Saat istirahat, Nina cs memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. “Aku mau cari buku di sebelah sana, ya” tunjuk Nina ke rak buku yang berada di ujung. Nina langsung mencari buku yang mau dibacanya. Semua barisan buku ia telusuri. Ketika Nina hendak mengambil buku novel yang dicarinya. Entah bagaimana caranya tangan Nina tak sengaja terpegang oleh seorang anak laki-laki. Mata mereka bertemu dan saling pandang. “Ehh… Kamu mau ambil buku ini?… Mmmm aku akan cari buku yang lain” Nina mengalihkan pandangan ke arah buku-buku lain. “Nggak usah! Biar aku aja yang ngalah” Nina melirik ke tangannya yang masih belum terlepas dari genggaman anak laki-laki itu “Mmm itu… Tangan aku”. Melihat arah mata Nina, anak laki-laki itu langsung sadar dan melepaskan tangan Nina. Mereka berdua salah tingkah. Jantung keduanya berdegup kencang. ‘duh nih jantung ngapain sih pake deg-degan segala’ bisik Nina dalam hati. Untuk beberapa detik mereka hanya tersenyum dan diam saling pandang. Kemudian…
“Nama kamu siapa?” tanya Nina bersamaan dengan anak laki-laki itu. Melihat tingkah mereka sendiri. Mereka tertawa. Lalu kemudian anak laki-laki itu angkat bicara. “Namaku Dimas. Kalau kamu?” “Aku Nina” Sesekali Nina curi-curi pandang. Begitupun dengan anak laki-laki itu. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. ‘sepertinya aku pernah melihat wajahnya. Tapi dimana ya?’ Pikir Nina mengingat-ingat ingatannya. Tanpa Nina sadari, ternyata Ani sudah ada di belakangnya.
“Haduuhh… Pantesan aja lama. Ternyata lagi pacaran. Kalau mau pacaran jangan di perpus, Nin!” Nina terkejut mendengar Ani berbicara seperti itu. “Ani! Siapa juga yang lagi pacaran. Kita baru juga kenal” “Masa…? Tapi lo, kan jarang ngobrok deket sama cowok kayak gini. Apalagi dari tadi gue perhatiin lo curi-curi pandang gitu. Hayoh… Ngaku!” goda Ani. Pipi Nina memerah karena malu. Bisa-bisanya sahabatnya sendiri bicara blak-blakan di depan anak lelaki itu. Nina menarik tangan Ani. Dan bicara pelan di telinganya. “Ani, aku mohon kali ini kamu jangan bikin aku malu” “Apa? Lo malu? Tuh, kan berarti jangan-jangan lo jatuh cinta pada pandangan pertama” ucap Ani tanpa disadari suaranya membesar. Spontan Nina langsung membekap mulut Ani. “Maaf, ya. Sahabatku ini emang kadang-kadang suka nggak jelas” Nina tersenyum menahan malu akibat ulah Ani. Ani mencoba untuk melepaskan tangan Nina dari mulutnya, akhirnya berhasil juga. Baru saja ani akan bicara, tapi tidak jadi begitu melihat mata Nina yang melotot ke arahnya. “Ehh… Kita duluan ya. Ayo, Ani!” Nina menarik tangan Ani. “Iya” jawabnya singkat disertai senyuman yang memperlihatkan lesung pipinya.
Sesampainya di meja tempat Ina menunggu. “lama banget cari bukunya?” Ani dan Nina duduk di samping Ina. “Ya iya lah, Kan cari bukunya sambil pacaran” goda Ani mencolek dagu Nina. “Ani! Kan aku sudah bilang. Aku nggak pacaran sama dia. Kenal aja baru tadi” Nina mulai jengkel dengan sikap Ani.
