“Tett.. tett..” Tak terasa bel pulang sudah berbunyi. Wanita itu lalu mempersilahkan kerumunan berpakaian seragam untuk mempersiapkan diri pulang ke rumahnya masing-masing. Setelah berdo’a dan mengucap salam beliau berlalu melewati pintu kayu yang catnya mulai memudar itu.
“Selamat sore, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.” “Selamat soreee buu, wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh.” jawab para anak yang sudah siap dengan tas ranselnya masing-masing untuk bergegas pulang sebelum awan menghitam direngut hujan yang akan datang.
Tempat ini kini kosong, yang tersisa hanya kursi dan meja-meja tua yang ternodai oleh tinta dari tangan-tangan usil para pemiliknya, tak lupa debu yang senantiasa menghiasi setiap permukaan benda yang dijumpainya di tempat ini. Sangat disayangkan, padahal hampir puluhan ribu pelajar pernah menuntut ilmu disini. Yang lebih disayangkan lagi, bukan hanya menuntut ilmu, mereka datang kemari bukan membawa bangga namun justru noda, dan kesenangan belaka. Kerap aku melihat, puluhan anak-anak merokok di sudut-sudut gedung yang tak terlalu terjamah, lebih parah lagi tak jarang ada siswa-siswi pelajar yang berbuat menyeleweng dari asusila. Sangat menjijikkan dan tak pantas dilakukan di tempat yang seharusnya jadi tempat terpandang ini. Sebenarnya apa yang mereka pikirkan? Ingin merdeka namun mengembalikan diri mereka ke tempat pra merdeka. Ingin dihormati namun berbuat menyeleweng dari norma. Kelak ingin sukses, namun memijak perbuatan bodoh sedini ini. Sungguh, bahkan dibayangkan saja tidaklah pantas.
Bulan mulai lelah menampakkan tubuhnya, hingga memaksa matahari beranjak dari tidur lelapnya untuk bergegas bekerja kembali menyebar cahaya ditengah gelapnya kehidupan. Terlihat beberapa pelajar mulai menghampiri gedung sekolah ini, dengan tujuan dan do’a mereka masing-masing ketika sampai disini. Aku selalu berharap semoga jauh dari kata buruk do’a dan tujuan mereka.
“Tett..” Hingga akhirnya bel masuk berbunyi, membuat mereka yang masih jauh dari ambang pintu gerbang mulai berlari mengejar gerbang yang akan tertutup oleh bapak-bapak penjaganya. “Pak!! Jangan ditutup dulu pak!!!” Edgar berlari sambil berteriak kepada si penjaga gerbang. Namun Pak Purwo, nama satpam SMP Tut Wuri Handayani tersebut sama sekali tak menggubrisnya. Edgarpun memohon ketika sampai di depan gerbang yang telah tertutup, “Pak tolonglah bukakan gerbangnya untuk saya, lagian ini masih telat 3 menitan.” Pintanya dengan akting memelas. “Itulah kenapa negaramu masih berkembang, mereka membesar-besarkan hal yang kecil, dan menyamarkan yang seharusnya jadi masalah besar, bayangkan jika saya membukakan gerbang untukmu, anak yang datang terlambat lebih 1 menit darimu akan berkata hal yang sama sepertimu, jika tak bapak bukakan akan jadi tidak adil. Jika bapak bukakan, banyak anak yang akan berdatangan dan minta dibukakan dengan alasan yang sama, jadi bukahkan keterlambatanmu yang hanya 3 menit ini mungkin saja menjadi 1 jam untuk anak lain?” Balasnya panjang lebar, namun dengan nada tanpa menunjukan marah, hanya sekedar menasihati dan membuat Edgar lumayan berpikir akan nasihat pak Purwo. Terpaksa Edgar menyerah dan menunggu selama 30 menit untuk dibukakan pintu dan mengunjungi kamar mandi siswa terlebih dahulu untuk membersihkannya sesuai peraturan SMP ini. Memang, Pak Purwo termasuk satpam yang tegas, namun juga ramah, beliaupun disegani banyak orang termasuk siswa dan guru SMP Tut Wuri Handayani.
Esoknya tak disangka Edgar datang lumayan awal dari biasanya, pukul 07.20 WIB dia sudah melangkahkan kaki melewati gerbang, tak lupa dia menyapa dan memberi salam pada pak Purwo. “Ada apa dengan anak ini? Perubahannya mengagetkan.” pikir Pak Purwo, jika menafsirkan raut herannya setelah Edgar berlalu.
