Cakrawala baru menyingsing di ufuk barat. Sore yang cerah menyambut setiap orang yang melewati cahayanya. Anak laki-laki yang sibuk menggiring bola basket ke ring di suatu lapangan tak berwarna. Pemain volly pun tidak mau kalah. Siswa-siswi yang baru saja selesai dengan bimbingannya, keluar dari pintu ruang pembelajaran. Anak-anak yang mengantre menunggu pesanan makanannya. Mereka semua berbeda. Dari sisi apa sampai bagaimana. Hanya satu yang sama. Mereka sedang mempertahankan posisi mereka masing-masing.
Begitulah lamunan sore hari ini. Aku duduk di teras asrama sambil memakan kue bolu. Sorot mata yang hanya tertuju lurus memandangi pergerakan mereka. Hal itu tetap berlanjut hinga tahun 2017 ini. Sudah dua tahun lebih, lagi-lagi aku hanya memandang dari kejauhan. Aku mulai tersadar samar-samar sesuatu datang dari jauh. Semakin lama semakin dekat. Semakin lama semakin jelas. Sepertinya aku mengenalinya. Ku melihat Ia seperti mengulurkan tangannya meraih kepalaku. Seketika ingatan masa lalu terjadi kembali.
Tepatnya dua tahun yang lalu, bau seragam baru dengan warna yang berbeda menghiasi daratan terpencil di tengah hutan. Jarang sekali seseorang mau berjuang di tengah hutan dengan seragam yang lengkap, dilengkapi dengan tekad dan semangat yang kuat. Hanya ada para tentara-tentara yang biasanya berguling, merayap, bersembunyi dan melawan musuhnya. Namun, kali ini berbeda. Ini bukan tentara-tentara yang seperti biasanya.
Tahun itu kami semua bersama-sama berjuang masuk. Seragam baru yang dikenakan setiap angkatan dalam tiga tahun terakhir yang sudah menjadi tradisi turun temurun, akhirnya dikenakan. Tentara pendidikan generasi ketiga siap mengelana ilmu di tengah hutan, di sekolah yang baru dibangun.
Namun, awan kelabu tetap selalu menghalangi cahaya mentari. Namun sejatinya mentari tersebut tetap besinar. Tetap ada waktunya bagi si awan gelap, putih kembali dan cahaya mentari melayang bebas di angkasa.
Pagi yang cerah diikuti dengan senyuman manis mentari menemani kaki-kaki pejuang yang melangkah menitih badai nakal yang selalu setia menunggu mereka. Dengan seragam rapi, mereka menenteng senjata mereka. Begitu juga para senior dan guru-guru mereka yang selalu membantu menutupi lubang kekalahan.
Begitulah kiasan dari rutinitas para siswa di sekolah yang tak nampak ini. Mereka berlatih dan selalu membawa pena yang selalu setia, walaupun ada waktunya pena-pena tersebut kurang tajam namun tak gentar untuk tetap melukis di atas bentangan kertas. Tiap hari berkelut dengan jari dan kertas yang terasa membosankan. Tiap hari harus menenteng pena yang semakin hari rasanya semakin berat. Tiap hari harus memakai seragam dan dasi yang terasa sesak.
Tahun itu kami telah menginjak kelas xi di sebuah sekolah yang baru dibangun tiga tahun sebelumnya. Di tahun 2016 itu, di awal tahun itu merupakan tahun yang paling sibuk dalam sejarah siswa kelas xi. Mereka sibuk dengan kegiatan open-close book, belajar kelompok dan mengulangi setiap materi yang sudah diberikan. Belum lagi kegiatan organisasi yang selalu menunggu di setiap sudut waktu. Tak heran bila mereka sering kali merasa jenuh. Namun tak jarang juga ada kegiatan-kegiatan luar sekolah yang mengundang sehingga bisa menghilangkan rasa penat di hati. Namun ketika istirahat pun, perasaan itu selalu tumbuh. Perasaan yang selalu mengkhawatirkan mereka. Perasaan yang menurut mereka akan menentukan nasib mereka kelak.
