Namanya adalah Ica. Sekarang usianya 15 tahun, dia seorang pelajar SMK kelas 11. Jika ada orang yang bertanya padanya pelajaran apa yang paling dia sukai, Maka Ica akan mengatakan bahwa dia tidak suka dengan pelajaran yang membutuhkan kerja kelompok. Dan jika ada yang bertanya apa yang paling disukai di sekolah, maka yang disukainya adalah saat berada di luar kelas.
Sinar mentari telah menyinari celah jendela kamar, menandakan pagi telah tiba. Dan inilah yang memaksakan Ica untuk bangun dan melaksanakan kegiatan rutinnya yaitu sekolah. Tepat pukul enam pagi setelah sarapan, Ica pun berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Setibanya di kelas, Ica melihat Ratna, Siska, Puspa. Hal inilah yang membuat Ica malas pergi ke sekolah karena harus bertemu mereka bertiga.
“Heh, pemain drama ayo cepat kesini!”. Perintah Ratna dengan nada kasar. “Iya, ada apa?”. Sahut Ica ketus. “Kalo jalan tuh yang cepet! Sekarang cepat kerjakan tugas kita!”. Bentak Ratna. “Aku juga belum mengerjakan!”. Jawab Ica dengan ketus. “Ooo, sekarang kamu berani ngelawan kita!” Bentak Ratna sambil menarik rambut Ica. “Aduh, iya akan kukerjakan tolong lepasin rambutku”. Jawab Ica dengan nada ketakutan. “Awas ya, kalo nilaiku nggak bagus! Kau akan terima akibatnya!”. Ancam Ratna sambil meninggalkan Ica. “Iya, akan aku usahakan”. Jawab Ica pasrah. “Jangan iya iya mulu! Cepat Kerjakan! Ingat, kita selalu mengawasimu!”.
Begitulah nasib Ica setiap harinya, dia akan melakukan apa yang mereka suruh dan selalu menuruti perintahnya tanpa perlawanan. Entah itu tugas kelompok ataupun tugas individu, tetap saja Ica yang mengerjakan semuanya sendiri.
Setelah selesai, Ica pergi keluar kelas untuk mencari guru mata pelajaran. “Eh, eh mau kemana kamu?”. Tegur Siska keras, saat dia melihat Ica keluar kelas. “Aku mau mencari guru mapel”. Jawab Ica dengan sangat halus. “Siapa yang menyuruhmu melakukan itu! Jangan sok pintar deh!”. Bentak Siska sambil menarik tangan Ica. “Biarin aja kalo kelas jamkos! Jadi anak tuh jangan sok deh! Karena kamu udah sok pintar, nih rasain akibatnya!”. Tambah Puspa sembari menjambak rambut Ica.
Tiba-tiba Siska mendorong Ica sampai terjatuh. Mereka juga melempari Ica dengan sampah basah. Tak puas dengan itu mereka juga menendang, memukul, dan menampar Ica. Mereka memperlakukan Ica layaknya seperti binatang yang harus dimusnahkan. Sedangkan Ica sendiri, hanya bisa menangis menahan sakit, tanpa mau membalas apa yang mereka lakukan padanya.
“Stop! Hentikan”. Mereka bertiga terkejut dengan teriakan itu. “Apa yang kalian perbuat pada Ica? Jelaskan!”. Tanya Bu Dina dengan lantang serta matanya memancarkan kemarahan. “Sekarang ayo cepat bawa Ica ke UKS! Dan kalian bertiga ikut ibu ke BK!”. Tambah Bu Dina dengan sangat marah. Lalu mereka bertiga hanya diam menunduk, tidak bisa menjawab lagi. Ica hanya bisa menangis, sembari mengingat kejadian setahun lalu.
Ketika tiga hari setelah sekolah di SMK ini, Ica sering kerasukan. Akibatnya semua teman Ica menganggapnya hanya sebuah drama. Padahal Ica sudah mencoba menjelaskan pada semuanya. Dia juga berkonsultasi kepada ustadz, beliau mengatakan jika dirinya diganggu makhluk tak kasat mata. Tetapi semua itu sia-sia, tidak ada yang percaya pada Ica. Ditambah Siska yang saat itu menjadi provokator, agar semua teman semakin membenci Ica. Sejak itulah semua teman menjauhinya.
