yang bagus.” Tambah Shafa. “Di sana, depan kelas sebelas IPS.” Aku menunjuk ke lorong sebelas IPS. Jelas menghadap langsung ke arah lapangan, tetapi tidak terkena hujan dan tidak akan tertimpuk bola karena jarring pembatas.
Kami duduk di sana dan melihat pertandingan kelas XII IPA 3 dan X IPS 1. Bahkan kami ikut berteriak seperti yang lainnya. Tentu saja mereka tidak meneriaki ‘Imam Idaman’ secara terang-terangan. Mana mungkin mereka berani melakukan itu.
Pertandingan tadi dimenangi oleh kelas XII IPA 3. “Idaman banget, ya Allah.” Ucap Shafa setelah pertandingan selesai. “Shaf, itu ada ‘Segiempat’.” Wulan menepuk paha Shafa heboh. Aku tidak mengerti kenapa kami membuat banyak nama samaran untuk orang-orang. Terutama orang-orang ganteng sekolah bahkan guru-guru dan OB sekalipun. “Mana sih yang namanya ‘Segiempat’ itu?” Aku menoleh ke belakang. Mencari seseorang yang mereka sebut. Shafa menarikku hingga sangat dekat dengannya. “Bediri samping kamu!” Bisiknya penuh tekanan. Aku dengan ragu melirik ke sampingku dan harus mendongak karena aku duduk. Ganteng? Pada umumnya, selera Wulan dan Shafa berbeda dengan aku dan Tiara. Sampai terkadang, aku dan Tiara meremehkan selera mereka berdua. “Terlihat kalem.” Komentar Tiara. “Iyalah, kalem!” Shafa menelan sisa gorengan di mulutnya, “mana ada cowok pecicilan nulis essai.” “HAH?!” Aku tanpa peduli berteriak. “Dia ikut lomba essai?” Wulan dan Shafa mengangguk bersama. Aku tersentuh mendengarnya.
Pertandingan berikutnya aku tidak terlalu memperhatikan karena tidak ada yang aku kenal di sana. Wulan dan Tiara masih heboh berteriak sedangkan Shafa sibuk main smartphone dan makan wafer.
Aku mengitari pandanganku. Lorong ini penuh dengan anak-anak yang menonton, hingga pandanganku berhenti di sebuah gerombolan kelas XI yang tak jauh dari tempatku duduk. Mereka mengeluarkan kursi kelas mereka untuk menonton. Aku melihat seorang anak yang duduk di pinggir lapangan, wajahnya familiar tapi aku tidak kenal.
Hingga pertandingan berikutnya. Anak yang tadi aku lihat, bermain bersama teman sekelasnya, XI IPS ? -Aku tidak mendengar IPS berapa-. Ia menggunakan jersey kelas, berwarna abu-abu dengan aksen biru, di belakang punggungnya ada angka 32 dan nama kelasnya, tetapi tidak ada nama pemain.
“Ti.” Tiara menoleh padaku, alisnya terangkat untuk bertanya. “Itu, anak kelas sebelas yang berdiri paling deket sama ring, nomor tiga puluh dua,” aku menunjuk anak itu sambil menjelaskan ciri-cirinya pada Tiara. “Hm?” “Dia anak paskib bukan, sih?” Ya, aku baru ingat kenapa wajahnya familiar. “Oh, iya, iya.” Jawab Tiara. “Siapa namanya?” “Reyha Niko.” Jawab Tiara sambil menyuap gorengan. “Biasanya dipanggil Haniko” “Imut.” Tiara tertawa pelan. “Mukanya lucu, kecil.” Tambah Tiara sambil tertawa. “Dia ganteng.”
Tanpa aku tahu, satu kalimat sederhana yang biasa aku ucapkan untuk banyak orang secara sembarangan, tidak pernah lepas dari pikiranku. Sungguh, aku tidak bisa melupakan orang sekaligus kalimatnya.
Anak itu. Anak kelas XI IPS itu tidak pernah pergi dari pikiranku hingga berhari-hari dan minggu berikutnya. Sepele. Sederhana. Tapi sungguh menggangu.
25 Oktober 2017 Pagi ini, saat aku sampai sekolah, ada dua bus kecil terparkir depan gerbang. Rumornya, hari ini dan besok LDKS, itu artinya akan banyak guru yang tidak masuk, terutama kelas XII yang rata-rata diajar Wakil Kepala Sekolah.
“Hari ini berangkat LDKS?” Seno sampai di sampingku sambil berusaha melepas jaketnya. “Mungkin.”
Aku dan Seno jalan beriringan memasuki sekolah, melewati lorong menuju lapangan, kami memilih mengabaikan antrian finger print dan terus jalan. Seno berbelok duluan dan memilih jalan belakang dari pada lewat tengah lapangan. Di depan tiang bendera, petinggi OSIS dan MPS yang baru berbaris dituntun senior mereka.
“Mirah!” Vika, teman sekelasku, salah satu petinggi OSIS angkatan kami tidak sengaja melihatku dan menjulurkan lidahnya tidak peduli ia sedang mengatur adik-adik kelasnya. Aku membalas Vika dengan acungan jari manisku. Vika bahkan tertawa tanpa peduli posisinya hingga kami menjadi perhatian para petinggi OSIS/MPS yang baru.
Saat aku akan berpaling dari Vika, aku melihatnya. Aku lihat dia berdiri di paling depan barisan laki-laki. Matanya juga terarah padaku, sisa melihat atraksiku dengan Vika. “Ekhm.” Aku berdeham sebelum berlari menyusul Seno.
Sudah 6 hari dia di pikiranku. Selama 6 hari itu aku bertahan untuk mengabaikannya. Kenapa di hari ketujuh aku kembali melihatnya? Bisa makin kacau pikiranku.
Sungguh, seharian itu, aku tidak bisa membiarkan diriku kosong barang sedetik pun. Jika aku bengong sedikit saja, wajahnya muncul di ingatanku bahkan jantungku terasa sakit ketika mengingatnya. Masalahnya, aku tidak ingat nama yang diucapkan Tiara dan aku bersumpah tidak akan pernah menanyakan kembali nama itu.
Cerpen Karangan: Adiningsih