Tidak ada yang suka hari Senin. Hari pertama masuk sekolah dalam satu pekan, hari dimulai lagi seluruh kegiatan satu pekan yang melelahkan yang terus berulang hingga lulus. Kelas 10 IPA 2 SMAN 70 Jakarta masih harus menunggu tiga puluh bulan lagi untuk hal itu terjadi. Tapi diantara seleruh hal yang mereka tidak sukai, opini pribadi maupun bersama, ada satu hal yang mereka tidak bisa pungkiri. Kalaupun ada yang mengerti atau bahkan menguasai materi yang diberikan, mereka tidak ada yang suka dengan pelajaran keempat pada hari Senin atau hari-hari lainnya, Matematika.
Meskipun mereka memang dituntut untuk menguasai ilmu yang diajarkan karena memang kelas IPA diperuntukan untuk anak-anak yang cenderung lebih memakai logika dam dengan itu pemahaman matematika merupakan hal yang sakral, tidak ada yang memiliki niatan untuk mendalami ilmunya selain yang diperlukan untuk masa depan yang mereka inginkan. Sayangnya, mayoritas dari mereka menginginkan masa depan yang memerlukan pemahaman lebih ilmu matematika. Mereka bukan tidak memyukai ilmumya, bukan juga mata pelajarannya, yang mereka tidak sukai adalah gurunya. Ya, guru. Ada seratus alasan yang bisa mereka ungkapkan mengapa mereka tidak menyukai Pak Danton, tetapi yang paling mereka tidak suka adalah arogansinya yang bahkan bisa menjadikan hati para murid yang diajarkannya membuat air mendidih.
Momen ketika bel berbunyi pada akhir pelajaran ketiga di hari Senin merupakan momen yang menakjubkan. Perpindahan dari pelajaran pelajaran biologi yang penuh canda tawa dengan materi yang menyenangkan menuju pelajaran matematika yang suram dan beraura bak ujian mauk perguruan tinggi. Wajah murid-murid yang tadinya berseri-seri dan bekas gelak tawa berubah menjadi kerutan kebencian dan mata tajan memandang buku dan pintu yang akan dilewati penyebab semua itu.
Memang tidak semua murid memiliki pribadi yang ekspresif dan menunjukkan kebencian mereka melalui air muka dan perkataan mereka, Nina contohnya. Gadis berumur lima belas tahun itu lebih suka mengungkapkan ketidaksukaannya kepada guru tersebut dengan diam dan membuktikan beliau bahwa apa yang beliau katakan itu salah. Misalnya saat beliau menganggap Nina sedang mencontek dan kebingungan saat mengerjakan ulangan, ia lebih memilih menjawab dengan sopan apa yang sebenarnya terjadi dan mendapat nilai yang memuaskan untuknya. Nina memang bukan termasuk murid yang sangat pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika, namun kemampuannya cukup untuk menghindarinya dari omelan Pak Danton jika ada murid yang salah sedikit saja saat mengerjakan soal yang diberikannya.
Namun, hari itu beda. Setelah hanya lima bulan oleh Pak Danton, Nina tidak bisa menahan kebulan asapnya lagi. Apa yang Pak Danton, seorang guru, lakukan tidak mungkin tidak membuat seseorang yang pendiam dan pemalu saja tidak habis pikir. Kejadian itu betul-betul diluar nalar semua orang yang menyaksikannya, Nina sendiri berpikir demikian. Tetapi apa yang terjadi bukanlah suatu hal yang tidak mungkin, bahkan memang seharusnya itu terjadi.
Hari Senin pukul dua siang, setelah bel berbunyi, bahkan sebelum guru biologi keluar, Pak Danton sudah masuk membawa beberapa buku matematika, sebuah penggaris tiga puluh sentimeter, sebuah spidol, dan penghapus papan tulis. Seperti biasa, setelah salam, beliau langsung menyuruh setiap murid untuk satu persatu maju ke depan sesuai urutan tempat duduk dan menulis soal lengkap dengan cara menjawabnya.
Untuk murid yang menjawab dengan benar dengan cara pengerjaan yang sesuai dengan apa yang diajarkan beliau, tidak ada masalah. Berbeda dengan para murid yang tidak demikian. Salah sedikit saja, Pak Danton sudah siap dengan caciannya. Seorang murid yang seharusnya menuliskan tanda negatif malah menuliskan tanda positif saja sudah cukup untuk menerima omelannya, “Loh, kok tandanya negatif? Kamu belum mengerjakan soalnya ya? Kamu mencontek?” Wah, buruk sangka sekali, Pak, pikir Nina. Ya, kata-kata seperti itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kesalahan murid yang lain. Ia menuliskan jawaban yang salah hasil akhirnya. Langkah-langkah pengerjaannya sudah benar, namun, angka yang dituliskannya hampir seluruhnya salah. “Kamu ini bodoh ya? Tidak lulus SD? Masa hasil perkaliannya itu?” Lalu bagaimana dia masuk SMA kalau dia tidak lulus, Pak? Batin Nina. Muncul lagi. Kata-kata bak gas yang memperbesar kobaran api untuk memasak air dalam cerek. Sebuah keajaiban cerek tersebut belum berbunyi.
Lanjut lagi satu murid maju ke depan. Yonse, seorang remaja yang bisa dibilang tidak begitu pandai matematika dan sedikit suka melanggar peraturan sekolah. Dari riwayat pelanggarannya, Yonse termasuk anak yang bisa dikatakan ‘nakal’. Tapi bukan berarti ia tidak memiliki etika dasar dan akal pemikiran yang kurang, malah ia terkadang bisa memikirkan sesuatu yang membuat orang lain terkejut. Pemikirannya yang simpel dan apa adanya sering membuat orang-orang di sekitarnya teringat akan hal-hal yang terlihat rumit namun pada kenyataannya sangat sederhana. Kali ini saat ia maju untuk menuliskan soal, bukan jawaban atau cara yang salah, melainkan nomor soalnya.
