Malam ini, di luar hujan sangat deras sekali. Suaranya terdengar bising di telinga, namun cukup menenangkan. Dan untuk mengisi kekosongan, aku memutuskan untuk bercerita. Bukan tentangku, tapi tentang temanku. Namanya Kinara Zakeisha. Orang-orang disekitarnya biasa memanggil dia dengan sebutan Ara. Nama yang cukup manis untuk si muka datar yang misterius.
Aku kenal dia sudah sejak lama, sejak kita masih kecil. Bahkan aku tak ingat kali pertama berjumpa dengan Ara.
Ara. Dia cuma, gadis yang lahir tanpa mimpi. Tanpa tahu nanti dia mau jadi apa, tapi dia juga perempuan yang banyak mau. Gadis yang mencoba menyelam ke permukaan padahal dirinya sendiri tidak bisa berenang.
Bisa dibilang, ya, dia gadis aneh. Hobbynya cuma baca buku buku gak sehat, nonton film sakit, sama ngedengerin musik yang gelap. Gak pinter-pinter amat sih, tapi ya gak bodoh juga. Gadis yang sulit berinteraksi sama orang baru, maunya di rumah melulu. Gak pandai bersuara dengan lantang. Apa-apa dipendam sendirian. Bisa dibilang, kehidupan Ara adalah kehidupan yang yang paling mengerikan dan tidak diinginkan di dunia. Makanan sehari-harinya hanyalah bisikan cemoohan.
Kisah ini terjadi beberapa hari yang lalu saat aku sedang mengunjungi rumahnya. “Ra, keluar kek! Jangan di rumah mulu. Ntar berkarat loh,” ucapku pada Ara.
Ara sama sekali tak mengindahkan permintaanku. Dia masih pada posisinya, yakni selonjoran di sofa dengan sebuah novel yang terlihat susah usang. Bahkan beberapa bagiannya sudah dimakan rayap.
“Ra, denger gak sih aku ngomong apa? Jangan jadi batu gitu dong! Gerak cepet! Ntar makin gendut.”
Ara langsung menatapku sinis. Iya, tubuhnya memang cukup berisi. Dan hal itu yang membuat dia mendapatkan cukup banyak komentar tak mengenakkan dari orang lain. Menolak untuk pergi keluar bersamaku tak lain dan tak bukan hanya karena dia malu. Dia malu dengan tubuhnya sendiri.
“Please, ayo keluar!” Aku yang sudah tak tahan melihat Ara yang duduk saja dari tadi kini beralih menarik-narik tangannya, memaksa dia untuk keluar. Bisa-bisa dia berjamur jika terus terkurung seperti ini.
“Ck, apaan sih? Aku gak mau keluar!” tolaknya. “Bodo amat gak peduli.”
Dan dengan susah payah, akhirnya tubuh bongsor itu berhasil keluar rumah. “Gimana udara luar segerkan?” “Biasa aja tuh.” Aku merotasikan mataku mendengar jawaban dari Ara. Singkat dan sangat menohok hatiku.
Terlintas di pikiranku untuk mengajak Ara pergi berjalan-jalan. Tubuhnya sangat besar. Sepertinya sudah lama sekali dia tidak berolahraga. “Ra, jalan-jalan yuk! Boring banget tahu.” “Hahh… Bisa gak sih ngelakuin apapun sendirian? Gak usah ajak-ajak orang.” “Kan kamu temen aku, temen tuh harus bersama kemanapun.” “Kata siapa?” “Ah.. Udah ah.. Pokoknya harus ikut!” lagi-lagi, aku menarik-narik tangannya. Kalau gak kayak gini, Ara pasti bakal balik kanan dan kembali lagi bersemayam di rumahnya.
Taman hari ini lumayan sepi, tak banyak orang yang lalu lalang. Bahkan pengunjungnya pun masih bisa dihitung menggunakan jari. Aku dan Ara memutuskan untuk duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia. Kasihan juga melihat Ara yang sudah bercucuran keringat. Pasti dia kelelahan.
Ara terengah-engah. Dia menghirup begitu banyak oksigen dan membuangnya. Begitu terus-menerus. Seperti orang yang baru saja mengelilingi lapangan. Yang aku lihat sih seperti itu.
Aku mengedarkan pandangan di sekeliling taman. Bunga warna-warni mampu membuatku takjub. Air mancur di tengah tengah taman menambah keasrian taman.
Tiba-tiba, mataku menangkap sesosok pria bertubuh bongsor dengan kacamata yang bertengger di wajahnya. Pria itu terlihat jangkung dengan tubuhnya yang sempurna. “Dirga!” panggilku pada laki-laki itu. Dirga celingukan. Dia berusaha mencari sumber suara yang memanggilnya. Dan tak lama, netra hitamnya menatap diriku. “Sini!” Dirga menurut. Dia mulai melangkah mendekatiku dan Ara.
