Pagi hari yang cerah muncul kembali. Matahari masih menyinsing di langit timur sana. Kaki-kaki pejuang mulai melangkahkan kakinya lagi di atas tanah tak berwarna. Mereka kembali menenteng senjata mereka sambil berdoa hari ini akan lebih baik dari hari kemarin.
Sudah sekitar delapan bulan kami di kelas sebelas. Berbagai cerita, suka maupun duka terlukis di atas bentangan angin yang berlalu. Masa-masa muda yang seharusnya bahagia terkadang kita juga diuji dengan kencangnya badai topan, siap menghantam segala yang dilewatinya.
Setiap tahun di kelas sebelas semester dua, Pak Aman selaku guru Bahasa Indonesia menugaskan siswanya untuk membuat film pendek. Senang, semangat dan optimis mendengarnya. Selama ini hanya ditugaskan per kelompok sekarang per kelas. Semua siswa kelas sebelas tak terkecuali kelas kami, mempersiapkan segala bahan dan alat dengan semangat. Rapat demi rapat kami emban demi kelancaran dan kekompakan tim kelas kami. Namun sayang, lagi-lagi ada lalat yang hinggap di atas kue yang tadinya sudah dibersihkan.
Kali ini yang mengambil alih posisi produser adalah ketua kelas kami, Renal dan Fitri sebagai sutradaranya. Fitri tidak sendirian, ia ditemani oleh Ina untuk mengurus segala hal yang menjadi tugas sutradara. Sedangkan koordinator cameraman adalah Adi.
Syuting demi syuting berlanjut. Namun bukan kerja tim namanya jika tidak ada pertentangan di dalamnya. Tak jarang banyak character yang tidak hadir dikarenakan sakit atau kecapekan. Wajar saja hal itu terjadi. Namun lama-lama pemeran utama juga tidak ikut syuting, bahkan rapat sekalipun. Hal inilah yang membuat Renal marah. Tidak mood dengan syuting bahkan biacara sekalipun, ia berwajah masam. Kecut rasanya memandangnya. Apalagi Renal memang terkenal siswa yang temparemen.
Akbar pun ikut kesal melihat tingkah teman-temannya, terutama Renal yang sudah jarang mengarahkan mereka syuting. Sama dengan anggota lainnya. Mereka saling menyalahkan satu sama lain. Padahal deadline-nya sudah dekat. Fitri yang hanya selalu memandangi teman-temannya cekcok akhirnya turun tangan.
Semua sepakat untuk rapat evaluasi di kelas setelah makan malam. Renal, Fitri dan Adi mengambil alih forum. Atmosfernya sesak. Rasa Canggung memenuhi ruangan. Renal membuka rapat. “Baiklah, langsung saja. Apa ada yang mau dikeluhkan?” tanya Renal. Semua tetap diam hingga satu yang angkat biacara. “Begini, kita disini ingin kerja tim, harus selalu kompak agar tidak rompak”, jelas Fitri. “Tapi bagaimana semua mau kompak kalau ketua saja tidak mau kompak. Bukankah semua dimulai dari ketua?”, tegas Ati. “Tapi Renal juga begitu karena kita semua tidak mau diatur”, Jelas Fitri lagi. “Iya kami semua tahu. Tapi maksud saya salah satu kendala dari kerja tim kita” “Iya iya. Saya mengaku salah. Tapi tetap saja kenapa kalian seperti itu? Banyak yang pergi sana sini padahal sedang dibutuhkan. Hanya ada beberapa orang yang selalu hadir”, jelas Renal. “Ayolah, masa hanya satu tidak hadir kalian langsung berasumsi bahwa mereka itu hanya main-main. Dewasa sedikitlah!”, tegas Fitri. “Tapi tetap saja kita pusing dan kesal melihat tingkah mereka”, ketus Iki. “Dengar semuanya. Kita ini teman. Kalau ada masalah bicarakan baik-baik. Jangan seperti anak kecil yang mau main keroyokan.” “Fit, toh bukankan kita ini masih anak-anak kecil yang labil”, ejek Aya. “Hey, santai sedikitlah!” “Lho memang itu kenyataannya. Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit berkelahi. Kapan mau kelarnya”. “Ah sudahlah!” ketus Iki berjalan menuju pintu dan membantingnya. Semua anak marah dan keluar begitu saja tanpa ada penyelesaian. Lagi-lagi Fitri hanya memandang punggung teman-temannya satu persatu menghilang di balik pintu. Renal dan Adi juga acuh tak acuh dengan mereka. Pergi ya pergi. Tinggal ya tinggal.
