Sesampainya di pintu, ia membukanya dengan lebar sehingga gagangnya menyentuh dinding yang sejajar dengannya. Sebelum ia meninggallan kelas, Nina berbalik badan dan memandang seluruh murid 10 IPA 2 dengan wajah tegar dan penuh keyakinan. “Kalian berpikiran yang sama denganku, ‘kan? Kalau begitu, pintunya akan kubiarkan terbuka lebar,” dengan itu, Nina pergi meninggalkan kelas dan menuju ke halte bus depan sekolah.
Sekali lagi seisi kelas terdiam karena Nina. Tak semua murid memahami apa maksud perkataan Nina sebelum ia pergi tadi, tapi Yonse paham. Maksud Nina adalah mengajak kepada murid yang lain untuk meninggalkan kelas yang menurut mereka juga tidak pantas untuk diikuti. Reyu pun paham, namun ia mencoba untuk tidak memercayai bahwa itu yang dimaksud Nina. Karena meskipun Reyu juga berpikir hal yang sama, Reyu tidak seberani Nina.
Setelah hening beberapa saat, tak cukup Nina yang membuat kelas syok, Yonse terlihat sedang mengemaskan tasnya lalu berjalan ke arah pintu yang masih terbuka lebar. Pak Danton pun terkejut melihatnya. Sebelum Yonse sepenuhnya keluar dari kelas, Pak Danton menghentikannya, “Hei, Nak! Kamu mau kemana? Siapa yang memperbolehkanmu pulang? Atau kamu mau mengikuti si anak kurang ajar tadi?” Yonse menghadap ke arah Pak Danton, lalu dengan santai ia menjawab, “Ya, Pak, saya berpikiran sama dengannya. Permisi,” lalu lanjut berjalan keluar kelas dan pergi ke halte bus. Kali ini giliran Pak Danton yang tidak bisa berkata-kata. Beliau sudah sulit untuk mencerna perdebatannya dengan Nina, beban pikirannya ditambah dengan kelakuan Yonse. Lalu, di luar dugaan siapapun yang melihatnya, Reyu terlihat sedang menuju keluar kelas membawa tas sekolahnya.
Seisi kelas, termasuk Pak Danton, terdiam melihat Reyu yang sekarang berada di depan papan tulis dekat pintu. Merasakan tatapan dari banyak orang, Reyo menoleh ke belakang dan diam di tempat. Melihat tatapan dari teman-temannya, ia mulai menyesali apa yang ia tadinya akan lakukan. Hatinya beberapa detik yang lalu sudah sangat yakin dengan apa yang ia lakukan, menyusul Nina yang setengah mati membelanya tadi. Namun, seakan keberanian merasukinya, ia tetap berencana untuk menyusul Nina, karena ia juga berpikiran sama dengannya.
Di meja guru, Pak Danton menatapmya dengan ekspresi yang tak pernah ditunjukkannya di depan kelas. Bingung, gelisah, dan putus asa menjadi satu. Akhirnya beliau berbicara, “Kamu… juga berpikiran yang sama dengan anak itu?” tanyanya. Reyu merasakan tubuhnya kaku di tempat, tapi akalnya masih berjalan. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menjawab, “Iya, Pak, saya setuju dengannya.” Mendengar jawaban Reyu, Pak Danton kembali duduk di kursi guru sambil menunduk dan mengusap-usap dahinya. Melihatnya tidak melarang Reyu untuk pergi, gadis itu melanjutkan langkahnya keluar kelas, “Permisi,” dengan itu, ia pergi menyusul Nina dan Yonse ke halte bus.
Bisa dibilang Nina sedikit terkejut melihat dua temannya yang membawa tas sekolah menuju kearahnya. Meskipun ia memang mengajak kepada teman-teman kelasnya untuk istilahnya ‘walk-out’ dari kelas, ia tidak mengira akan ada yany betul-betul menerima ajakannya. Melihat kedua temannya tersenyum senang dan sedikit berlari ke arahnya, ia merasa sedikit beban yang dipikulnya berkurang. Ya, mereka mungkin akan dipanggil ke oleh kepala sekolah atau mungkin orangtua mereka yang akan dipanggil ke sekolah. Tapi kalau itu artinya kebenaran akan terungkap masalah akan terluruskan, Nina tidak keberatan. Karena mamanya selalu berkata, “Saat kau berdiri seorang diri dengan kebenaran di tanganmu dan ada orang yang mengatakan kepadamu untuk menyingkir, katakan kepada mereka, ‘Tidak, kau yang menyingkir’.”
