Bagaimana bisa hari ini tiba tiba aku asing dengannya, aku sibuk bermain sedangkan dia sibuk saling melontar kalimat dengan kawannya. Bagaimana bisa hari ini dengan kegiatan yang sudah diagendakan bersama masih kujalani sedangkan tak ada status apapun yang mengikat. Bagaimana bisa aku bersikap menyenangkan sedangkan mataku sendiri melihatnya dengan wanita lain sepulang sekolah. Bagaimana bisa?
Aku tak menghiraukan berapa banyak orang sekarang, aku tetap bermain, aku tetap menunjukkan bahagiaku. Walau rasanya aku ingin lari saja dari sana, aku tak bisa melihatnya yang dulu begitu dekat denganku sekarang bersikap seolah tak pernah mengenalku. Itu menyakitkan!
Setelah benar benar lelah aku menyudahi permainanku, jujur saja ini pertama kalinya aku bermain biasanya aku hanya duduk melihatnya. Aku memberikan raket sembarangan pada orang kemudian melangkah keluar. Kali ini benar benar ramai, biasanya hanya ada aku, ketiga temanku, dia dan satu kawannya. Tapi sekarang entah aku malas menghitungnya.
“Mau kemana?” tanya razita “Keluar” jawabku dengan tersenyum kemudian melangkah lagi, tapi razita menghentikan langkahku tepat di pintu. “Jangan pulang, aku tidak mau disini dengan mereka” ungkapnya seperti anak kecil. “Iya ra, aku kan sudah bilang hanya ingin keluar” kataku, kemudian keluar agak risih sebenarnya karna diluar ada beberapa temannya.
Tapi diluar hujan, aku suka saja, baunya menenangkan. Dari pada didalam, berasa tak dianggap walau hanya sebatas teman. Tanganku menengadah tersenyum geli merasakan tetesan air menyentuh telapak tanganku. Kakiku melangkah lagi hingga air hujan ikut mebasahinya sedikit, kemudian seluruh tubuh kuserahkan pada air langit itu. Aku tertawa sendiri, meloncat, menari tapi kemudian terdiam ketika otakku tiba tiba saja mengingat kejadian seminggu yang lalu ditempat ini. Sama seperti sekarang, seminggu yang lalu juga hujan tetapi dia tak membiarkanku kehujanan walau akhirnya aku tetap saja kena hujan tapi sekarang melihatkupun tidak, aku berada dalam posisi yang terabaikan. Aku melangkah mundur, entah kenapa sulit menghadapi kenyataan seperti ini.
“Ra” panggilku lirih ketika seseorang itu sudah ada dibelakangku. Dia diam, menatapku seolah bertanya ada apa. “Ayo pulang, aku malas disini” ungkapku jujur, kemudian dia masuk lagi kembali membawa dua buah raket miliknya. “Dia memang bukan teman kita lagi na, wajar saja” katanya, kemudian mengambil motor maticnya di parkiran.
Ya entah mengapa kisah ini begitu sulit kujelaskan, awalnya kami berlima hampir setiap hari bersama di sekolah maupun diluar. Bukan persahabatan, lebih tepatnya dia kekasihku juga kakak bagi kami. Namun tiba tiba saja seseorang mengubahnya menjadi begitu jahatnya, tak berfikir apalagi peduli dengan perasaanku. Dia seenaknya, bahkan terang terangan berkata menyukai orang lain padaku.
Di sekolah semuanya sudah berbeda, tak lagi saling sapa, tak ada lagi acara traktiran di kantin, tak ada lagi semuanya yang beberapa hari yang lalu masih ada.
“Sena” seorang lelaki tiba tiba saja berdiri di sampingku, aku menoleh memandangnya. “Kapan lagi main badminton?” tanyanya. “Tak kan pernah lagi” jawabku. “Jangan terlalu membencinya na” “Maafkan fahri” katanya lagi, aku tersenyum. “Aku sudah memafkannya mas” ucapku kemudian. “Na, jika kamu menyayanginya perjuangkan” katanya lagi memandangku dengan tajam. “Tidak, warasku masih ada” kataku tersenyum lagi, kemudian menatap lurus kedepan. “Jika bisa aku ingin mas mengingatkannya untuk tidak nakal” lanjutku. “Aku tak bisa, kamu yang bisa melakukannya na” “Ya sudah suruh dia untuk ingat ingat sendiri” kataku, kemudian berbalik. “Duluan mas riyan” lanjutku sebelum benar benar melangkah meninggalkannya. Itulah awal hari yang buruk, bahkan hampir setiap hari hariku begitu buruk. Tentang agenda bermain badminton yang tak lagi kujalani. Ya entah bagaimana keadaan gedung itu sekarang, aku begitu merindukannya.
