“Pulanglah Sunny, hari ini aku sangat sibuk.” “Tapi Raka, aku sengaja datang kesini untuk memberimu semangat. Aku juga membawakanmu sekotak bekal yang kubuat sendiri dan sebotol air. Aku yakin kamu pasti membutuhkannya, apalagi kamu sudah latihan basket sejak pagi tadi.” “Sudah kubilang kau pulang saja. Lagipula aku sudah makan, jadi bawa kembali makanan dan airmu itu.” “Tapi Raka,” “Sudahlah kalau kau mau tetap disini silakan. Aku mau gabung dengan mereka.” Raka pergi dan bergabung dengan teman temannya yang sedang bermain basket. Sementara itu Sunny memandang kepergian Raka dengan sendu. “Lagi lagi kau bersikap begitu padaku.” ucap Sunny dengan sedih. Kemudian Sunny memilih duduk sambil menunggu Raka selesai latihan basket. Dia tak peduli jika tadi Raka menyuruhnya pulang, dia akan menunggu pria itu selesai.
Waktu berlalu. Dua jam kemudian, Raka telah selesai dengan latihannya. Melihat itu, Sunny segera berlari menghampiri Raka. “Raka!” ucapya dengan girang. Sunny buru buru menghampiri Raka dan menyerahkan sebotol minuman pada pria itu. “Minumlah, kamu pasti haus.” ucapnya sambil tersenyum. “Kamu masih disini?” Raka tak langsung menerima air yang diberikan Sunny. “Iya, aku menunggumu.” Ucap Sunny bersemangat. Dia berharap Raka akan senang dengan perhatiannya. “Huh!” Raka menghela nafas kasar, “Kenapa kau menunggugu, aku kan menyuruhmu pulang.” Ucap Raka dengan kesal. “Memangnya kenapa? Kamu tidak suka jika aku menunggumu latihan di sini?” Raka diam, namun jika ditilik dari eksperesinya saat ini dia sedang kesal. “Maaf.” Ucap Sunny yang memahami kediaman Raka. “Sekarang pulanglah, karena aku juga akan pulang.” Kemudian Raka berjalan melewati Sunny dan meninggalkannya sendirian.
—
Suara kicau burung menjadi nyanyian pembuka pada pagi cerah yang mulai menyingsing. Sunny di dalam kamarnya tampak sedang bersiap siap untuk pergi ke sekolah. Sebelumnya Sunny berdiri di depan sebuah cermin sambil memandangi kantung matanya yang tampak hitam dan membengkak. Sepertinya karena effek dia menangis tadi malam. “Buruk sekali.” Ucapnya sambil menambahkan bedak pada permukaan kantung matanya, meski tidak bisa menghilangkan bengkak di matanya tapi setidaknya bedak itu dapat menyamarkan warna hitam di bawah matanya. Sunny bergegas turun dan menemui ayah ibunya di lantai dasar. Setelah itu dia pamit dan pergi ke sekolah dengan diantar Mang Ujang.
Sesampainya di kelas, Sunny langsung mendapat semprotan dari Lula, sahabatnya. Lula begitu heboh menanyainya ini itu. “Kenapa tadi malam kamu tidak membalas pesanku? Bahkan kamu tidak menjawab panggilanku. Huh!” “Maaf, aku …” Sebelum Sunny menyelesaikan ucapannya Lula terlebih dahulu memotong, “Tunggu, tunggu, ada apa dengan wajahmu itu? Kau habis menangis ya? Kenapa? Apa ada yang menyakitimu? Lihatlah matamu bengkak seperti habis kena tonjokan?!” heboh Lula sambil menggerayangi wajah sunny. “Tidak apa apa kok. Aku tidak menangis. Mungkin ini karena aku tidur terlalu malam.” “Kamu pikir aku bodoh, jelas jelas matamu membengkak karena kamu habis menangis. Kamu jangan berbohong, katakan siapa yang membuatmu begini. Akan kuhadapi dia. Berani beraninya dia membuat sahabatku menangis.” Lula melipat lengan bajunya seperti hendak bertengkar. “Hm,” Sunny terkekeh melihat kelakuan sahabatnya itu, “Kau ini seperti preman saja. Sudah sudah nanti akan aku ceritakan ketika istirahat.”
Seperti yang dijanjikan Sunny sebelumnya, ketika istitahat dia menceritakan kejadian kemarin pada Lula. “Menyebalkan sekali. Sepertinya dia minta dihajar.” Sungut Lula setelah Sunny mengakhiri ceritanya. “Tunggu Lula, biarkan saja. Aku sudah terbiasa kok.” “Ya ampun Sunny, kamu nggak boleh cuman diam saja. Sekali kali kamu juga harus membela dirimu, kamu kan nggak salah.” “Tidak apa apa. Aku yakin suatu saat dia akan menyadari kesalahannya sendiri tanpa aku katakan. Aku yakin dia akan berubah.” “Apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan? Bahkan dari suaramu terdengar bahwa kau ragu ragu.” “Tentu saja aku yakin, semua orang pasti bisa berubah.” “Yah kuharap dia tidak akan terlambat menyadari semua itu.” “Maksudmu?” “Suatu saat kau akan mengerti perkataanku.”