Baru saja Nina membuka buku yang mau dibacanya. Tiba-tiba terdengar bunyi bel tanda waktu istirahat selesai. Nina mendengus “yaahhh.. Belum juga sempat baca bukunya” “Salah kamu juga kenapa tadi pacaran dulu” goda Ani lagi. “Tahu ah! Nyebelin” Nina cemberut. Bukannya meminta maaf sudah membuat Nina marah. Ani justru mentertawakan sahabatnya itu.
Pulang sekolah seperti biasa, Nina cs pergi ke Sanggar Kak Helda. Ketika sampai disana, Nina csbingung. Karena tidah biasanya Sanggar Kak Helda sepi seperti itu. “Kok sepi? Kemana semua orang? Apa yang terjadi?” tanya Ina berturut-turut. “Lebih baik kita masuk ke dalam. Kita cari Kak Helda” ajak Nina. “Ayo!”
Nina cs menemukan Kak Helda yang sedang melamun di halaman belakang Sanggar. “Kak Helda” panggil Nina. Kak Helda melirik ke arah Nina cs secara bergantian memandangi mereka. Nina cs bisa melihat dengan jelas air mata Kak Helda yang membekas di pipinya. Ternyata Kak Helda sedang menangis. Nina cs saling pandang. Kemudian mereka memutuskan untuk mendekati Kak Helda dan duduk di sampingnya.
“Semuanya keluar, Nin.” ucap Kak Helda tiba-tiba. Mengusap air matanya yang mengalir lagi. Nina cs saling pandang kembali. “Siapa, kak?” tanya Nina. “Anak-anak di Sanggar ini. Mereka semua memutuskan untuk keluar dari sini. Mereka udah nggak tertarik lagi dengan Jaipong. Dan sekarang mereka lebih minat ke tarian modern” jelas Kak Helda dengan pandangan menatap lurus kedepan. “Maksudnya sejenis dance, Kak?” tanya Ina. Kak Helda mengangguk pelan. “dan tempatnya ada di seberang jalan depan Sanggar ini” lanjut Kak Helda. Nina cs langsung melihat ke arah yang ditunjuk Kak Helda. Dan memang benar di seberang jalan itu ada sebuah Sanggar tari modern. “Sekarang nggak ada harapan lagi karena mereka semua sudah terpengaruh sama budaya luar. Nggak ada yang mau melestarikan kebudayaannya sendiri. Mungkin Kakak akan segera menutup Sanggar ini” ucap kak helda lirih. Nina cs terkejut mendengar pernyataan Kak Helda itu. Buru-buru Nina mencegahnya “Jangan, Kak! Masih ada kami yang akan bertahan di Sanggar ini” Nina mencoba menenangkan Kak Helda. “Iya, Kak. Masih ada kita yang akan terus melestarikannya. Bahkan kita berjanji akan memperkenalkan budaya tarian Indonesia ke seluruh dunia” jelas Ani semangat. Kak helda hanya tersenyum melihat Nina cs. “terimakasih. Ternyata masih ada anak-anak muda yang peduli dengan budaya Indonesia seperti kalian” Nina cs tersenyum. Akirnya Kak Helda tidak bersedih lagi. Tapi di lubuk hati Nina yang paling dalam, ia merasa sangat sedih.
“Kalau gitu, lebih baik kita mulai saja menarinya, yuk!” “Ayo!” Mereka mulai latihan kembali. Meskipun hanya berempat dengan Kak Helda.
