Sudah tiga minggu ini aku melihatnya. Seorang gadis dengan wajah cantik namun selalu tampak murung. Sebelum bel berbunyi dia selalu duduk menyendiri di taman belakang sekolah yang selalu sepi.
Namanya Alana, dia selalu sendiri seperti seorang yang tidak mempunyai teman. Saat aku melihatnya berada di perpustakaan saat jam istirahat di sekolah, yang dia lakukan hanya menatap kosong kedepan dan mengabaikan buku bacaan yang dibiarkan terbuka begitu saja.
Dia terlihat seperti merindukan seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa yang dia rindukan. Wajahnya yang selalu murung membuat aku ragu untuk sekedar berkenalan dengannya.
Ah, Namaku Wildan. Aku sekolah di SMA Budi Luhur dan memilih jurusan IPA karena orangtuaku menginginkan aku meneruskan kuliah di bidang kedokteran. Ini adalah tahun terakhirku sebagai murid SMA.
Saat ini aku sedang berada di laboratorium untuk melakukan pembedahan pada katak. Dengan teliti aku melakukan pembedahan itu sampai tidak sengaja mataku menangkap Alana dari balik jendela ruang laboratorium. Dia sedang berjalan lunglai yang aku tidak tahu kemana tujuan kakinya melangkah.
Aku tidak mengerti apa yang membuat aku tertarik kepada Alana. Wajahnya memang cantik meski nampak pucat dan tanpa polesan bedak. Tapi aku bukan hanya tertarik pada wajah cantiknya. Maksudku, melihat gadis cantik sudah sangat biasa bagiku di sekolah ini. Yang membuat aku tertarik adalah… Dirinya. Dirinya yang selalu menyendiri, dirinya yang selalu bersikap anti sosial kepada sekitar juga tatapan sendunya setiap kali aku melihatnya.
Tadi, saat istirahat kedua aku tidak sengaja mendengar obrolan dua orang perempuan sedang membicarakan Alana. Dan aku cukup kaget untuk mendengar semua fakta yang aku dengar dari perempuan tersebut.
Dia dulu adalah seorang gadis ceria yang cukup terkenal di sekolah lamanya. Kudengar saat pembagian rapor di sekolahnya ia meminta ibunya untuk mengambil rapor miliknya. Mereka memutuskan untuk tidak datang bersama karena Alana sudah dijemput oleh sahabatnya. Alana sampai terlebih dahulu dan menunggu ibunya dengan tidak sabar di depan gerbang sekolah. Lalu sebuah panggilan datang dari ponselnya dan semuanya berubah. Alana berlari secepat kilat untuk mencegat kendaraan umum untuk membawanya menuju Rumah sakit. Ibunya mengalami kecelakaan lalu lintas dan dikabarkan meninggal di tempat saat melakukan perjalanan ke sekolah Alana.
Ya, karena mendengar obrolan itu, aku sekarang mengerti. Aku mengerti mengapa Alana selalu murung ketika di sekolah. Karena perjalanan ke sekolah yang membuat nyawa ibunya melayang. Mungkin juga karena rasa bersalah yang teramat besar karena tidak mendengar nasehat Ayahnya untuk berangkat bersama ibunya. Kurasa, aku mulai mengerti. Karena itu, aku ingin melakukan sesuatu.
Pagi ini, aku mencoba memberanikan diri melakukan itu. Kulangkahkan kakiku menuju taman belakang sekolah untuk menghampiri Alana bersama dengan kotak makan dengan beberapa roti isi di dalamnya.
Aku berdeham pelan ketika sudah berada di depannya. Dia tidak menghiraukan dehamanku. Atau mingkin dia memang tidak mendengar?
“Alana?” Ucapku ragu. Alana terlihat kaget ketika melihatku. “Ya?” Tanyanya pelan, sangat pelan. Mungkin aku tidak bisa mendengarnya jika tidak memperhatikan gerak bibirnya.
Aku tersenyum kecil ketika dia menatapku dengan Risih. Dan ketika dia berdiri untuk pergi aku mengangkat tanganku untuk menahannya. Dia terlihat bingung namun melihatku yang masih tersenyum akhirnya dia kembali duduk.
Aku menyerahkan kotak makanku ke pangkuannya. Lagi-lagi, dia menatapku bingung. “Ini apa?” Tanyanya. Aku tersenyum kecil. “Itu ada beberapa roti isi di dalamnya. Aku tahu kamu belum sarapan karena kamu sudah ada di sini pagi-pagi sekali.” Dia mengerutkan kening tapi kemudian tersenyum kecil. Ah, itu adalah kali pertama aku melihatnya tersenyum. Meskipun sangat singkat tapi aku sudah merasa senang. Dan jujur, aku ingin melihatnya tersenyum lagi.
“Ayo makan.” Aku menunjuk kotak makan tersebut. “Terimakasih.” Ucapnya pelan. Dia mengambil satu roti isi dan memakannya dengan perlahan.
“Enak?” Tanyaku. Dia terdiam sesaat lalu tersenyum lagi. Senyum yang kaku. “Iya. Enak.”