“Ngapain sih ngajak orang lain?” tanya Ara tak suka. “Udah, gak papa. Biar temen kamu gak cuma aku.”
Aku dan Dirga ber-tos ria. Sementara Ara hanya diam tak bergerak sedikitpun. Dia terus saja menunduk. “Ngapain Ga? Jalan-jalan juga?” tanyaku pada Dirga. “Iya Ra. Basmi lemak nih,” jawab Dirga sambil cengengesan. “Tuh, denger Ra. Basmi lemak,” sungutku pada Ara. Ara yang tak suka akan apa yang kukatakan langsung menyenggol bahuku keras. Sakit? Jangan ditanya. Tenaga Ara sangat kuat.
“Oh iya, duduk disini Ga.” Aku menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahku mempersilakan Dirga untuk duduk. Karena merasa sudah cukup lelah, Dirga menyetujuinya. Jadilah kita bertiga di kursi panjang ini.
“Oh iya Ga, ini temenku. Namanya Kinara. Tapi panggil aja Ara.” Dirga mengangkat tangannya. Dengan malu malu, Ara membalas menjabat tangan Dirga. Aku tak tahu kenapa anak itu jadi pendiam. Maksudku, dia memang orang pendiam, tapi kali ini Ara lebih diam dari biasanya.
Di tengah percakapan aku dan Dirga yang heboh, tiba-tiba panggilan alam memanggilku. Aku jadi ingin buang air kecil. “Ga, aku ke toilet dulu ya. Kebelet.” Aku bangkit, ku tatap Ara yang masih menunduk. “Oh iya Ra, tunggu disini ya bentar. Dirga gak gigit kok. Gak usah takut.” Aku pergi meninggalkan mereka berdua. Tinggallah Ara dan Dirga. Mereka tak hanya berdua, tapi bertiga dengan kesunyian. Benar benar tak ada pembicaraan. Mereka kehilangan topik. Dirga yang selalu paling banyak bicara juga jadi diam. Suasana menjadi canggung sekarang. Dan Ara benci suasana ini.
“Cuacanya bagus ya,” ucap Dirga tiba-tiba. “Apaan sih?!” Ara berbisik. Tapi Dirga masih bisa mendengarnya. Telinga Dirga sepertinya sangat tajam.
“Mau permen?” tawar Dirga. Pria itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah permen yang dia dapat di saku celananya seperti pesulap. “Enggak.” tolak Ara mentah-mentah. “Kok cuek banget sih?” “Gak juga,” jawab Ara singkat. “Jangan cuek-cuek, entar cowok pada takut sama kamu.” “Gak ada juga yang mau denganku.” Dirga terdiam setelah mendengar apa yang baru saja Ara katakan.
“Loh, kata siapa?” “Aku ini gendut. Emang ada yang mau?” “Kalau dia bener-bener cinta, dan tulus, gak bakal mandang fisik kamu kok.” Ara tersenyum tipis. Apakah pria ini sedang berusaha menghiburnya?
“Oh iya Ra, aku juga dulu gendut. Bahkan hampir dikatakan obesitas.” Entah kenapa, Ara yang tadinya cuek tiba-tiba jadi tertarik dengan ucapan Dirga. Tidak mungkin cowok bertubuh tinggi nan atletis ini dulunya hampir obesitas.
“Kok, bisa?” tanya Ara penasaran. “Bisa apa?” “Aku gak percaya. Kalau iya pun, kok bisa kamu jadi kayak sekarang?” tanya Ara dengan raut wajah tidak percayanya. “Mau diceritain nih?” tawar Dirga. “Ya, gak mau cerita juga gak papa. Tapi, kalau mau lebih bagus.” Dirga tertawa. Gadis di depannya ini sangat lucu. Ditambah sifat cueknya membuat dia semakin menggemaskan bagi Dirga.
“Baiklah, aku cerita tentang diriku. Dulu, aku hanyalah pemuda yang membenci diriku sendiri. Dan aku sering banget nanya sama Tuhan kenapa aku dilahirkan? Kenapa Tuhan masih ngebangunin aku di pagi hari? Kenapa Tuhan masih kasih aku hidup sampai sekarang? Kenapa Tuhan mau repot-repot ngelakuin itu semua? Padahal aku selalu ngerasa diriku gak berguna.” Ara terdiam. Dia tak bisa berkata-kata. Dia juga tidak tahu harus mengeluarkn respon yang bagaimana.