Kasihan sekali, mungkin ia sedikit gugup atau sedikit kurang memerhatikan urutan tempat duduk dan soal yang seharusnya ia kerjakan. Namanya juga manusia pasti ada lupanya. Namun tidak untuk Pak Danton. Kerutan wajahnya yang tadinya sudah banyak menandakan umurnya yang tidak sedikit mendadak bertambah banyak. Beliau menghampiri Yonse lalu menatapnya dan papan tulis secara bergantiam. Yah, mulai lagi, “Yonse, kamu punya mata kan?” tanyanya. “Punya, Pak,” jawab Yonse dengan santai, namun Pak Danton masih membara, “Lalu, kenapa kamu tulis soal nomor dua puluh lima? Kamu ‘kan seharusnya menulis nomor dua puluh empat, atau kamu belum mengerjakan nomor dua puluh empat? Apa kamu tidak bisa melihat soal yang ada di sebelahmu? Apa yang kamu tulis di buku itu? Coret-coretan tidak jelas? Apa kamu tidak puas bersenang-senang dengan ulahmu siang tadi di kantin? Kamu niat belajar tidak?!” Segudang pertanyaan menyakitkan keluar dari mulutnya. Tidak perlu sampai dibombardir seperti itu, Pak. Yonse juga tau sendiri pasti, gumam Nina. Ia sudah geram sejak Pak Danton mulai beebicara. Walaupun Nina bukan orang yang hatinya mudah panas, ia tetap bisa marah dan kesal. Siapa yang tidak emosi melihat temannya dipermalukan oleh seorang guru di depan kelas? Meski begitu, Yonse tetap santai dan menjawab, ”Maaf Pak, saya tulis ulang,” dengan itu, Yonse menghapus soal yang salah dan menggantinya dengan yang benar. Untung kali ini jawaban dan caranya benar. Kalau tidak, entah kata-kata gas elpiji apa yang akan disemburnya.
Yonse duduk dua kursi ke kiri dari Nina, yang artinya Nina akan menulis soal nomor dua puluh enam. Setelah ia maju dan menuliskan soal dan jawaban dengan benar, giliran teman sebangkunya, Reyu, untuk menulis soal nomor dua puluh tujuh. Soal nomor dua puluh tujuh bertanya tentang perhitungan pembelahan bakteri. Materi SMP memang, Pak Danton terkadng suka mengulas ulang soal yang telah dipelajari dari SMP, agar tidak lupa katanya. Saat Reyu mulai menuliskan cara menjawabnya, beberapa murid mulai sedikit bingung. Pasalnya cara pengerjaan yang ditulis Reyu berbeda dengan rumus yang biasa dipakai. Reyu menuliskan cara pengerjaannya yang lebih memakai logika dibanding rumus. Waduh, ini gawat, pikir Nina. Jawaban yang Reyu tulis, setidaknya menurut pengetahuan Nina, salah. Namun tidak fatal. Hanya kurang satu angka nol dibelakang. Berbagai skenario Pak Danton mengomeli Reyu bermain di kepala Nina. Temannya yang satu itu merupakan seseorang yang mudah menangis. Bukan sifat keanak-anakan yang menangis tanpa alasan, ia memiliki hati yang mudah tersentuh bahkan dengan satu gambar sedih pun. Dan menurut Nina, kata-kata Pak Danton akan lebih dari cukup untuk membuat gadis itu memerlukan pelukan.
Dugaannya benar. Tanpa beranjak dari meja guru, Pak Danton sudah terlihat berapi-api melihat jawaban yang Reyu tulis. “Hei, Nak! Kamu tulis apa itu? Yang ditanya apa kok kamu jawabnya lain? Itu yang ditanya pembelahan bakteri, deret geometri! Seharusnya kamu sudah menguasainya sejak SMP. Atau kamu tidak menguasainya? Lalu kamu lulus SMP tidak?!” bentak beliau. Reyu terus menundukkan kepalanya, saat Pak Danton berhenti berbicara, ia terpaksa harus menjawab, “Lu-lulus, Pak,” jawabnya dengan suara bergetar. Aduh, Bapak tidak punya hati ya? Tanya Nina dalam hati. ”Terus, kamu masuk sekolah ini pakai apa? NEMmu mana mungkin bisa tinggi kalau deret geometri saja tidak mengerti. Kamu masuk jalur KJP ‘kan?” Oke, Pak. Itu sudah lewat batas. Berani-beraninya Pak Danton berkata seperti itu. Reyu memang anak yang masuk dengan jalur KJP (Kartu Jakarta Pintar), tapi bukan berarti ia bodoh atau tidak lulus SMP, bahkan ia lulus dengan NEM yang memuaskan, 27.5. Reyu jelas bukan anak yang pantas dapat bentakan seperti itu. Pak Danton memalingkan wajahnya dari papan tulis ke meja guru dan lanjut berkata, ”Memang anak KJP kurang mampu juga otaknya,” oke cukup sampai situ. Setelah mendengar hal itu, Nina merasa hatinya panas. Asap seakan-akan mengebul dari kepalanya seperti air mendidih. Dan seakan tubuhnya dikendalikan sepenuhnya oleh insting dan tekad, Nina berdiri dari tempat duduknya. Mendorong kursinya ke belakang.
Cerpen Karangan: Rifdah Basalim