Setelah dinasihati Pak Purwo, Edgar memang berubah dalam artian yang baik tentunya, mulai dari berangkat pagi-pagi, aktif belajar dan menjawab pertanyaan guru saat mengajar, selalu menyapa dan mengucap salam ketika bertemu bapak/ibu guru terutama Pak Purwo.
Suatu ketika saat Bu Ana mengajar Pendidikan Agama Islam beliau bertanya “Anak-anak ibu ingin bertanya, sesuai dengan pembahasan kita kali ini, yakni ilmu. Ibu ingin tau pengertian ilmu menurut kalian, ingat menurut kalian bukan menurut buku tebal di depan kalian itu.” tanyanya mengenai pelajaran dengan sedikit nada mengingatkan.
Dengan cepat Edgar mengangkat tangan kanannya dengan antusias, Bu Anapun tersenyum lalu mengangguk kembali berisyarat mempersilahkan Edgar untuk mulai membuka suara, ia pun berdiri tanpa diperintah. “Sebelumnya, saya mau memberitahu kepada semua yang ada di sini untuk tidak takjub setelah mendengar pernyataan saya, heheh” katanya seraya tersenyum jahil dan menggoda. Lalu melanjutkan, “Maaf maaf saya bercanda, hehe. Oke, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu dibidang pengetahuan itu, atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin dan sebagainya. Namun, selain itu saya berpendapat, ilmu adalah nasehat berupa ucapan maupun tindakan sebagai contoh nyata yang diberikan seseorang kepada kita yang bentuknya mendidik dan membangun serta mendorong atau merubah kearah perbaikan, itu saja menurut saya, terimakasih.” definisinya secara panjang, lantang, serta tegas membuat mata seisi kelas takjub dan fokus mendengar kata demi kata yang Edgar ucapkan, lalu merekapun serempak bertepuk tangan bagai ada yang mengomando setelah Edgar menutup pernyataannya. Terlihat raut heran dan kagum di mata mereka.
“Edgar, sejak kapan kamu pandai merangkai kata, dan berpikir secepat ini?” Kaliamat Bu Ana yang keluar dengan begitu saja karena saking kagetnya, betapa tidak? Edgar selama ini bukanlah salah satu siswa yang masuk kategori aktif, tanggap dan cerdas, namun masuk siswa kategori bandel dan usil. Tetapi kali ini, dia menunjukkan hal yang mengejutkan. “Ahh Bu Ana.. sebenarnya, Edgar dari dulu pintarnya, ibu saja yang tak peka hehe” jawabnya diiringi cengiran khasnya, teman-teman yang lain hanya bisa diam dalam ribuan tanya dan kagum di benak mereka masing-masing mengenai Edgar.
“Tett.. tett..” Tak terasa bel pulang sudah berbunyi. Wanita itu lalu mempersilahkan kerumunan berpakaian seragam untuk mempersiapkan diri pulang ke rumahnya masing-masing. Setelah berdo’a dan mengucap salam beliau berlalu melewati pintu kayu yang catnya mulai memudar itu. “Selamat sore, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.” “Selamat soreee buu, waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuuh” jawab para anak yang sudah siap dengan tas ranselnya masing-masing untuk bergegas pulang sebelum awan menghitam direngut hujan yang akan datang.
Waktu begitu cepat berlalu, sudah 3 tahun lamanya dia menimba ilmu di gedung tua ini. Seragamnya yang dulu kedodoran kini terlihat ketat bagai baju kurang bahan. Tubuhnya yang dulu mungil kini hampir menyentuh permukaan pintu bagian atas kurang beberapa senti saja. Wajahnya menegang namun tak kurang sedikitpun cengiran khas dari bibirnya. Dia sedang menunggu pengumuman dibalik kerumunan manusia sebayanya yang punya maksud serupa. Ya, hari ini pengumuman kelulusan, serta penentuan kemana kakinya akan melangkah setelah ini mengenakan seragam baru putih abu-abunya nanti.
Tiba-tiba terdengar suara dari mikrofon sekolah yang membungkam pembicaraan para siswa yang sedang bercengkrama satu sama lain. “Pengumuman bagi siswa-siswi kelas 9 diharapkan segera berkumpul di lapangan depan, terimakasih.” segera setelah itu mereka bergegas ke lokasi yang di komando tadi, lalu membariskan diri menurut kelas mereka masing-masing. Setelah mendapat amplop dari masing-masing wali kelas merekapun bergegas pulang. Ternyata pengumuman kelulusan akan diumumkan di acara purnawiyata.
