Kala itu aku menjadi santri baru di sebuah pondok pesantren (ponpes) di kota kecil, yang santrinya bisa dikatakan lumayan banyak dan tercukupi dari aspek ilmu keagamaannya, baik pada tingkat dasar, sederajat, menengah, atau pada tingkat kelas atas.
Pondok ini termasuk dari beberapa pondok tertua di kota kecil yang kebanyakan santrinya berasal dari luar daerah, maka tak jarang dari bangunan ponpes ini masih terdapat corak bangunan tua dengan ciri khas kejawen (Adat Jawa), tak sedikit lulusan pondok ini pun mampu mencetak generasi unggul dalam bidang keagamaan. dan membuat para orangtua khususnya mempercayakan untuk mendidik (menitipkan) anaknya di ponpes ini.
hari sambangan (penjengukan) telah tiba dimana orangtua sehabis menjenguk anaknya terdapat kebahagian atau senyuman manis dari kalangan santri, baik karena sehabis melepas rindu, ataaupun sehabis dapat uang jajan yang masih tebal. tapi ada juga para santri yang rumahnya jauh dan terpaksa menerima kedatangan orangtuanya dua bulan atau satu tahun sekali untuk melepas rindu. tetapi karena jarak, waktu, dan tempat yang memisahkan maka kalangan orangtua menitipkan uang jajan ataupun spp lewat ATM dan BANK. Di dalam hati, aku sangat bersyukur karna kudapati diriku tak berasal dari luar daerah, melainkan menjadi satu kota dengan pondok tersebut.
Waktu itu aku sedang berjalan dengan Adi, yakni teman sebayaku yang sifatnya agak ceroboh dan menjengkelkan dia sudah lama di pondok sejak kelas 3 SD, Dan kini dia sudah kelas 10. Dan kudapati sebuah warung di sudut pertigaan yang ramai para santri yang sedang berbelanja atau hanya sedang cari hutangan saja, lalu kumasuki toko tersebut dan kulihat beberapa kerumunan santri yang terbagi menjadi beberapa grup, aku tetap berjalan masuk dengan menyisir ruangan-ruangan yang membuatku penasaran. aku berhenti sejenak, dan tercium aroma tembakau yang menyengat dari pojok ruangan disertai suara gurauan.
“sebenarnya ini warung atau apa” gumamku dalam hati. “ppplllaaakkk…” tangan seseorang mendarat di pundakku. “ngapain berhenti, keburu padat orang nanti” rupanya Adi mecahkan kebengonganku melihat komplotan tembakau yang sedang nongkrong di depanku “ayo ikut aku” terusnya Adi.
Aku pun di ajak pergi dari sekawanan santri senior yang bercengkrama dengan dipenuhi asap rokok. Lalu kami menyusuri bebrapa ruangan tersebut. ternyata toko tersebut menjadi satu dengan warung kopi yang menjual segala kebutuhan santri, baik aneka makanan, buku-buku, alat tulis, dan kebutuhan pokok lainnya yang apabila dijelaskan makin gak jelas. Karena dari luar Nampak toko, akan tetapi ketika kita masuk terlihat seperti warung.
Suara gurauan yang dari tadi membuatku penasaran lama-lama semakin dekat. aku mendekatinya perlahan-lahan, Adi menarik lengan bajuku untuk mendekat ke segerombolan santri, nampaknya Adi kenal dengan salah satu atau beberapa santri yang ada di sana. Ya’ wajarlah dia memang sudah lama di sini mengingat diriku masih santri baru.
Dengan wajah polosku aku mengamati hal-hal sekitar yang nampaknya aman-aman saja. Dan begitu dekat dengan temannya dia menyambutnya dengan kata-kata mutiara “Cccuuukkk… ada apa cuk rame bingit kayaknya kok seru” sapa Adi sambil menggembleng kopyah seorang santri dengan rambut gondrong yang terlihat umurnya lebih tua darinya. “baru datang kok udah main tabok” sahut santri rambut gondrong dengan nada agak jengkel “hehehe… lha ada apa toh kok kepingkel-pingkel” sahut Adi “iki lohh ada buku HUMOR SANTRI keluaran terbaru” jelasnya santri rambut gondrong itu.
Ternyata dia teman lama Adi, dulunya dia pernah mengasuh Adi ketika Adi masih jadi santri baru, namanya kang muklis usianya 6 tahun lebih tua di banding Adi, ia dulunya pernah satu kamar dengan Adi tapi sekarang harus pindah dikarenakan Kang Mukhlis kelas ngajinya sudah berbeda jauh ketimbang Adi yang masih kelas menengah.