“Tapi pada suatu hari, aku sadar betapa tak bergunanya diriku sampai aku memutuskan untuk keluar dari keterpurukan. Aku memutuskan untuk membuat hidupku lebih berguna. Ya, kalau gak bisa berguna untuk orang lain, seenggaknya untuk diri sendiri. Dan mulai dihari itu pula, aku mulai mencintai diriku. Aku mulai melakukan hal-hal yang berguna untuk diriku ya, seperti berolahraga untuk menurunkan berat badanku. Dan jadilah aku yang sekarang. Intinya, cintai saja dirimu terlebih dulu.”
Ara hanya menganga. Matanya berkaca-kaca mendengar cerita dari Dirga. ‘Kalau gak bisa berguna untuk orang lain, seengaknya bergunalah untuk diri sendiri.’ Kata-kata itu terus berdengung di telinga Ara. Ternyata selama ini dia benar-benar telah menyia nyiakan dirinya sendiri. Dia banyak terhasut omongan orang-orang yang mencemoohnya sampai tak mampu lagi mendengarkan isi hatinya sendiri.
“Gak takut gagal?” “Enggak sama sekali. Gagal itu ibarat kalau di ulangan itu namanya remidi. Nambah nilai. Jadi gak usah takut sama gagal.” kata kata itu mengalir lancar dari mulut Dirga dan membuat Ara ingin terus bertanya lagi lagi dan lagi.
“Mencintai diri sendiri kan susah. Pasti akan selalu ada insecure yang ngeganggu.” “Ya gak papa kali insecure. Kadang kita butuh insecure untuk memberikan batas pada diri kita supaya gak kepedean jadi orang.”
“Kamu sebegitu cintanya ya sama diri sendiri?” tanya Ara lagi. “Ya, i love my self. Aku mencintai diriku lebih dari apapun yang ada di bumi ini. Aku tidak takut jika aku harus kehilangan keluargaku, kehilangan teman-temanku, kehilangan orang-orang penting di hidupku. Karena aku percaya aku tidak akan pernah kehilangan diriku. Aku tidak takut jika orang lain meninggalkanku karena aku masih punya diriku.”
Untuk yang kesekian kali, Dirga mampu membuat Ara merinding dengan kata-katanya. Dulu dia pikir hidupnya menyedihkan. Tapi ternyata banyak di luaran sana yang lebih parah dari dirinya. Mata Ara ternyata belum sepenuhnya terbuka. Ara sadar kalau dia kurang bersyukur selama ini. Dia selalu menganggap dirinya sendiri aib di hidupnya. Tapi setelah mendengar apa yang dikatakan Dirga, pemikiran itu hilang terbang terbawa angin.
Ara mulai sadar dirinya penting. Ara mulai sadar hidupnya harus lebih berguna. Ara mulai sadar, dia harus mencintai dirinya sendiri.
“Jadi gimana, kamu sudah mencintai dirimu sendiri?” tanya Dirga yang membuyarkan lamunan Ara. “Sepertinya sudah.” “Sejak kapan?” “Sejak kalimat terakhir yang kau ucapkan.”
Dirga tersenyum senang. Begitupun Ara. Dia terlihat lebih bahgia sekarang. Dirga lalu melirik jam tangannya. Waktu telah menunjukan pukul tiga sore. “Ra, aku harus pulang. Aku pamit ya. Dah.” “Ah iya, Dirga. Makasih ya buat beberapa menit yang mengesankan ini.” Dirga tersenyum lebar dan melangkah pergi. Perlahan-lahan dia mulai menjauh. Punggungnya pun sudah tak terlihat lagi oleh Ara.
“Woy! Ngeliatin apaan?!” Aku yang yang melihat Ara diam-diam senyum sendiri sendiri tiba tiba berinisiatif untuk mengagetkannya. Habisnya dia aneh. “Ih.. Kaget.” “Dirga mana?” tanyaku yang sudah tak mendapati ke beradaan Dirga di sekitar sini. “Pulang,” jawab Ara dengan senyum yang masih tak pudar dari wajahnya. “Dih kenapa mesem-mesem gitu? Hayo kenapa hayo?” “Gak gak kenapa-napa,” Ara mengelak. “Eh, lari sore yuk!” Ajaknya tiba-tiba. Dengan semangat yang membara, Ara berdiri dan muli berlari meninggalkan tempat dusuknya yang nyaman.
“Lah? Ngapain?” “Olahraga lah, ngurusin badan!” teriak Ara yang sudah berjarak beberapa meter denganku.
“Lah, itu bocah kenapa?” tanyaku heran. Aku hanya bisa menggaruk garuk kepalaku, dan mencoba memecahkan teori konspirasi ini.
Tamat.
Cerpen Karangan: Tiara Vebriyanti