Sejak pukul 8 pagi tadi, acara purnawiyata digelar, di gedung aula sekolah SMP Tut Wuri Handayani. Anak-anak yang akan diwisuda terlihat anggun dan tampan mengenakan kebaya dan setelan jaz mereka. Acara demi acara telah dilaksanakan, penampilan band sekolah serta penampilan dari ekstra kulikuler musik, teater dan sebagainya hampir semua sudah ditampilkan. Tiba-tiba pembawa acara menghampiri mixnya dan mulai membuka suara kembali setelah guru yang bertugas mengumumkan hasil UN terbaik turun dari panggung.
“Danurderjo Edgar Utomo dimohon naik ke panggung, atas penghargaannya karena mendapat nilau sempurna pada UNBK tahun ini.” Deg! Betapa terkejutnya Edgar namanya dipanggil setelah pengumuman kelulusan. Diapun lekas bangkit dari duduknya dan menghampiri pembawa acara yang menantinya di atas panggung.
“Oke! Edgar, silahkan berikan sambutan, serta beberapa patah kata untuk memotivasi teman-teman kita agar menyusul jejakmu, saya rasa kamu punya cerita menarik di balik nilai sempurnamu.” pembawa acarapun menyisih dari panggung setelah mempersilahkannya. Edgarpun hanya tersenyum dan mengangguk karena masih terkejut, lalu dia mulai membuka mulut dan berbicara, “Assalamu’alailum warohmatullahi wabarokatuh.” diapun memulai dengan salam. “Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh.” Jawab seisi aula serempak.
Engarpun lantas membuka mulut kembali, “Sebelumnya, saya mau mengucapkan rasa syukur yang teramat dalam terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Terimakasih atas kesempatan yang telah di berikan kepada saya saat ini, jujur saya masih kaget kenapa nama saya dipanggil naik ke atas pangggung. Sedikit mengingat bahwa beberapa tahun lalu saat saya saat masih duduk di bangku kelas 7 sampai kelas 8 semester awal saya jauh dari kata siswa pandai. Namun, bisa dibilang saya siswa nakal dan brandal, hampir setiap hari terlambat masuk sekolah, hampir setiap hari pula celingukan berusaha memanjat pagar besi yang sedang tak terjaga, hampir setiap ada PR tak pernah saya kerjakan, jika saya kerjakanpun mungkin itu dari hasil tidak halal atau mencontek, sebenarnya saya sadar, itu bukan perbuatan yang baik. Akan tetapi, kesadaran saya tertutup oleh rasa menyepelekan saya yang lebih kuat. Hingga suatu ketika saya terlambat dan tak ada celah untuk memanjat gerbang karena Pak Purwo masih berjaga disana, sayapun merengek kepada beliau, memohon dengan meyepelekan waktu, bahwa saya hanya terlambat 3 menit, agar beliau memberi keringanan membukakan pintu gerbang kepada saya. Namun Pak Purwo menasihati saya panjang lebar, seharusnya saya sebal dan menggerutu dibelakangnya. Tetapi, saya justru berfikir keras dengan nasihat Pak Purwo, yang memberikan contoh bahwa sekecil apapun waktu dapat membludak jika kita menyepelekannya, saya kembali berfikir kebelakang menelaah lagi apa yang dulu sudah saya lakukan, tak ada. Saya tak pernah berbuat hal yang berarti sekalipun. Saya menjadi tersadar dari mimpi buruk saya, saya teringat dengan semua orang yang berjuang untuk saya. Dengan menganggap enteng waktu sama saja saya menyepelekan mereka. Nasehat sederhana Pak Purwo kepada saya membuat saya tersadar akan banyak hal, dan berubah ke arah lebih baik. Setelah kejadian itu saya kerap mengamati Pak Purwo, bahkan saya mencari tau tentang kehidupan dan rutinitas Pak Purwo. Kekaguman saya semakin menjadi setelah saya tau, selain menjadi satpam, beliau adalah seorang ibu dan ayah untuk ketiga orang anaknya. Bahkan, beliau masih menyempatkan waktu untuk menjadi guru mengaji di masjid dekat rumah beliau saat malam hari. Sekarang saya baru sadar, Tuhan tak pernah menciptakan manusia dalam keadaan bodoh, hanya saja Tuhan menyimpan kecerdasan manusia-Nya agar mereka tersadar dan mencari jalan sendiri menunjukkan potensinya kepada dunia. Pak Purwo memang seorang satpam di SMP Tut Wuri Handayani, namun bagi saya beliau adalah guru untuk saya, guru bagi mereka yang mengaji kepadanya, guru bagi anak-anak beliau yang