Cerek sudah berbunyi. Tanpa berpikir jernih, Nina bersuara, ”Maaf Pak, bisa ulang apa yang Bapak katakan tadi?” Seisi kelas terdiam. Mata para murid tertuju pada Nina. Yonse menatapnya dengan mulut ternganga, Reyu menoleh kepadanya dengan mata terbelalak. Ekspresi terkejut, tidak percaya, dan tegang bercampur menjadi satu di wajah murid-murid yang lain. Nina yang baru sadar apa yang telah ia lakukan tak kalah kaget. Matanya melebar dan melirik-lirik seisi kelas yang sedang menatapnya. Pak Danton mengerutkan alisnya, ”Apa?” ujarnya. Otak Nina berkata untuk menarik tangannya ke arah mulut dan kembali duduk sambil meminta maaf. Namun, hatinya berkata lain. Instingnya yang mendominasi saat ini berkata untuk terus maju dan selesaikan apa yang sudah dimulainya. Andai ia tahu apa yang sebenarnya ia mulai Nina menarik napas yang dalam, ”Tadi Bapak mengatakan anak KJP juga kurang mampu otaknya, bisa tolong jelaskan apa maksud Bapak dari pernyataan itu?” ia menghela napas setelah mengucapkan kalimat yang terasa seperti memasuki hutan tak berpenghuni. Ia bersyukur masih bisa menyusun dan mengucapkan kalimat yang tidak terdengar tidak sopan walau tidak demikian. Ia tahu sekali apa yang ia lakukan sekarang sudah bisa dibilang di luar nalar seorang murid yang diajarkan seorang guru, tapi ia yakin apa yang telah dilakukan Pak Danton lebih dari luar nalar. ”Apa maksud saya? Apa maksudmu untuk menanyakan itu? Hakmu apa mempertanyakan seorang guru?” alih-alih menjawab, Pak Danton malah membalikkan pertanyaannya. Mendengar itu, mesin di dalam pikiran Nina seakan bekerja dengan kecepatan penuh dan menghasilkan kebulan asap panas. Nina menarik napas dalam-dalam lagi. Kali ini ia yakin dengan apa yang ia lakukan. Ia tahu ini akan membuatnya dipanggil ke ruang BK dan akan ada masalah setelah ini tapi ia tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Perkataan-perkataan Pak Danton sudah bukan hanya perkatan lagi, melainkan racun yang lama kelamaan akan melenyapkan.
Nina memberanikan diri lagi dan menatap Pak Danton “Yang Bapak lakukan tadi, dan selama lima bulan ini, adalah mempermalukan murid-murid di depan kelas dengan cara yang berlebihan. Hanya karena kesalahan kecil saja sudah diomeli habis-habisan. Saya menanyakan hal tadi karena ingin tahu kenapa anda berbuat seperti itu. Saya yakin murid-murid lain yang anda ajarkan juga ingin tahu kenapa anda suka sekali memarahi murid hanya karena ia tidak bisa mengerjakan soal, atau menganggap seorang murid itu nakal bahkan bodoh karena penampilannya atau latar belakangnya. Bapak tahu ‘kan, Bapak itu seorang guru? Seseorang yang seharusnya memiliki sikap yang jauh lebih dewasa dari murid yang diajarkannya. Lantas kenapa Bapak memiliki pemikiran yang bahkan lebih sempit dari kita yang pengetahuannya lebih sempit dari-,” “Cukup sampai di situ, Nak,” sela Pak Danton, ”Pernyataanmu sudah melewati batas. Mana hormatmu kepada seorang guru yang mengajarkanmu ilmu? Beraninya kau mengkritik seorang guru meskipun kamu tidak memiliki hak untu-,” Nina menyela balik, “Tidak, Pak, saya memiliki hak untuk bersuara. Saya tidak semata-mata menggunakan hak saya tanpa alasan. Memang hak saya tidak sekuat hak dari murid-murid yang Bapak marahi langsung, tapi melihat teman-teman saya yang menjadi sasaran amarah Bapak setiap pelajaran dan saya yang mendapat efek emosional dari melihat dan mendengarnya sudah cukup untuk jadi alasan saya untuk bersuara. Saya bertanya demikian karena seperti yang saya katakan tadi, kenapa Bapak, seorang guru, memiliki pemikiran seperti itu? Setau saya mana ada guru yang kerap menilai orang dari penampilan dan auranya, mana ada guru yang mencaci maki muridnya hanya karena satu kesalahan dan perbedaan cara melakukan sesuatu. Terlebih lagi, mau seornag guru atau bukan, mana ada orang pintar yang menganggap rendah orang lain hanya karena ekonominya kurang!”