Dengan menarik nafas panjang, Ica pun mencoba melupakan kejadian satu tahun yang lalu itu, dan melangkah menuju UKS bersama dengan mereka bertiga. Di UKS mereka diawasi oleh Bu Dina. Setelah selesai mengobati Ica, mereka langsung menuju ruang BK.
Di ruang BK mereka bertiga dimintai keterangan tentang alasan mengapa mereka melakukan itu semua pada Ica. Dengan rasa takut, mereka hanya bisa menunduk sembari mendengar setiap pertanyaan yang diberikan oleh Bu Dina
“Sekarang ceritakan kenapa kalian melakukan semua itu pada Ica?”. Tanya Bu Dina dengan Tegas. Tetapi mereka tetap menunduk dan diam. “Kenapa kalian diam? Sudah sejak kapan kalian melakukan semua itu?”. Tambah Bu Dina dengan geram. Dengan nada menyesal, mereka pun menjawab, bahwa mereka melakukan itu semua sejak duduk di bangku kelas 10. “Apa? Kalian ini bagaimana sih? Seandainya orangtua Ica menuntut kalian bagaimana? Kalian mau masuk jeruji besi! Sekarang ayo temui Ica dan minta maaf padanya!”. Ujar Bu Dina jengkel.
Mereka pun menuju UKS, di sana Bu Dina bertanya beberapa hal pada Ica. “Ica, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu mau menuntut mereka bertiga atas ulah yang dia perbuat padamu?”. Tanya Bu Dina panik. “Alhamdulilah sudah membaik bu. Saya tidak akan menuntut mereka bu, saya sudah memaafkan mereka. Sebenarnya saya juga sudah bosan dengan keadaan ini, tapi saya memikirkan orangtua saya, yang bekerja serabutan hanya untuk biaya sekolah saya. Dan saya datang kesini untuk sekolah bu, bukan untuk mencari musuh”. Jawab Ica, seakan-akan sudah lega karena perbuatan mereka sudah diketahui oleh guru. “Subhanallah, kamu anak yang baik Ica”. Ucap Bu Dina.
Tetapi karena sudah terlalu geram pada mereka bertiga, Bu Dina memberikan hukuman skor satu minggu pada Ratna, Siska dan Puspa. Mereka menangis minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Satu minggu kemudian, setelah kejadian itu. Sekarang Ratna, Puspa dan Siska sadar bahwa mereka semua sudah kelas 11 dan seharusnya saat ini mereka membuat moment yang indah untuk dikenang, karena satu tahun lagi mereka juga akan berpisah.
“Eh, kalian sudah masuk kembali ya? Maaf ya gara-gara aku kalian jadi kena skors dari guru BK”. Ujar Ica lembut. “Iya Ica, ini bukan salahmu. Jangan merasa bersalah karena sebenarnya kamu tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Maafkan kita bertiga, selama dua tahun ini kami tidak pernah memberimu kenangan indah di sekolah. Kami sangat menyesal”. Ucap Siska mewakili teman-temannya. “Iya, aku sudah maafin kalian. Aku yakin kok seorang sahabat tidak akan mau melakukan kesalahan yang disengaja”. Jawab Ica dengan tersenyum bahagia.
Dengan kesadaran tersebut mereka bertiga bisa akrab dengan Ica. Dan jika ada tugas pun mereka berempat mengerjakan bersama-sama. Semua itu sangat menyenangkan bagi Ica, karena baru sekarang Ica merasakan pertemanan abu putih yang sesungguhnya.
Akhirnya, kini wajah ceria dan rasa semangat kembali Ica dapatkan saat ia berangkat ke sekolah.
Cerpen Karangan: Monica Dwi Andriani Blog / Facebook: mycerpenmonica.blogspot.com / Mon Mon Monica Dwi Andriani, lahir di Nganjuk 16 Juli 2002. Saat ini masih menyandang status sebagai pelajar kelas 11 di SMKN 1 Tanjunganom. Ia mengawali pendidikannya di Bangku SD saat usia 5 Tahun. Dan ia mulai menyukai menulis sejak usia 7 tahun, saat itu ia mulai menulis banyak sekali puisi/cerita.