Mentari menyambut cerahnya pagi, Aku duduk di atas batu di tepi pantai, Aku mengingat kembali masalah yang pernah Aku lalui. Aku mencatat kejadian-kejadian itu di selembar kertas.
Dear Dewi Aprilia Begitu banyak masalah yang pernah Aku lalui hingga saat ini, perjuanganku untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor takkan pernah Aku lupakan. Aku pernah hampir menyerah untuk menggapai impianku, tapi Tuhan telah mengirim malaikatnya untuk membantuku melalui Kak Arya dan teman-teman yang selalu ada di sampingku. Aku pernah bermimpi ingin menjadi seorang srikandi yang mengharumkan nama Indonesia, sekarang ini Aku sedang berusaha mewujudkan impianku. Dewi apapun yang akan terjadi padamu di masa depan, bagaimanapun keadaanmu nanti, sebesar apapun masalah yang kau hadapi nanti, jangan pernah menyerah, ingatlah kata-kata Kak Arya “Dewi jika kamu sudah merasa lelah dan putus asa, ingatlah cita-citamu, lihatlah teman-temanmu yang telah berhasil, mereka bisa mewujudkan mimpi mereka, kamu juga pasti bisa! Sebesar apapun masalahmu yakinlah Tuhan akan selalu membantumu.” Kata-kata Kak Arya itu selalu menjadi penyemangatku. Ayah dan Ibu, mereka adalah penyemangat terbesar dalam hidupku. Tunggu Aku pulang Ayah, Ibu, do’akan anakmu disini. Aku tidak akan pernah menyerah, Aku akan selalu berusaha memberikan yang terbaik! Semangat Dewi!
Surat yang telah kutulis itu Aku gulung dan kumasukkan ke dalam sebuah botol. Aku melempar botol itu ke laut.
“Terimakasih Tuhan, terimakasih telah membantuku, walaupun Kak Arya sekarang sudah tidak di sini lagi Aku yakin Aku tetap bisa menghadapi masalah yang Aku alami. Semangat Dewi!” Aku melempar botol itu sekuat mungkin, Aku biarkan ombak di laut membawa botol itu pergi.
“Aduh! Siapa sih yang sembarangan membuang botol ke laut,” tanpa Aku sadari ternyata botol yang kulempar itu jatuh tepat di kepala seorang pemuda yang sedang menyelam.
Aku berlari menuju tempat latihan panahan, sudah banyak anak-anak panahan dan juga Kak Fajar yang menungguku.
“Dewi kamu dari mana? Latihan sudah mau dimulai, kamu pergi tidak bilang-bilang,” Kak Fajar terlihat khawatir. “Maaf kak, aku tadi ingin melihat-lihat laut,” Aku meminta maaf kepada Kak Fajar. “Ya sudah, ambil busurmu sana, sekarang kita mulai latihan,” Aku mengambil busurku dan bersiap untuk latihan.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mengangkat panggilan itu. “Assalamu’alaikum,” Aku mendengar suara ibuku berbicara di seberang sana. Ibuku mengabariku bahwa kakak perempuanku sakit. Kakakku dulu memang sering sakit maag. Sekarang kakakku sakit gastritis erosif, penyakit yang disebabkan karena terlalu banyak meminum obat-obatan, sehingga menyebabkan peradangan lambung. Kakakku harus dirawat di rumah sakit, sementara Ibu dan Ayahku belum mempunyai uang untuk membayar biaya rumah sakit.
Aku terdiam mendengar kabar dari Ibuku, Aku memandangi busur yang baru kubeli dari uang hasil lomba waktu itu (*baca cerpen Perjuangan Sang Srikandi).
“Seharusnya Aku tidak membeli busur ini,” “Dewi ada apa? Ada yang tidak beres dengan busurmu?” Tanya Kak Fajar. “Iya Kak sangat tidak beres, seharusnya Aku tidak membeli busur ini,” Aku menyesal membeli busur itu, jika Aku tidak membeli busur itu mungkin Aku sekarang sudah bisa membantu ibuku membayar biaya rumah sakit Kakakku.
