Aku Denry seorang murid pecundang yang tak punya tujuan. Bukan tanpa sebab, hanya saja semesta menjadi satu-satunya alasanku tak pernah mendapat posisi layak pada sebuah lembaga kecil yang konon mampu memberi sebuah hak yang pantas untuk ‘tiap manusia. Tapi sunguh, atas nama derita aku benar benar tak pernah merasa berguna dan entah sampai kapan akan tetap menjadi tak berguna.
“keren coy pacar ke berapa nih”. “hahaha, bisa aja lu bos”. Membuat kami tertawa lepas hingga tak menyadari akan dua mata cantik menatap tajam dengan tangannya yang dilipat tepat didepan kami. “eh Bu”. “hallo bu Sira” Tentu saja kami rasa sapaan kami cukup sopan untuk menghormatinya. Tapi naas, bu Sira dengan tengilnya meninggalkan kami lewat senyum yang diberi seadanya. Yasudahlah, untuk senyum manisnya aku rela diacuhkan.
Kalian tau? Para pecundang sekolah sungguh terikat pada parfum yang dipakai bu Sira. Kami rela mengintip dari lubang kunci untuk sekedar menyaksikannya mengajar. Cukup lucu bukan? Memang tidak ada lagi yang mengalahkan ketidakbergunaan kami di Sekolah.
“pengumuman pengumuman untuk Denry kelas XI IPS 3 silahkan secepatnya menemui saya di ruang kerja saya”. Kami hafal betul pengumuman itu dari bibir cantik bu Sira, tak heran mata para pecundang manatapku. Aku tau mereka iri, keberuntungan berpihak padaku sekarang.
“permisi bu, apa tidak salah memanggil nama?” tentu saja itu sekedar guyonan, malu sekali jika memang kenyataannya begitu. “masuk sayang, bisa kau langsung duduk?” “oh siap bu”
“ibu akan mengatakannya langsung padamu. Ibu telah memutuskan untuk mendaftarkanmu di Olimpiade Geografi pada tahun ini, apa kau setuju?” Kau tau betapa jeleknya saat mulutku menganga kaget mendengar itu. Aku benar-benar tak pernah setuju pada keputusannya. Tapi senyumnya berhasil menjerat kata tidak dariku, tatapannya membuatku setuju pada kegiatan yang kuanggap menyerang nyawaku.
Setiap hariku terhabiskan pada ‘tiap lembar buku yang tulisannya tak pernah kupahami. Bahkan dari setiap penjelasan bu Sira yang ku mengerti hanya tentang bagaimana ia terlihat begitu sempurna. Tapi pak Anwar merusak teoriku ia benar-benar seorang guru penghancur bagiku.
“jelaskan mengapa industry ektraktif diberi nama seperti itu, apa tidak ada yang lain?” Pertanyaannya membuatku mual, dia pasti tau aku tak cukup jenius untuk menjawabnya. “sudah saya katakan bu, seorang brandal sekolah hanya menjadi tikus, tak pernah ada pijakan untuk tikus. Semua percuma. Pengakuan terbaik hanya untuk anak emas bukan brandal sekolah yang menumpang nama”. Lagi-lagi si penghancur itu merusak segalanya dalam diriku. Kurasa, sekolah ini begitu sesak untuk selalu memperbaiki yang sudah baik. “permisi bu, maaf saya hanya tikus”. Bu Sira menatapku kaget, membiarkan hening menelan kami, meloloskan dendam membungkus hati kami.
Aku tak tau apa yang salah. Hanya karena ego yang hampir merajai tubuhku aku hampir membenci bu Sira. Aku sungguh bersalah untuk marah yang seharusnya tak kulampiaskan pada bu Sira. “permsi bu”, aku selingi salam itu dengan ketukan pintu yang sengaja kubuat kencang. “masuk sayang”, suaranya terdengar begitu berat. “ada apa bu?” aku kaget melihat mata sembabnya dan refleks menanyakan itu. “saya sepakat dengan pak Anwar jika saya gagal membawamu ke perlombaan saya harus harus rela keluar dari sekolah dan membiarkan pak Anwar meperketat aturan sekolah. Saya fikir saat kamu memuji orang lain kamu juga mampu dipuji orang lain, ternyata tidak”. Mendengarnya kecewa yang kulakukan hanya diam, menyesal sekali aku memuji temanku waktu itu. “apa terlambat bu untuk memulainya lagi?” dia tampak begitu kaget. “apa kau serius?” balasku hanya mengangguk. Bu sira lekas berdiri dan memelukku. “ibu yakin kamu bisa”, ia begitu membuatku yakin.
Hatiku amat sangat berat, detak jantungku terasa amat sangat kencang. Aku mencoba menyerang nyawaku. Mengisi setiap soal yang berhasil membuat tubuhku gemetar, membaca setiap langkah hingga pada senyum yang rasanya sangat sulit untuk kutunjukkan, membuat diriku terlihat begitu kaku, terlihat begitu bodoh untuk sekedar berdiri disamping peserta yang lain.
Mereka manatapku, memberiku tatapan sinis atas sebuah pernyataan panitia yang mengumumkan namaku sebagai juara harapan I. Tepuk tangan itu membuat tangisku membiru. Tapi, jika ditanya tentang bagaimana perasaanku, aku benar benar tak bisa menjawabnya. Ini pertama kalinya aku merasa begitu berharga, begitu sempurna.
Kini, semuanya dapat dengan bebas bernafas, tak perlu sesak. Mereka akan dipandang layak tanpa kecuali. Ku kira “Guruku Pahlawanku” hanya sekedar pribahasa subjektif. Karena mungkin apa yang mereka anggap pahlawan ‘tak cukup berarti untuk kuanggap pahlawan. Tapi bu Sira merubah perspektifku. Dia tak marah saat banyak dicaci, tak pernah benci saat banyak dimaki. Bahkan saat usahanya menjadikanku emas terlanjur kubuat hancur ia tak pernah memaksaku untuk membangunnya kembali. Itu menjadi cukup kuat untuk membuatku yakin bahwa memang “Guruku Pahlawanku” dan bu Sira adalah pahlawan terbaikku.
Cerpen Karangan: Gina Melani Blog / Facebook: Gina Melani