Hari ini setelah beberapa tahun aku tak pernah lagi mendatangi gedung itu, tak pernah lagi bertemu dia, aku ingin mengunjunginya sebagai tempat yang menjadi saksi betapa indahnya masa SMA ku. Kakiku sedikit gemetar melangkah masuk, gedung ini memang tak buruk walaupun tak pernah kukunjungi. Tetap sama, kursi kursi panjangnya, catnya semua masih sama. Aku tersenyum, kemudian melangkah menuju kursi panjang terdekatku, duduk dan berangan angan.
Dulu, pertama kalinya aku kesini bersamanya. Aku menyaksikan bagaimana dia bermain bersama kawannya, mas riyan. Kemudian dia mengeluh tangannya sakit, berkata seperti anak kecil. “Na sakit, pijitin” ucapnya waktu itu, tangannya ia serahkan padaku, aku mnyentuhnya mencoba memijat walau seperti kuremas remas, dia marah meskipun akhirnya tersenyum. “Na, aku haus. Harusnya kan kamu bawakan aku air, cemilan, atau makanan jika aku lapar” katanya bersandar di pundakku. Kemudian tempat ini juga pernah menjadi saksi mengikat kembali hubungan yang hampir saja berantakan. Di tempat duduk yang sama dia menggenggam tanganku. “Aku mohon na, aku menyayangimu” katanya, akupun juga sama sebenarnya bahkan lebih menyayanginya. “Na, janji jangan seperti ini” katanya lagi mencoba menyatukan kelikingnya dengan kelikingku tetapi kutepis. “Na” katanya, aku menoleh memandang wajah yang begitu kusuka, aku memyanginya karna semua yang dia punya. “Maaf ya fah, ia aku janji” kataku kemudian mengaitkan kelikingku dengan kelikingnya, dia tersenyum kemudian membelai ujung kepalaku.
Dan yang paling kuingat dihari ulang tahunnya, aku melihat dari luar dia bermain bersama razita dan rahma. Sedangkan aku dengan nawa menyiapkan kue ulang tahunnya dari luar. Yang ia tahu aku diluar, aku malas mengikuti permainan seperti ini. Saat itu dia berjalan kesana kemari seperti pelatih, aku melangkah masuk. Kemudian razita dan rahma berteriak mengucapkan happy birthday, selanjutnya bernyanyi seperti acara ulang tahun anak kecil. Dia tersenyum meskipun seperti jengkel padaku. “Happy birthday sayang” kataku, dia tersenyum kemudian mengangguk entah mengucapkan apa sebelum akhirnya meniup lilin lilin itu.
Dia mengambil kue itu dariku, kemudian menyerahkannya pada ketiga temanku. Menarik tanganku, membibingku ke kursi panjang itu lagi. Dia merangkulku tersenyum. “Ini ulahmu? dasar anak kecil” katanya “Si alay” ucapku mengejek.
Sudah cukup angan angan itu, aku tak mau lagi mengingatnya, tidak lagi dan tak akan pernah. Aku beranjak dari kursi panjang itu kemudian melangkah keluar, aku sedikit terkejut dia ada di parkiran bersama wanitanya.
“Sena” teriak wanita itu, aku berdiri terdiam mematung, dia berlari ke arahku. “Mau main? dengan siapa? kekasih barumu?” tanya wanita itu, nava. “Tidak, aku hanya kebetulan lewat. permisi” kataku sembarangan kemudian melangkah menuju parkiran meninggalkan mereka berdua. “Kamu benar benar ingin menjadikan tempat ini sebagai saksi betapa kita tak pernah saling sapa lagi” teriaknya, aku terdiam, berbalik. “Terserah tempat ini” kataku ngaco, dia melangkah ke arahku. “Kamu terlalu pemarah, suka ngambek, tiba tiba saja cuek” katanya tersenyum tak berdosa. “Apa maksudmu” kataku, nava sudah berdiri di sampingnya tersenyum juga. “Aku tau na hingga sekarang kamu menyayangi fahri, sudah kubilang sejak dulu aku hanya berteman. Ya saat itu aku salah, aku tak seharusnya masuk dalam hubungan kalian bedua, aku menghancurkan kalian” jelasnya, kemudian melangkah kedepan, memelukku. “Disini aku hanya membiarkan diriku sedikit mengingatnya, tapi tentang rasa sayang kecewaku terlalu besar.” jelasku, kemudian berbalik lagi melangkah pergi. Kalian harus tau, jangan mudah menerima seseorang kembali. kau tau? semakin mudah kau terima semakin mudah pula kau dikecewakannya. Tapi kali ini aku yakin tak akan dikecewakannya lagi. “Tapi tak lebih besar dari cintaku” teriakku membelakangi mereka.
Cerpen Karangan: Rizki Dwi Lestari Blog / Facebook: Ki Rizki Jangan hanya membaca karya orang lain, karyamupun harus dapat dibaca orang lain.