Tanpa sadar, Nina sudah sedikit meninggikan suaranya. Teman-teman tengah menenangkannya, mencoba menghindari kemungkin terburuk, walau mungkin itu sudah terjadi. Yonse mencoba menenanginya dengan kata-kata, ”Te-tenang, Nin. C-coba duduk dulu dan tarik napas. Kita dengarkan apa kata Pak Danton,” tuturnya. Yonse yang biasanya santai dan tidak peduli saat ada masalah sekarang terlihat panik dan cemas melihat temannya yang seakan mendadak berubah kepribadiannya. Reyu yang tadinya terlihat seperti mentalnya sedang terpuruk sekarang menghadap ke Nina dan mengisyaratkan kepadanya agar berhenti meluap dan sadar siapa yang sekarang ia hadapi. Tapi Nina tidak peduli. Nina tahu betul ia sudah jatuh ke palung yang entah ada ujungnya atau tidak. Tapi ia berencana untuk menepi ke dinding palung dan mendaki naik meskipun dengan tanpa alat bantu. Ia pikir sudah saatnya ada orang yang angkat bicara soal ini. Dari yang ia lihat, sepertinya tidak ada yang akan melakukannya kecuali dirinya sendiri. Kata-kata Pak Danton tentang anak KJP tadi sudah lebih dari cukup untuk menarik picunya.
“Kamu menanyakan alasan saya bersikap seperti itu? Yasudah, karena kamu terlewat keras kepala, saya akan menjawabnya; karena itu memang faktanya! Anak yang tidak bisa matematika sama saja bodoh. Kalau ia tidak bisa hitung-hitungan dan analisa kritis ia tidak mempunyai masa depan. Apalagi kalian anak jurusan IPA, matematika adalah dasar dari ilmu-ilmu yang kalian pelajari. Orang yang bodoh itu akan tercermin pada penampilannya, apalagi yang memiliki riwayat pelanggaran yang banyak. Penampilannnya pasti awut-awutan dan raut wajahnya juga tidak kalah menjengkelkan. Kalian di umur sekarang mana paham hal-hal seperti itu. Kalian hanya berpikir untuk selalu berpikir positif dan melihat sisi baiknya. Padahal fakta tetap fakta dan tidak akan bisa diubah”. “Dan untuk anak KJP, mereka jelas sudah kurang mampu dalam berbagai hal. Bagaimana cara mereka untuk belajar dan mengerti pelajaran tingkat tinggi kalau menggapainya saja tidak bisa? Harus dibantu pemerintah segala karena pemerintah kasihan dan sangat ingin menjunjung tinggi kesetaraan dan meningkatkan pendidikan bangsa, padahal tidak semua orang memiliki kemampuan otak yang bisa dikembangkan seperti itu dan karena itulah mereka kurang mampu. Mereka seharusnya diberi pendidikan khusus terlebih dahu-,” “Tidak, Pak,” sela Nina lagi. Setiap kata yang diucapkan Pak Danton tadi seperti cuka yang disiram ke luka yang dalam. Dengan geram tapi tenang, ia melanjutkan, “Seluruh ucapan yang Bapak katakan tadi itu salah. Mana ada orang yang hanya karena ia tidak bisa mengerjakan soal matematika secara mutlak ia adalah orang yang bodoh. Ada banyak profesi yang tidak membutuhkan kecerdasan lebih dalam bidang matematika dan memiliki masa depan yang menjanjikan. Penulis misalnya, memangnya ia perlu menghitung hari apa orang akan beli novelnya yang A atau B? Tidak ‘kan? Dan banyak penulis yang akhirnya sukses sampai tua”. “Penampilan juga, kalau soal seragam yang kurang rapi