“Sangat tidak beres? Kok bisa, Kakak lihat busurmu bagus kok, tidak ada yang salah dengan busurmu,” Kak Fajar mengambil busur yang sedang ku pegang. “Kak Aku tidak latihan dulu ya hari ini,” Aku mengambil busurku dan beranjak pergi meninggalkan Kak Fajar. “Kenapa tidak mau latihan? Perlombaannya tinggal tiga hari lagi loh, kita harus fokus latihan,” Kak Fajar mencoba mencegahku pergi. “Aku tidak tahu harus melanjutkan perlombaan ini atau harus menjual busur ini,” Aku tidak mau mendengarkan Kak Fajar dan langsung berlari pergi. “Dewi kamu mau kemana?” Kak Fajar terus memandangku yang berlari meninggalkannya. Kak Fajar tahu Aku pasti sedang ada masalah, ia membiarkanku menenangkan diri.
Aku duduk di atas batu, Aku menatap laut yang terbentang, Aku masih bingung harus berbuat apa. “Aku jual saja busur ini, lalu Aku kirimkan uangnya ke Ibuku,” Aku memandangi busur kesayanganku itu. “Tapi Aku tidak ingin menjualnya, busur kesayanganku,”
Aku berdiri di atas batu, Aku melempar beberapa batu ke laut. “Tuhaaaan! Apa yang harus Aku lakukan?” Aku berteriak berharap Tuhan mau memberiku petunjuk.
“Yang harus kamu lakukan sekarang adalah berhenti melemparkan batu ke laut,” Aku terkejut mendengar ada yang menjawab pertanyaanku, Aku menoleh dan melihat seorang pemuda berdiri di belakangku.
“Siapa kamu?” Aku bertanya kepada pemuda tersebut. “Kamu Dewi kan? Saya Reyhan,” Dia tersenyum seolah-olah sudah mengenalku. “Darimana kamu tahu namaku?” Aku merasa tidak pernah mengenal orang ini. “Dari ini,” Dia menunjukkan botol dan kertas yang pernah kulempar ke laut. “Hei kamu membaca suratku yah, lancang sekali kamu!” Aku langsung merebut botol itu darinya. “Lancang? Bukankah kata-kata itu harusnya Aku yang mengucapkan, kamu lihat kepalaku, kepalaku terluka gara-gara kamu lempar botol ini ke laut, seharusnya kamu tidak membuang barang-barang seperti ini ke laut, bisa mencemari ekosistem laut, dasar anak satu ini,” Dia memandangku dengan tatapan kesal. “Maaf,” Aku akhirnya meminta maaf kepada Reyhan.
“Oke tidak apa-apa, kamu kenapa teriak-teriak sendiri disini? Kamu ada masalah?” Dia bertanya padaku. Aku menceritakan semua masalahku pada Reyhan, entah kenapa Aku merasa sudah mengenal Reyhan sampai-sampai Aku berani curhat ke dia.
“Wi kamu buka dan baca surat yang kamu tulis itu,” Reyhan menyuruhku membaca surat yang ku pegang. Aku membaca surat itu, Aku ingat kata-kata Kak Arya, Aku tidak boleh menyerah, semua pasti ada jalan keluarnya. Aku tersenyum ke arah Reyhan.
“Wi saran dari Aku, kamu jangan jual busur ini, kamu harus tetap ikut lomba dan memenangkan perlombaan itu, dengan begitu kamu bisa membantu biaya rumah sakit kakak kamu, tinggal selangkah lagi kamu mengikuti perlombaan ini, apa kamu akan menyerah sebelum berperang? Satu lagi Wi, simpan surat ini, jangan pernah membuangnya,” Reyhan seolah-olah memberikan cahaya terang untukku melangkah.
Aku mengikuti saran dari Reyhan. Ternyata Reyhan benar, Aku harus menyelesaikan apa yang sudah Aku mulai, Aku tidak boleh menyerah hanya karena satu permasalahan, kadangkala Tuhan mencoba membantu kita dengan memberikan cobaan kepada kita. Tuhan sengaja memberiku cobaan ini untuk memotivasiku di perlombaan, dan sekarang akhirya Aku bisa memenangkan perlombaan itu.
Aku mengirimkan uang hadiah lombaku kepada ibuku. Aku tersenyum memandang botol berisi surat yang kupegang.
Aku tidak akan pernah membuang surat ini, Terimakasih Tuhan telah membantuku lagi kali ini, semoga Aku bisa bertemu Reyhan lagi. Benar, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya.
Cerpen Karangan: Feni Aprilia Dewi Blog / Facebook: feniichan.blogspot.com / Feni aprilia