*Teet.. Teet.. Teet..* Suara bel yang nyaring menghentikan pembicaraan dua gadis itu. Kemudian Sunny dan Lula pergi beranjak memasuki kelas.
Sepulang sekolah Sunny tidak langsung pulang, melainkan dia mampir dahulu ke kelas Raka yang berada di samping ruang olahraga. “Oh ya bro, cewek yang kemarin itu cewek lo ya?” “Emang kenapa?” Raka menjawab pertanyaan spontan teman sekelasnya. “Cantik. Lo pinter juga ya milih pasangan. Mana dia care lagi. Gue lihat kemarin dia bawain Lo bekal pas latihan.” “Hm,” gumam Raka. “Ya udah, gue balik dulu ya.” Raka melangkah ke arah pintu. Namun alangkah terkejutnya dia ketika mendapati Sunny tengah berdiri disana.
“Ngapain kamu?” “Menunggu kamu.” “Buat apa?” “Hmmm, bagaimana kalau hari ini kita jalan.” ucap Sunny malu malu. “Nggak bisa. Kamu sendiri saja.” “Ayolah sekali ini saja. Kita kan jarang keluar bareng.” “Memang apa gunanaya sih. Paling paling nanti kamu bawel minta dibeliin ini itu. Daripada begitu mending pulang ke rumah dan belajar.” “Ah, baiklah. Tapi, hari ini kamu antar aku pulang ya. Soalnya Mang Ujang gak bisa jemput, dia sedang mengantar ibu arisan di rumah temannya.” “Jangan manja deh. Kamu kan bisa pulang naik bus atau naik taksi.” “Tapi, kalau kamu ada kenapa aku harus pergi dengan kendaran umum. Lagi pula sekalian kita pulang bersama.” “Kamu pikir aku supirmu?” “Bukan begitu,” “Lama lama aku muak sama kamu. Kamu itu selalu nyusahin aku. Kamu pikir aku nggak punya kehidupan sendiri hingga harus menuhin semua perminaan yang kamu ucapkan.” “Kamu kenapa sih,” air mata sunny mengalir, “Memangnya selama ini aku pernah minta apa padamu? Bahkan ini adalah pertama kalinya aku memintamu mengantarku. Tapi jawabanmu malah begitu. Gak papa kok kalau kamu tidak mau mengantarku pulang, tapi setidaknya kamu tidak perlu marah marah dan berkata seperti itu. Kamu menyakiti perasaanku.” “Satu hal lagi, kamu itu cengeng dan suka memutar balik fakta.” “Apa maksudmu?” “Berlagak bodoh supaya tidak disalahkan,”
“Berhenti Raka!” bentak Sunny, “Mungkin selama ini aku diam saja dengan semua sikapmu. Tapi tidak untuk sekarang.” Raka tercengang mendengar suara Sunny. “Kamu tahu, aku selalu merasa menjadi gadis yang paling bahagia di dunia ini karena dapat bersanding denganmu. Aku bahkan pernah membayangkan diriku sebagai sebuah mentari yang memancarkan sinar hangat, membayangkan diriku sebagai pelangi yang indah dan berwarna warni, aku membayangkan diriku adalah sososk rembulan yang selalu menjadi penerang digelapnya malam.” Sunny berhenti sejenak untuk menghapus air mata yang sedari tadi telah mengalir.
“Tapi bagimu aku mungkin hanyalah mentari yang tak dapat menghangatkanmu. Aku hanyalah pelangi yang tak dapat memberi warna di hidupmu. Aku hanyalah rembulan kosong yang tak dapat menerangi malammu. Bagimu aku mungkin hanyalah sebuah bintang yang hilang ditelan kegelapan.” Sunny kembali menghapus air matanya dengan kedua tangannya. Sementara Raka hanya diam saja.
“Aku tidak tahu apakah aku berharga bagimu. Selama ini aku selalu diam dan menahan semua sakit yang kau berikan sendirian. Aku berusaha bersabar, aku yakin suatu hari nanti kamu akan berubah.” “Sunny,” “Tapi, bahkan sampai detik ini pun kamu masih sama. Kamu tidak berubah dan masih tidak mengaggapku ada.” “Sunny maafkan aku,” “Mungkin selama ini kamu sudah bosan dengan hubungan kita. Mungkin seharusnya kita berakhir saja sampai disini.” Ucap Sunny diiringi isak tangis. “Baiklah jika maumu begitu. Kita akhiri hubungan ini.” lantas Raka segera pergi.
Sementara itu Sunny hanya mampu terdiam sambil membiarkan rasa sesak di dadanya mendominasi seluruh kesedihannya.
Cerpen Karangan: Rew Blog / Facebook: Risqiema