setiap hari menyicipi setiap kata-kata berharga dari mulut tulus beliau. Itulah kenapa saya membicarakan beliau di hari yang mungkin tak tepat menurut kalian. Namun, menurut saya ini pengalaman berharga, pengalaman yang sangat sayang apabila saya simpan sendiri. Saya merasa perlu menyampaikan ini kepada teman-teman saya dan semua orang termasuk pak Purwo. Terimakasih pak, berkat bapak saya berubah sebelum benar-benar menjadi manusia gagal. Saya berharap semoga teman-teman saya lebih bisa menghargai waktu serta para guru di kehidupan kalian. Setiap kata dari mereka adalah dorongan ke arah membangun kebaikan. Setiap kata yang mereka sampaikan adalah ilmu pengetahuan serta do’a berharga untuk anak-anak didik mereka. Setiap kata yang mereka utarakan hanya ketulusan tanpa kepalsuan. Saya juga ingin berterimakasih kepada bapak/ibu guru yang dengan ikhlas mendidik kami, terimakasih untuk teman-teman yang telah menciptakan momen berharga di masa-masa biru putih kita. Terimakasih pula untuk para orangtua yang dengan telaten menanggapi keluh kesah kami, mengerti lelahnya kami sepulang sekolah, senantiasa mendukung kami setiap harinya. Terimakasih, sekian dari saya maaf apabila terlalu banyak membuang waktukalian karena panjangnya kalimat demi kalimat yang telah saya ucapkan. Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.” tepuk tangan para siswa dan gurupun bersatu setelah Edgar menyucap salam. Diapun duduk kembali di tempat semula.
—
Kulihat dia di depan pos satpam, dengan seragam putih abu-abu melekat di badannya. Edgar menghampiri Pak Purwo dan mengucap salam serta rasa terimaksihnya, karena pernah jadi sosok motivasi di hidupnya. Kini dia dapat melanjutkan sekolah ke SMA terfavorit di kota Blitar.
“Assalamu’alailum pak, Pak Purwo apa kabar? ini Edgar bawakan sarapan dari ibu” ucapnya sambil menyerahkan kotak makan warna hijau. “Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik nak, wah repot-repot segala. Makasih lho tapi, sampaikan pada ibumu juga.” Jawab Pak Purwo dengan menerima kotak makan pemberian Edgar. “Kata ibu saya, ini belum seberapa dibanding nasihat bapak yang ampuh membuat saya seperti ini, kelak saya akan jadi seperti bapak, memotivasi murid-murid saya dan mendidik mereka dengan semestinya. Terimakasih pak.” Ucapnya dengan percaya diri. Pak purwopun tersenyum lacu menjawab, “bapak tak berbuat apa-apa nak, kecerdasan diri kamu saja yang tiba-tiba sadar dan lelah bersembunyi,” “Tuh kan, Pak Purwo. kata-kata kerennya muncul lagi. Ya udahlah Edgar pamit dulu takut terlambat nanti malah bernostalgia manjat gerbang lagi. Hehehh” katanya sedikit bergurau lalu berpamitan dan mengucap salam. Iapun keluar gerbang mengendari motor vespa merahnya.
Pemandangan ini tak asing bagiku, pak Purwo memang sosok guru bagi mereka yang menyadari apa makna guru sebenarnya. Hatinya yang tulus, serta pembawaannya yang ramah namun tegas melengkapi kewibawaannya. Akupun juga ingin berterimakasih padanya, jika bisa. Karena telah menjagaku, menyalakan lampu pada tubuhku saat senja datang, menyingkirkan tindakan tidak baik yang dilakukan oleh siswa-siswi tak bertanggung jawab pada wilayahku, terkadang menengokku saat malam menampakkan diri, selalu mengawasiku dan membuatku merasa aman, Terimakasih Pak! Berkatmu, aku. Gedung dimana tempatmu bekerja merasa lebih baik dan aman. Terimakasih Pak! Terimakasih.
Guru bukan hanya mereka yang berseragam rapi dan menyandang tanda gelar pada baju seragam mereka, namun semua orang dapat menjadi guru, tanpa terkecuali. Tanpa terbatas gelar dan hitungan materi. Mereka yang mampu memberi dorongan kearah kebaikan, pengetahuan yang bermanfaat, serta mendidik dengan benar dapat diberi gelar guru. Terimakasih untuk guru-guru yang pernah ada, tanpa kalian tak akan terlahir penerus bangsa yang sadar apa itu arti menghargai yang semestinya.
END
Cerpen Karangan: Korib Mahya Blog / Facebook: KoMa Kelanan yuk! 😀 Fb: KoMa Ig: @koribmahya19 Nb: Penulis Amatir-Masih Belajar.