Selama di perjalanan pulang dari Sanggar. Nina cs hanya diam dengan pikirannya masing-masing. “Kasihan, ya Kak Helda” ucap Nina tiba-tiba dengan wajah kesedihannya . “Sekarang Sanggarnya sepi. Pokoknya kita nggak boleh keluar dari Sanggar! Cuma kita bertiga yang masih bertahan” “Iya. Apapun yang terjadi. Kita harus tetap melestarikan budaya tari Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi?” lanjut Ina semangat. “Benar. Gue setuju”
Saat itu juga muncul Tika, Novi dan Wulan dari dalam Sanggar dance yang Nina cs lewati. “Masih bertahan juga Sanggar tari Jaipong itu” kata Novi dengan nada mengejek. “Padahal, kan udah nggak laku lagi” sambung Wulan. “Hahaha” tawa mereka meledak. “Jaga ya mulut kalian!” bentak Ani yang sudah naik darah. “Kenapa? Lo mau marah hah?” pancing Tika. Ani sudah mengepal tangannya. Melihat itu, Nina langsung menahan Ani yang sudah mengambil ancang-ancang. “Sudahlah, Na. Biarkan saja mereka ngomong begitu. Jangan di ambil hati.Buang-buang tenaga kalau kamu balik nyerang. Nanti juga mereka capek sendiri” Nina terus memperhatikan kepalan tangan Ani. Akhirnya Ani berhasil menahan amarahnya itu. “Lebih baik sekarang kita pulang” ajak Nina. Kemudian Nina cs pergi meninggalkan Tika cs dengan mengayuh sepeda lebih cepat. “Kenapa pergi? Takut sama kita atau malu karena sudah kalah?” sindir Novi dengan suara keras agar Nina cs bisa mendengarnya. Nina cs terus mengayuh sepeda mereka tanpa mendengarkan perkataan Tika cs.
Keesokan harinya. Saat sampai di halaman sekolah tempat biasa Nina cs memarkirkan sepeda. Disana jelas sudah terlihat sepeda milik Ani dan Ina yang lebih dulu ada dibandingkan Nina. Memang hari ini Nina tidak berangkat bareng dengan Ani dan Ina. Karena tadi pagi Nina bangun kesiangan.
Ada seseorang yang menghampiri Nina. Dan itu ternyata Dimas. Dimas menyapa nina. “Hai, Nin” tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapi. “Ehh… Hai juga, Dim”
Mata dimas mencari-cari sesuatu di sekitar Nina. Melihat Dimas seperti itu, Nina ikut mencari apa yang dicari-cari mata Dimas. “Cari apa sih, Dim?” “Ah… Nggak. Tumben aja kamu nggak bareng sama sahabatmu yang kembar itu” “Iya, nih. Aku tadi bangun kesiangan. Makanya Ani sama Ina duluan” “Oh… Begitu” ucap Dimas manggut-manggut.
“Ngomong-ngomong. Ada apa kamu kesini?” Dimas menepuk jidatnya seakan teringat sesuatu “oh iya… Ada suatu hal yang ingin aku bicarakan sama kamu” “Apa?” tanya Nina penasaran. “Kita ngobrolnya sambil jalan aja” Tapi selama beberapa menit Dimas hanya diam. Seakan berpikir harus mulai bicara dari mana.
“Sebenarnya apa yang mau kamu bicarakan?” Nina memulai percakapan karena tak tahan dengan tingkah Dimas yang membuatnya penasaran. “Itu… Anu… Aduh gimana ya?.. Itu orang yang kasih kamu bunga…” Dimas tidak melanjutkan kata-katanya. “Bunga yang mana?” pancing Nina agar Dimas segera menyelesaikan ucapannya sebelum sampai ke kelas Nina. Tapi santai aja toh kelas Nina masih jauh ada di lantai dua. “Itu yang ada di meja kamu” Nina baru teringat dengan bunga mawar yang ada di atas mejanya waktu itu. Tiba-tiba debaran jantung Nina kembali berdetak kencang. Nina menarik nafas panjang dengan pelan untuk bisa mengontrolnya.
“Sebenarnya… Orang itu… Itu… Aku” lanjut Dimas terbata-bata. Mereka berhenti di tangga. “Sudah aku duga” ucap Nina pelan. “Kamu ngomong apa?” “Nggak kok. Ngomong-ngomong maksudnya apa kasih aku bunga?” “Ya.. Itu.. Kamu pasti tahu, kan apa maksud aku” “Nggak” Nina pura-pura tidak tahu.
