Hari hampir senja, Nasya berjalan melewati trotoar, dengan langkah tertatih. Tangis di wajahnya membuat orang-orang di sekitar melihatnya. Ada sejuta pikiran yang 2 bulan terakhir ini membelenggu di kepalanya. Ada rasa takut dalam dirinya. Seminggu terakhir ini, Nasya tidak banyak bicara. Dia hanya bicara saat ada yang bertanya. Nasya yang sekarang bukanlah Nasya yang dulu. Nasya yang periang kini menjadi pendiam.
Sesampainya di rumah, Nasya langsung masuk ke kamar. Di kamar, Nasya hanya bisa menangis. Tak ada yang menemani. Satu jam berlalu, suara Sahabatnya sedang bertanya tentang dia. Suara langkah kaki semakin terdengar, pintu kamar itu terbuka. Melihat sahabatnya menangis, Afika ikut menangis. Beberapa menit, ruangan itu hening.
“Fika…” ucap Nasya penuh isak. “Kamu kenapa sya? Cerita sama aku. Seminggu terakhir ini, kamu nggak pernah lagi bicara sama aku. Aku khawatir.” ujarnya yang juga ikut menangis. Ruangan itu kembali hening. “Fika, apa aku masih bisa hidup lebih lama lagi?” Tanya Nasya yang memecah keheningan. “Nasya… apa ini yang membuatmu menjadi pendiam?” Nasya hanya terdiam.
“Sya.. penyakit kamu memang penyakit yang berbahaya, tapi kamu pasti bisa sembuh. Kamu harus semangat, beri harapan kepada orangtua kamu. Mereka berusaha yang terbaik demi kesembuhan kamu. Jangan sampai mereka tambah khawatir dengan kamu.” Ucap Afika yang membuat Nasya sedikit tenang, namun masih terdengar sedikit isakan. “Tapi bagaimana dengan mimpiku untuk melanjutkan studi di jerman. Bagaimana kalau mimpi itu terbuang sia-sia?” “Nasya.. semua itu sudah ditentukan oleh tuhan. Kita hanya bisa berdoa.”
Beberapa minggu setelah perjumpaan Nasya dan Afika, Ujian kelulusan pun akan dihadapi siswa. Dengan penuh semangat, Nasya mengikuti ujian itu. Namun, di hari terakhir ujian, sepulang sekolah, Nasya harus dirawat di rumah sakit. Dia semakin khawatir, bagaimana kalau dia benar-benar tidak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpinya? Bagaimana kalau penyakinya harus merenggut masa mudanya? Bagaimana?. Semua pertanyaan itu selalu menghantuinya.
Sebulan di rumah sakit, Afika datang membawa kabar gembira. Sebuah kabar bahwa Nasya lulus dengan nilai memuaskan, dan dia berhasil mendapat beasiswa ke jerman. Sungguh, sebuah kabar yang benar-benar ditunggu oleh Nasya selama ini. Tapi, bagaimana dengan penyakitnya?.
Seminggu setelah kabar itu, ruangan yang pernah dipakai Nasya kini penuh demgan tangis. Tangis penuh duka, karena Nasya harus pergi untuk selamanya. Pergi meninggalkan sejuta harapan dan mimpi. Nasya pergi sebelum dia berhasil mewujudkan mimpinya.
Cerpen Karangan: Wahyunisa Blog / Facebook: Wahyunisa An-nisa Panggilan: Nisa Sekolah: SMA NEGERI 2 SINJAI Habi: Menulis dan membaca Cita-cita: penulis Idola: Asma Nadia dan Tere Liya