Belum sampai Kang Mukhlis menjelaskan dengan tuntas tiba-tiba jari Adi menunjuk kearah sebuah buku dan berkata “Kang muk… Ambilkan itu kang” “Mana to???” balas Kang mukhlis. “Itu lo kang “ mata Adi berbinar-binar sambil menunjuk ke arah sebuah buku “Kamu mau ini to diii…” cakap kang mukhlis dengan nada heranyang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya “Iya kang muk, sini cepet sampean kasih to… ” “Ya sabar to diii… kamu itu masih kelas berapa, kok bacaanmu kaya gini” “Alah kang mukhlis tuh kebanyakan peraturan” jawab si Adi yang jengkel karena buku tersebut tak kunjung diberikan Lalu di bacakannya dengan keras judul Novel tersebut “Perhatian-perhatian, kawan kita yang bernama Adi ingin membeli Novel yang diidam-idamkannya dengan judul KEMESRAAN SUAMI ISTRI wahahahahahaha…” suara Kang mukhlis yang lantang disusul gelak tawa para santri dan karyawan yang ada disekitarnya membuatku menahan tawa agar tak diketahui si Adi. Adi hanya diam menahan rasa malu. Memang kang mukhlis dari dulu sangat menyayangi Adi bagai saudaranya, akan tetapi cara menunjukkan rasa sayangnya sangat jauh berbeda dengan saudara pada umumnya.
“Sesuatu yang belum saatnya kok dicoba pasti banyak madhorotnya” ujar Kang mukhlis dengan nada halus “Kata siaaa…” belum sempat menyahut perkataan Kang Mukhlis, Kang Mukhlis menimpalinya. “Ibarat orang kalau belum saatnya mati kok minta gantung diri… mbok sampai talinya putus pasti gak bakalan mati, paling juga hanya malu sama tetangga” “hahahahahahahahaa” sahut santri lainnya yang berada di dekat Kang Mukhlis.
Sambil menunggu mereka bercengkrama aku melihat buku-buku yang berada di rak. tampilan buku itu bermacam-macam ada yang sudah tidak ada sampul plastiknya dan ada yang belum di buka sama sekali. Dalam kesempatan ini banyak digunakan santri untuk sekedar mengintip, mengutip atau mendiskusikan buku dari toko tersebut seperti yang dilakukan oleh Kang Muklis dan kawan-kawannnya.
Pada saat itu juga aku melihat sosok yang menyendiri di ujung ruangan yang membuatku penasaran. Sosok itu berdiri di depan rak panjang yang isinya dipenuhi kitab-kitab santren dan kitab klasik. ketika aku perhatikan dari kejauhan sosok itu hendak mencari-cari sesuatu dan nampaknya kebingungan.
Aku mengamati sekitar, tapi memang benar sosok itu sendirian tanpa teman atau sesiapa yang mendampinginya. Lalu Aku memberanikan diri untuk mendekat ke arah sosok itu guna mengobati rasa penasaranku, setelah kuamati dari raut wajah, pakaian, hingga sikapnya sosok itu terlihat seperti orang terpelajar. Ketika hendak menyapanya dengan halus
“CARI APA KANG ZIIIIZZZ” ucap Si Adi yang mengagetkan dari belakang dengan suara yang keras dan terdengar mengesalkan. kali ini untuk kedua kalinya Si Adi mengagetkanku. “Cari kitab rujukan yang dikaji pelajaran abah kemarin” jawab sosok itu dengan senyuman kecil dan mantap
Sambal berjalan pulang Aku menanyakan tentang siapa orang tadi yang berada di toko, Adi menjelaskan tentang sepengetahuan dia tentang siapa orang tadi. Dan tak lain orang itu bernama Aziz yakni teman Adi dari kamar lain yang seumuran dengan kita, ia juga menceritakan bahwa Aziz ini adalah orang yang cerdas dan pandai di kelasnya.
Hari demi hari berlalu dan kenalanku di ponpes makin banyak dan aku yang terkenal pemalu akhirnya telah menunjukan diriku yang sebenarnya dengan sifatku yang agak tledor, kini tiba saatnya pelajaran yang mana mata pelajaran itu diajar oleh kiyaiku sendiri.
“Abah datang… Abah datang…” kata salah seorang temanku yang nongkrong didepan kelas dan menjumpai kiyaiku sedang menuju kelas
Kami sekelas menyambutnya dengan berdiri dan mengucap sholwat nabi “Sholu ala sayyidina Muhammad” sambut ketua kelasku yakni Aziz dengan suara yang lantang, “Allahuma sholi alaih” jawab semua teman di kelasku Lalu Abah mengucap salam dan kami menjawabnya dengan taqdim seraya menundukkan diri dengan sikap menghormati. Abah pun menerangkan pelajaran pada bab yang kemarin belum selesai. dengan ciri khas logikanya yang membuat pelajarannya mudah dipahami para santri abah mampu mungutak-ngatik beberapa kajian fiqih menjadi sangat menggelitikkan. Setelah beberapa lama abah meminta beberapa santri agar maju satu persatu untuk menyetorkan hafalannya didepan kelas. dan tak jarang bagi santri yang tidak hafal akan dipermalukan dengan berdiri di luar kelas hingga pelajaran selesai, untung jatahku setoran sudah minggu kemarin yang membuatku agak lega kali ini.
