Semilir angin di pagi hari membelai raga dengan mesra. Seorang gadis remaja berdiri menatap danau kecil, air tenangnya dipenuhi bunga teratai yang tengah mekar. Diafragmanya terangkat untuk menghirup udara segar dari pohon-pohon yang masih terjaga keasriannya. Gadis itu melepaskan pegangan pada pagar kayu pembatas yang mengelilingi rumahnya, kemudian duduk pada sebuah ayunan yang tergantung pada dahan pohon maple.
Rambut hitam kemerahan miliknya tergerai indah oleh sapuan lembut angin pagi itu. Menambah cantiknya dengan perpaduan warna dari daun maple di atasnya.
“Amanda!” Seorang wanita paruh baya berdiri di pintu rumah, memanggil gadis tersebut. Tangannya mengangkat sebuah keranjang sayuran kosong. Kaki Amanda dipijakkan untuk melambatkan ayunan tubuhnya. Ia menoleh dan hanya melempar senyum pada Rosalinda, ibunya. Lantas beranjak menghampiri.
“Kemarilah! bantu Ibu memetik sayuran!” Amanda menganggukkan kepala dan meraih keranjang dari anyaman bambu tersebut. Keduanya berjalan bersisian ke kebun belakang rumah.
Amanda. Nama yang indah, berarti wanita yang layak disayangi diberikan kedua orangtuanya enam belas tahun yang lalu. Ibunya bercerita, orang dengan nama Amanda tergolong percaya diri. Bahkan cenderung memimpin dengan berwibawa dan selalu mencari petualangan. Ia sangat tertarik dengan kehidupan dan memiliki sifat mandiri.
Di kehidupan nyata, dia hanya seorang gadis remaja. Hidup sederhana di sebuah pedesaan di bawah kaki gunung Eltar yang menyuguhkan hamparan perbukitan hijau, langit biru, pepohonan rimbun serta burung berkicau riang. Surga kecil itu tersaji di desa bernama Greenland.
Di belakang rumah, ayah Amanda sibuk membelah kayu. Sedang ia dan Rosalinda mengisi keranjang dengan wortel, kubis dan kentang yang diambil sesuai kebutuhan masak.
“Ibu apa sudah selesai?” tanyanya, “aku akan menggembala domba-domba kita.” “Pergilah!” Amanda pamit meninggalkan ibunya. Ia meraih mantel bulu yang tergantung di dalam rumah. Lalu membuka pintu kandang domba yang berjumlah lima ekor dan menggiringnya di padang rumput. Sepertinya ucapan Rosalinda tidak sepenuhnya salah. Gadis itu amat senang menggembala dan berpetualang di dalam hutan. Ia merasakan kebebasan hidup.
Domba-domba sedang menikmati rumput, Amanda merebahkan tubuhnya di atas rerumputan dan berbantalkan kedua telapak tangannya. Mata gadis dengan selaput bening berwarna biru itu memandang cakrawala. Aroma harum dari bunga Stevia yang tumbuh di antara rerumputan membuat gadis bertubuh tinggi itu menutup mata.
Mentari kian meninggi, sinarnya mengusik tidur gadis bermata biru tersebut. Tangannya diarahkan pada netra untuk menghalangi silau, lalu bangkit dari tidurnya. Amanda duduk dengan merangkul lutut. Ia mengamati domba-dombanya tengah bersantai. Perut hewan berbulu tebal itu sudah membuncit tanda kenyang.
Amanda meraih ranting yang dibawanya tadi dan menggiring domba-domba kembali. Mereka meninggalkan padang rumput, melewati pepohonan pinus. Kemudian bertemu jejeran pohon maple yang tumbuh subur dan tertata di sepanjang jalan yang mengarah ke rumahnya.
Hewan ternak berbaris, masuk satu per satu dalam kandang. Amanda kemudian menguncinya. Ia menggantungkan kembali mantel bulu yang dikenakan di tempat semula dan bergegas ke dalam rumah. Rupanya ayah dan ibunya sudah menunggu untuk makan siang.
“Huum!” Amanda membaui makanan yang terhidang di meja. “Baunya menggugah, sepertinya cacing-cacing di perutku sudah tidak sabar lagi.” ucapnya sambil mengecup pipi Rosalinda.
“Ayo duduklah.” Betran memperbaiki posisi kursi untuk di duduki putrinya. Mereka berdoa sebelum makan, tanda akan syukur pada pemberi Rahmat.
Usai membantu merapikan aktifitas dapur, Amanda kembali duduk di ayunan. Di usianya yang sebentar lagi menginjak tujuh belas tahun, dia belum memikirkan hal berbau asmara. Sahabat atau ibunya sendiri sering bersenda gurau perihal itu. Namun, begitulah saat ini, seorang Amanda belum tertarik dalam dunia asmaraloka. Dia lebih mencintai dunia panahan bersama Betran. Atau menggembala dengan domba-domba gembulnya. Amanda masih ingin menikmati kehidupan sendirinya.
Betran memberikan sebuah busur dan anak panah pada Amanda. Bukan tanpa alasan, Betran menginginkan seorang anak laki-laki. Namun takdirnya diberikan seorang putri yang berjiwa petualang. Ia sangat bahagia mengajak putrinya berburu dan mengajarkan teknik memanah. Amanda percaya, cinta akan hadir di saat yang tepat.
Cerpen Karangan: Lisma Blog / Facebook: Lisma