Dimas menarik nafas panjang “aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Nina sangat senang Dimas menyatakan perasaannya itu. Tetapi, Nina teringat janjinya. Bahwa Nina tidak akan pacaran sebelum apa yang diinginkannya tercapai. “Aku minta maaf, Dim. Aku nggak bisa pacaran sebelum apa yang aku inginkan tercapai. Kalau kamu benar-benar sayang sama aku. Kamu harus mau menunggu sampai apa yang aku inginkan tercapai” tolaknya dengan lembut. Karena Nina tidak mau menyakiti hati Dimas. Dimas hanya mengangguk. “Aku mengerti kok. Aku akan nungguin kamu sampai kapanpun dan aku akan selalu mendampingi kamu sampai apa yang kamu inginkan tercapai” Walaupun Dimas tersenyum. Tapi Nina bisa melihat dengan jelas dari matanya ada rasa kecewa. “Terimakasih kamu udah mau mengerti aku” “Iya sama-sama. Ya udah, sekarang kita ke kelas, yuk!” “Emangnya kita sekelas ya?” “Oh iya, lupa. Hahaha” Dimas mencoba menyembunyikan kesedihannya. “Aku temenin kamu sampai depan pintu kelas ya?” Nina hanya mengangguk pelan. Mereka melanjutkan kembali menaiki anak tangga demi anak tangga.
Hari demi hari berlalu. Tahun berganti tahun. Nina cs semakin giat berlatih. Sampai 5 tahun kemudian mereka berhasil mewujudkan impiannya, yaitu memperkenalkan budaya tari Indonesia ke berbagai negara. Sedangkan Tika cs, entah sekarang keadaan mereka bagaimana. Terakhir kali Nina mendengar kabar bahwa mereka bertiga mengalami kecelakaan pada saat melakukan dance modern mereka.
“Eh.. Ayo, Nin. Jangan ngelamun aja. Setelah ini kita yang akan tampil” Ina duduk di samping Nina. “Apa lagi yang lo pikirin? Sekarang, kan impian kita udah tercapai” Ani memegang pundak Nina. “Nggak kok. Aku cuma masih nggak percaya aja kalau kita bisa mewujudkan impian kita” “Lho, kok lo ngomongnya gitu sih? Harusnya, kan lo itu senang”
Tiba-tiba terdengar suara MC yang membawakan acara tersebut. “And further. There Jaipong dances from Indonesia” “Kalian siap?” tanya Nina memandang Ani dan Ina. Kemudian mereka mengangguk mantap. Sebenarnya mereka sedang berada di Jepang. Tetapi karena tamunya banyak yang dari Eropa. Maka MC itu menggunakan bahasa Inggris.
Sungguh menyenangkan bila mengingat masa-masa itu. Selalu saja Nina tersenyum sendiri membayangkannya. Kini Nina cs membangun kembali Sanggar Kak Helda yang sempat sepi itu menjadi ramai kembali. Tak lupa Dimas ikut bersama mereka. Karena Dimas sudah menjadi manager Nina cs. Dan satu lagi, Dimas masih setia menunggu Nina.
Seusai tampil, Dimas mengajak Nina untuk melihat bunga sakura yang berguguran. Karena waktu itu memang musim gugur. “Sekarang, kan apa yang kamu inginkan sudah tercapai. Dan kita sudah sama-sama dewasa. Jadi aku nggak mau main-main. Aku mau kamu jadi istri aku. Kamu mau, kan?” ucap Dimas di bawah pohon sakura dan mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya. Nina mengangguk tersenyum. Dengan hati yang sangat bahagia. Dimas memeluk Nina bersamaan dengan jatuhnya bunga-bunga sakura yang menambah suasana romantis itu.
Ani dan Ina yang melihatnya langsung bersorak gembira. Meskipun kelak nanti Nina cs mempunyai keluarga masing-masing. Tapi mereka akan tetap terus melestarikan budaya tari Indonesia dan mengajak para generasi berikutnya untuk mengharumkan nama Jaipong sebagai salah satu budaya Indonesia.
Cerpen Karangan: Irma Erviana Blog / Facebook: Irma Erviana