Jam menunjukkan pukul dua siang yang artinya pelajaran abah tinggal setengah jam lagi, bagi kami setengah jam adalah waktu yang sangat lama jadi apabila di tunggu itu akan sangat terasa membosankan, aku pun melihat jam lagi kearah depan yang berada diatas papan tulis dan tetap saja jam itu tak cepat bergerak dari angka dua, aku pun sedikit membungkukkan badan dan menjadikan kedua tanganku sebagai bantalan.
Tanpa diduga ternyata kelas begitu sepi, “rupanya ini sudah sore” dan tak ada siapapun di kelas itu aku menoba memfokuskan penglihatanku yang masih remang-remang dikarenakan habis ketiduran pada waktu itu. Lalu setelah aku bangkit dari bangkuku ternyata aku tidak sendiri, melainkan di bangku guru ada seseorang yang sedang membolak-balik buku dengan seksama sepertinya aku kenal
“Loh dah bangun kamu” sambut dia dengan suara datar “Kamu to ziz” yang ternyata dia adalah Aziz “Bikin kaget saja” terusku dengan agak malas “Makanya kalau guru lagi mengajar jangan tidur, tuh akibatnya sampean ditinggal temen-temen” Aku diam tak berkutik, lalu aku berusaha mengalihkan perhatian “Jam berapa ziz” “Tuh jam empat” “hah jam empat” jawabku dalam batin “Lha kamu ngapain disini” tanyaku dengan penasaran “gak papa, nih Cuma baca-baca aja” sambil membolak balik kitab Abah yang ketinggalan Lalu Aku jadi ingat perkataan Kang Mukhlis “Sesuatu yang belum saatnya kok dicoba pasti banyak madhorotnya” sambil aku piker-pikir. “hah dia kan orang terpelajar, pasti bercanda” pikirku. Lalu Aku bergegas menuju kamar dan tiba-tiba “hahahahahahaaa” suara teman-teman menertawaiku lantaran aku baru bangun setelah pelajaran abah tadi. Aku semakin jengkel ketika Adi ikut menertawaiku “ngapain aku gak kamu bangunin to di…di” bisikku “salah sendiri tidur jam pelajarannya abah”
Aku menyadarkan bahuku pada lemari dengan rasa malu dan agak sedikit menyesal. Adi yang dari tadi duduk dan menertawaiku kini nampaknya sudah mulai puas dan perlahan terhenti. “di aku tadi lihat Aziz sedang baca kitabnya abah lo” curhatku pada Adi dengan lirih “heh… masa to?” “itu namanya apa kalua bukan dzolim” sahutku pada adi yang masih tidak peraya “ahhh… becanda kamu lha Aziz itu orangnya taqdim sama guru ”
Memang bagi kami yakni kalangan santri kami sering mendengar larangan untuk tidak membaca kitab milik kiyainya apabila tidak disuruh. Dengan membacanya otomtis kita akan mempelajari apalagi kalau yang membaca orang pandai.
Setelah beberapa hari itu sikap Aziz kepada guru-gurunya mulai berubah, kini Aziz yang dulunya pendiam menjadi agak sedikit brutal, kini ia malah sering berdebat dan membantah guru dengan seolah-olah dia yang paling benar, sikapnya yang akhir-akhir ini menjadi meremehkan seperti tidak mengaggap ilmu itu penting, dia jadi sering bangun kesiangan, terlambat, dan cenderung membangkan. Lalu pada saat hari dimana para santri dijenguk oleh orang tuanya, aku melihat Aziz sedang menangis didepan orangtuanya, aku tak banyak Tanya dengannya.
Kini Aziz menjadi jarang masuk waktu pelajaran, kadang ia masuk hanya absen dan pulang setelahnya, aku menjadi bingung dan ingin bertanya padanya tentang apa yang membuatnya menjadi Aziz yang saat ini. Tetapi keinginanku untuk bertanya aku simpan dalam hati karena aku sedikit minder dengannya memngingat prestasiku jauh dibandingnya.
Tak banyak yang kutahu cerita tentang Aziz. Yang kutahu dia keluar dari pondok beberapa hari lalu dan aku mendapat kabar bahwa ia sering berjalan membawa sampul kitab di pinggir jalan raya dengan celana pendek dan telanjang dada.
Sekian apabila kurang berkenan mohon saran dan masukan
Cerpen Karangan: Nahru Jauhar Blog / Facebook: Jawaharlal Nehru profilnya kapan-kapan saja. jadi cerpen ini merupakan karya pertama saya jadi jangan dianggap terlalu serius tapi jangan juga dianggap remeh karena sesuatu yang serius berangkat dari hal yang remeh. tapi bukan juga sebaliknya. disini saya hanya berharap bahwa cerpen ini dibaca orang, sukur-sukur mau menambahkan komen juga gak papa entah itu komen positif atau negativ, tentunya akan saya terima dengan lapang dada. terimakasih…