Ada yang bilang umur 17 tahun itu menentukan masa depan setiap orang. Detik-detik di mana perang besar akan segera terjadi, UAS (Ujian Akhir Sekolah), SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional) lalu SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional). Namun siapa sangka, ditengah-tengah kue cupcake yang enak ada lalat yang hinggap. Di tengah-tengah semua kesibukan yang ada, kami semua juga tengah mempersiapkan bahan untuk ketiga ujian besar tesebut.
Setelah semua kegiatan reguler berakhir, kami mengambil langkah istirahat. Anak laki-laki yang bermain basket, namun ada juga yang bermain volly bersama anak cewek lainnya. Ada yang membeli makanan. Ada pula yang sedang bercanda dengan adik-adik kecil yang merupakan anak guru-guru, yang selalu setia stay bersama kami.
Setelah selesai berolahraga, Akbar pulang ke asrama untuk mandi dan sekaligus bersiap-siap untuk sholat maghrib. Karena bertempat di wilayah terpencil, maka wajar jika susah air, terutama jikalau musim kemarau sudah datang. Akbar tiba-tiba mengayunkan kepalan tinjunya kepada Fahza, adik kelas yang baru saja selesai mandi. Semua anak asrama putra kaget dan langsung menuju ke tempat kejadian. Muka adik kelas bonyok dan biru lantaran terkena pukulan Akbar. Anak laki-laki lainnya segera menghentikan perkelahian itu dan memanggil guru.
Besok paginya, Akbar dan Fahza dipanggil ke Ruang BK. Semua mata dan telinga hanya tertuju pada berita yang tengah mengudara. Atmosfer di koridor pun tidak mau ikut kalah. Kanan kiri telinga terasa seperti berhimpitan dengan telinga lainnya. Bu guru pun masuk ke ruang BK dan menginterogasi Akbar dan Fahza. banyak siswa dan guru yang hanya menunggu di luar. Namun hal itu tidak bertahan lama. Bel masuk berbunyi. Kerumunan tadi segera menghilang, namun atmosfer tetap terasa sama.
Beberapa jam setelah interogasi, atmosfer di koridor semakin sesak lantaran berita bahwa Fahza meminta pindah dari sekolah. Semua orang tambah kaget mendengarnya. Fahza bisa saja tidak pindah sekolah asalkan Akbar meminta maaf. Tapi Akbar tetap pada pendiriannya. Menurutnya Fahza lah yang salah karena Fahza mandi di kamar mandi Akbar sedangkan air tidak mengalir. Serta Akbar yang pada waktu itu dalam keadaan gerah sehingga emosionalnya tidak stabil. Sehingga diambillah kesimpulan bahwa Fahza tetap pindah sekolah.
Fitri yang merupakan teman sekelas Akbar merasa khawatir dengannya. Namun ia hanya memandangnya dari jauh. Setelah kejadian itu pihak sekolah lebih waspada dan lebih memperketat aturan. Aturan sana sini makin merajalela. Namun nasi tidak selamanya menjadi bubur. Semakin banyak siswa yang melanggar. Tidak terkecuali Dya. Dya adalah salah satu siswa yang pintar dan tekun. Ia selalu taat peraturan mulai A sampai Z. Namun setelah kejadian Akbar, satu per satu peraturan ia mulai langgar. Namun walaupun begitu ia tetap menjaga sikapnya terhadap semua orang.
Ia terkadang berpikir bahwa masa-masa seperti ini masa-masa yang langka. Hanya terjadi sekali seumur hidup. Di mana semua cerita dan perjalanan bermula di sini. Ia anak yang cerdas dan mampu mengondisikan suasana. Mampu membaca situasi setempat. Walaupun ia terkadang melanggar peraturan, ia tetap sadar bahwa yang sebenarnya salah bukan aturan melainkan pribadi sendiri.
Fitri yang merupakan teman sekelas Dya seringkali bertanya pada dirinya, kapan bisa seperti Dya. Kapan bisa melampaui Dya. Setiap hari Fitri melirik dan melirik lagi Dya. Jikalau Dya sedang belajar, Fitri datang mengganggu dengan iseng kemudian ikut belajar. Seringkali ia memerhatikan Dya tidur. Memerhatikan Dya minum, makan, berbicara dengan teman lainnya. Menurutnya Dya adalah anak yang luar biasa. Namun ia tahu bahwa ia juga harus bersaing dengan sehat.
Cerpen Karangan: Zulfitri Fardha Aqilla