—
Nina sendiri tidak dapat percaya apa yang ia lihat sekarang. Di hari Rabu pelajaran kedua, pelajaran matematika, bukan Pak Danton yang berada di meja guru, melainkan seorang guru yang ia dan seluruh murid belum pernah lihat. Kalau Nina jujur juga, ia masih bingung kenapa pada hari Selasa atau Senin sore tidak ada panggilan untuknya dari kepala sekolah atau guru BK. Nina, Yonse, dan Reyu tetap menjalani hari sekolah seperti biasa seperti tidak terdapat bekas abu dari api yang membara kemarin.
“Selamat pagi menuju siang semuanya! Saya Abdurrahman Madudi, bisa dipannggil Pak Adi. Mulai hari ini saya yang akan mengisi jam pelajaran matematika kalian!” ucap sang guru dengan irama ceria. Guru baru rupanya. Seketika wajah-wajah murid di kelas terlihat terkejut bahagia. Guru matematika mereka bukan lagi guru yang memiliki aura yang seakan siap menyemburkan oli pada api di hati mereka. Meskipun belum mengenal dengan pasti seperti apa guru yang satu ini, mereka bisa sedikit bernapas setelah menahannya selama diajarkan oleh Pak Danton. Tapi diantara semua keceriaan itu, ada satu murid yang sepertinya lebih merasa bingung dan heran. Baru satu hari setelah kejadian debat antara guru dan murid dan esok lusanya guru itu sudah tidak ada kabar lagi. Ya, Nina memang suka berpikir hal yang berbeda dengan teman-temannya.
Setelah mempertimbangkan suasana dan waktu, Nina akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat tangan dan bertanya, “Maaf, Pak, saya ingin bertanya. Kira-kira Pak Danton ke mana ya? Sudah tidak mengajar di sini lagi?” Mendengar pertanyaannya, beberapa murid juga akhirnya terlihat penasaran. Tak bisa dipungkiri mereka juga bingung dengan pergantian guru yang tiba-tiba ini. Apa karena memang sudah saatnya ia pensiun? Masalah finansial yang mengharuskannya mencari pekerjaan lain? Tidak, bukan itu. “Oh, Pak Danton? Guru matematika ya? Yang dari saya dengar beliau mengundurkan diri dari sekolah Senin kemarin. Saya memang sudah melamar untuk menjadi guru dari lama, jadi saat ada peluang saya langsung menagmbilnya,” jawab Pak Adi. Mengundurkan diri? Senin kemarin? Batin Nina. Apa karena perkataanku? Tidak, tidak mungkin. Mana ada pengunduran diri prosesnya hanya sehari. Apa beliau sudah merencanakan ini dari lama? Tapi ini sudah tengah-tengah tahun ajaran. Apa di sekolah ini bisa seperti itu? Apa mungkin ia setelah mengajukan untuk undur diri kemarin ia langsung berhenti mengajar? Nina tak habis pikir bagaimana cara menyambungkan titik untuk menemukan jawabannya.
Nina tenggelam jauh dalam pikirannya sampai tak sadar Pak Adi telah memulai pembahasan materi. Untuk ukuran seorang guru baru, membahas materi pada pertemuan pertama memang terkesan sedikit menjengkelkan. Tapi mau bagaimana lagi, tak lama lagi mereka akan ada ujian akhir semester, wajar saja jika para guru lebih memadatkan pelajaran.
Selama mengajar, sekali dua kali Pak Adi melontarkan lelucon ringan. Sedikit garing dan hanya segelintir murid yang tertawa menanggapinya. Tapi bukan itu yang membuat suasana kelas hangat, melainkan ada hal yang selama ini tidak pernah ada dalam kelas Pak Danton, ketenangan. Tidak ada kecemasan akan kata-kata makian apa yang akan terdengar dari waktu ke waktu. Untuk sekarang, Nina memilih untuk mengesampingkan kebingungannya tentang pengunduran Pak Danton dan menikmati pelajaran matematika yang baru ini. Setidaknya mulai sekarang, akan ada gelak tawa yang tersisa dari pelajaran biologi pada hari Senin hingga akhir pelajaran keempat, matematika.
Cerpen Karangan: Rifdah Basalim