atau atribut yang kurang lengkap memang dapat mencerminkan sedikit dari kepribadiannya, tapi kalau soal wajah, lain ceritanya. Wajah adalah fisik seseorang yang tidak bisa diubah. Kalau Bapak beranggapan anak yang dari wajahnya terlihat nakal itu benar-benar demikian, maka apakah Bapak menganggap anak yang cantik atau tampan itu pintar dan memiliki kepribadian yang baik? Mana bisa seperti itu, Pak. Kalau memang seperti itu kenyataannya, maka orang-orang sukses di dunia ini hanyalah mereka yang memenangkan kontes kecantikan atau ajang permodelan. Tapi lihat Mark Zuckerberg atau Bob Sadino, raut wajah mereka tidak beda jauh dari Yonse misalnya, atau bahkan kami semua yang ada di sini. Bentuk wajah tidak berpengaruh dalam kecerdasan, Pak, tapi ekspresi mungkin bisa. Ekspresi menandakkan keadaan hati seseorang dan sedikit menggambarkan kepribadian. Tapi apakah Bapak menghiraukannya? Saya lihat tidak.”
Mendengar namanya disebut, Yonse tersentak. Ia tidak mau ada keterkaitan dengan masalah yang sedang berlangsung. Tapi ia mengerti maksud Nina, wajahnya yang bisa dibilang tidak tampan dan tidak jelek juga sama saja seperti wajah orang-orang sukses yang baru disebutnya. Fisik tidak berpengaruh dalam kecerdasan. Tapi Nina belum selesai, “Satu lagi, Pak. Pasal pendapat Bapak tentang anak yang masuk melalui jalur KJP. Iya mereka memang kurang mampu dalam masalah finansial dan fasilitas, tapi itu sama sekali tidak berpengaruh dalam kecerdasan juga. Buktinya saja Reyu saat SMP mendapatkan NEM UN diatas rata-rata. Ia menggunakan jalur KJP karena itu adalah peluang dan pertolongan untuk meningkatkan kecerdasannya. Cara menjawab soal yang ia tulis juga merupakan bukti dari kecerdasannya. Ia menggunakan kemampuan analisanya dan mengaplikasikannya. Jawabannya memang kurang tepat, tapi tidak fatal dan tolonglah, Pak, Reyu juga manusia”.
“Kami semua yang Bapak pernah marahi adalah manusia, sama seperti Bapak. Jadi tolong pikirkan kembali apa yang selama ini Bapak anggap benar karena itu sangat berdampak pada murid-murid yang Bapak ajarkan,” seakan itu adalah kata-kata penutup, Nina kembali duduk di kursinya dan berkata lagi, “Itu bukan hanya suara hati saya, Pak, tapi saya yakin teman-teman semua disini berpikir hal yang sama.” Seisi kelas diam seribu bahasa, menunggu tanggapan Pak Danton. Akhirnya setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Pak Danton berdiri dari kursinya. Ia mengarahkan tangannya ke arah pintu kelas, “Kalau itu yang kamu pikirkan tentang saya, lebih baik kamu tidak usah belajar dari saya sama sekali. Keluar sekarang kamu dari kelas saya, KELUAR!” bentaknya. Nina, bahkan seluruh kelas tersentak. Namun, Nina tidak merasa gelisah. Meskipun ia terkejut dengan dengan apa yang barusan diperintahkan gurunya, ia tetap tenang dengan hati tak tergoyahkan. Nina sudah mempertimbangkan kemungkian terburuk dari perbuatannya tadi dan kalau ia jujur, ini bukan salah satunya. Nina lalu mengemaskan barang-barangnya dan menuju ke arah pintu.
Cerpen Karangan: Rifdah Basalim