“Nama kamu siapa?” Tanyanya ketika roti isi yang dia makan tersisa setengah. Aku tertegun tapi aku langsung menjawab ketika melihat dia sedang menunggu jawaban dariku. “Wildan.” Jawabku. “Kenapa kamu kasih ini buat aku? Kita kan nggak saling kenal.” “Karena-” Aku ragu untuk melanjutkan kalimatku, lalu setelah beberapa saat aku memejamkan mata, aku menatap lekat matanya. “Karena aku ingin jadi teman kamu. Aku ingin kamu semangat lagi. Aku ingin kamu sadar bahwa sudah seharusnya kamu melanjutkan hidup kamu dengan lebih baik lagi.”
Dia menatapku dengan ketergunannya. Seolah tidak menyangka dengan apa yang aku utarakan. Ah, tiba-tiba saja aku menyesali perbuatanku. Aku baru saja berkenalan dengannya, tapi aku bersikap seolah sudah lama mengenalnya karena aku telah menyinggung masalah hidupnya.
Dia mengalihkan pandangannya dariku. Secara tiba-tiba dia berdiri, dan aku bisa melihat ada cairan yang menggenang di pelupuk matanya. Dan itu membuatku takut. Sangat takut. “Kamu-” Suaranya bergetar seiring dengan air mata yang lolos dan meluncur di pipi mulusnya. “Kamu ngga tahu apa-apa tentang hidup aku. Kamu bukan siapa-siapa! Jangan pernah kamu temui aku lagi.” Ucapnya mencoba untuk tegar. Lantas setelah mengatakan itu, dia bergegas pergi dan menjauh. Apa perkataanku salah? Apa aku salah jika ingin berteman dengannya. Tapi dia memang benar. Ini salahku karena telah mencampuri urusannya. Tapi aku hanya ingin berteman dengannya. Setidaknya agar dia tidak merasa sendirian.
Besoknya aku kembali bersekolah seperti biasa. Banyaknya tugas yang diberikan oleh guruku membuat fokusku sedikit teralihkan dari Alana. Ya, sejak kejadian itu, setiap kali aku melihatnya atau bahkan berpapasan dengannya ia selalu menunduk seolah tidak ingin melihatku lagi.
Alana sepertinya tidak ingin lagi mengenalku. Bahkan kemarin, Roti isi yang aku berikan kepadanya teronggok begitu saja di kursi taman. Dan kini, yang bisa aku lakukan hanyalah melihat dia dari kejauhan. Setidaknya melihat dia baik-baik saja sudah cukup bagiku.
Saat bel pulang menjerit nyaring, aku tidak langsung pulang ke rumah seperti biasanya. Kulangkahkan kakiku ke taman belakang sekolah dimana pertama kali aku melihat Alana.
Ah, lagi-lagi Alana.
Seperi biasa, taman itu sepi. Dan satu-satunya orang yang betah berlama-lama disini mungkin sudah kembali ke rumahnya. Aku duduk di kursi taman itu dengan tatapan lurus kedepan. Menatap bunga-bunga layu yang mungkin sudah tidak terawat. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Aku bahkan tidak sadar bahwa aku sedang berharap Alana datang ke tempat ini dan mau berbicara lagi kepadaku meski hanya beberapa kata.
“Wildan.” Sebuah suara membuatku membeku. Suara yang aku kenal namun juga terasa asing disaat yang bersamaan. Aku pasti sedang berkhayal kan? Ya aku pasti sedang berkhayal.
Aku mencoba memberanikan diri untuk menoleh ke belakang dan memang benar, dia ada di sini. Tepat di hadapanku dengan senyum yang melengkung sempurna. Aku terlalu terkejut sehingga yang aku lakukan hanya menatapnya tanpa berkedip. Tapi Alana masih setia menatapku. Dia melangkah maju dan duduk disampingku.
“Aku minta maaf, kemarin aku cuma kaget karena tiba-tiba kamu ngomong gitu.” Aku tersenyum dan mengangguk. “Ngga apa-apa. Bisa lihat kamu senyum lagi itu udah lebih dari cukup.” “Kamu benar, sudah seharusnya aku melanjutkan hidup dengan hal-hal yang membuat kesedihanku surut. Tapi aku ngga tahu dari mana aku memulai itu semua.” Alana menatapku sendu. Sepertinya dia memang masih terpukul dengan kepergian ibunya.
“Alana, kalau kamu mengizinkan, aku bisa bantu kamu.” Ucapku ragu. Aku takut jika dia akan marah lagi kepadaku.
Seperkian detik yang Alana lakukan hanyalah diam. Aku yakin dia pasti keberatan dengan usulku tadi. Tapi detik selanjutnya Alana mengangguk pelan. “Aku mau. Wildan terimakasih karena kamu mau berteman denganku.”
Aku tertegun.
Itu berarti Alana bersedia menjadi temanku. Ya, aku akan membantu Alana lepas dari kesedihannya dari awal. Aku berjanji Alana.
Cerpen Karangan: Vivi Handayani Anastasya Blog / Facebook: Vivi Handayani TTL: Tangerang, 05 April 2000 Pendidikan: SMA