Besoknya, Fitri masuk ke kelas dengan membentang senyumannya. Namun sayang ia dibalas dengan bentangan bibir datar. Lagi-lagi dengan atmosfer terasa sesak. Kemudian Pak Aman datang menngingatkan bahwa waktu yang tersisa tinggak dua minggu. Semua anak pasti merasa khawatir namun tak tersirat.
Walaupun sempat cekcok, namun satu per satu mulai baikan dan sadar bahwa kita tidak boleh hanya diam di tempat. Kemudian salah satu teman kami melapor ke Renal bahwa mereka siap untuk melanjutkan syuting. Yah, walaupun ada sedikit cekcok lagi namun tak menjadi penghambat buat kami untuk terus berjuang. Malah itulah yang membuat kami tahu dan mengerti bahwa sebuah sapu lidi memang berupa gabungan lidi-lidi yang menyindiri. Namun apabila lidi-lidi itu diikat oleh tali tambang dan tangan-tangan yang mampu mengontrol, maka lidi-lidi tersebut tidak akan lepas kendali. Kemudian besoknya, mentari tersenyum kembali menyapa para pejuang yang pantang menyerah. Tugas pun juga ikut tersenyum, berterima kasih karena telah diselesaikan dengan cara yang benar.
Ku kembali terbangun oleh lamunan singkat namun terasa panjang. Tak terasa kue bolu yang kumakan sudah habis. Hai, namaku Fitri. Usiaku sekarang 17 tahun. Aku bersekolah di tengah hutan yang lebat dan rindang. Namun didalam hutan yang lebat itu, siapa sangka ada keindahan di dalamnya. Sebuah sekolah yang menurutku berbeda dari yang lain. Sekolah yang menampung siswa-siswi yang rela berjuang bersama padahal di tengah hutan belantara. Alhamdulillah kami tidak takut karena kami semua merasa terikat satu sama lain. Menurutku sekolah ini luar biasa. Tidak seperti sekolah-sekolah dalam televisi, yang matanya kelalapan melihat uang. Sekolah kami menampung semua anak.
Aku berpikir bahwa kehidupan SMA sama seperti di drama-drama yang sering kutonton. Yang aku bayangkan memang sama dengan drama yang kutonton. Sama-sama punya liku-liku hidup di masa muda. Namun setiap ada sesuatu yang terjadi, aku hanya menjadi pengamat dari jauh. Aku memang cocoknya menjadi sutradara mereka. Cukup perhatikan dari jauh. Namun aku tidak berpikir behwa aku bisa mengatur hidup mereka seperti sutradara asli. Aku hanya bisa memandangi mereka dengan rasa khawatir yang mendalam.
Walau hanya bisa memandang dari jauh, terkadang aku berpikir hal yang kupandang itulah yang akan menjadi benang-benang yang terajut rapi dalam otakku. Selalu kuingat dan tersimpan.
Dalam semua masalah yang terjadi, aku bisa menarik dengan mudahnya kesimpulan bahwa hanyalah permulaan kecil. Nanti di luar sana pasti lebih kejam. Guruku pernah berkata bahwa setiap masalah itulah yang akan membuat kita dewasa.
Terkadang juga, kita ingin menjadi orang lain yang lebih di atas kita. Mengikuti seperti seorang idol. Seperti orang gila. Namun, tetap harus berkaca pada diri sendiri bahwa kita tidak boleh duduk saja. Masih banyak orang yang jalan. Masih banyak orang yang lari. Masih banyak yang lebih kencang larinya. Harus bersaing dengan sehat.
Kali ini, aku dan teman seperjuanganku berjuang untuk keluar dengan membawa kebanggaan pada diri sendiri maupun orang-orang yang menyayangi dan sangat berjasa bagi kami. Perbedaan umur memang selalu sejalan dengan perbedaan pendapat. Orang dewasa memang selalu berbeda pendapat dengan anak muda. Namun, perlu diketahui setiap kata yang mereka katakan ada makna tersirat, sekecil atom pun.
Ada hal yang sedang aku tunggu di sini. Dan ada hal yang sedang menungguku di luar sana.
Cerpen Karangan: Zulfitri Fardha Aqilla