“Untuk sayap yang patah, karena mereka yang hanya singgah.”
Cewek itu bergumam lirih, tersenyum kecut sembari mengelus burung peliharaannya. Love bird. “Iya kan Bei, aku benar kan?” Bei, burung kesayangannya itu berkicau riang tanpa tau bahwa tuannya sedang bersedih. Cewek itu terkekeh, “makasih mau dengerin aku Bei. Aku masuk dulu ya.”
“Aylana!” Ia menoleh, mendapati bibinya sedang memegang kantong plastik berukuran besar yang ia tebak berisi kebutuhan sehari-hari. “Ini taro meja makan ya. Bibi mau ngecek kebun.” Aylana mengangguk patuh, menerima kantong itu. Lalu segera melaksanakan ucapan Bibinya.
Aylana atau Aylana Larasati namanya. Si pemilik kulit pucat. Pendiam dan misterius. Setidaknya menurut para siswa-siswi SMA Putih Karya. Lana yang selalu berangkat pagi-pagi sekali dan yang paling terakhir meninggalkan sekolah. Lana si penebar rasa dingin. Setiap kali ia ada, pasti selalu dingin. Lana si cewek remaja yang membenci keramaian dan penyuka kesunyian. Lana si pemilik sayap indah namun sayangnya sayap itu telah lama patah.
“Eh itu kan Lana…” “Gue heran, makin hari dia makin aneh aja.” “Itu dia manusia bukan si? Pucet banget gila.” “Ehh tapi ya gue waktu itu kan abis ekstra jam 5 sore, nah gue denger suara nyanyi. Sumpah, suaranya enak banget.” “Terus?” “Gue rasa Lana yang nyanyi.” “Emang lo tau suaranya? Udah kayak orang bisu dia.” “Ga tau kenapa gue yakin kalo itu dia sih.”
Yah, itulah kata sambutan jika Lana berjalan di koridor sekolah. Kurang kerjaan. Batinnya berucap. Lana tetap berjalan santai dengan wajah khasnya, wajah pucat.
Ia meringis lirih saat dahinya terbentur dinding koridor dan mengeluarkan darah. Lana menegakkan badan, menoleh ke belakang. Ia mendengus, melihat geng RELD gwng paling famous di sekolahnya. Emyta yang bisa dibilang sang ketua, maju dan tersenyum miring. Membalikkan tubuh Lana secara paksa dan mendorongnya sampai terbentur dengan dinding koridor. Kali ini punggung. Lana nendesis, punggungku untung ga remuk.
“Halo Lana. Elo kenal gue?” Emyta berucap lembut yang membuat Lana bergidik. Merasa jijik. “Kok diem? Lo bisu?” Lana masih betah terdiam, tak menyahut. Hal itu membuat Emyta geram sendiri. Tanpa aba-aba, dirinya mencengkram kuat dagu Lana. Kuku tajamnya menggores wajah gadis itu.
“Elo beneran bisu? Jawab!” Salah satu teman – lebih tepatnya anak buah – Emyta membentaknya. Namanya Licia. Emyta menggeleng, menatap Licia dengan tatapan ‘gue aja’. Yang ditatap memutar bola mata tapi tetap menurut.
Lana masih terdiam, belum mengucap sepatah katapun. Ia hanya meringis perih saat Emyta membuat badannya terbanting ke bawah. Emyta mendongakkan kepala Lana – agar menatapnya -, ia berlutut lalu berucap penuh penekanan. “Gak guna elo!!”
“Argghh…” Lana mengerang tertahan, ia mencoba menggerakkan kaki kanannya pelan namun yang ada ia malah kesakitan. Lana menatap punggung Emyta dan antek-anteknya benci. Dan kembali menatap iba kondisi kakinya yang tadi diinjak keras dengan sengaja oleh geng unfaedah itu.
Lana mengernyit, ia mendongak. Menatap wajah seseorang, pemilik tangan yang terulur di depannya. Seorang lelaki berdiri di hadapannya, dengan tangan lain yang dimasukkan ke saku celana. Cool. Ganteng. Dua kata itulah yang terlintas di pikiran Lana. Lana buru-buru menggeleng menyadari.
Sadar bahwa si cewek kulit pucat tidak akan menerima sodoran tangannya, lelaki itu memegang tangan Lana, menggenggam dan menariknya. Dalam tanda kurung, ia membantu Lana berdiri. Lana sempat oleng, namun masih bisa mempertahankan kedudukannya. Tanpa berbicara, ia kembali menarik tangan Lana. Meninggalkan koridor sekolah yang telah sepi. Yah, 45 menit yang lalu bel masuk kelas berbunyi.
Lelaki berjaket biru dongker itu membuka pintu UKS. Mendudukkan Lana di tepi kasur. Ia lalu mengambil kotak P3K, mengobati luka di dahi si cewek kulit pucat. Lana meringis sesaat. Ia melirik lelaki yang telah selesai mengobati lukanya dan kini sibuk meluruskan kedua kaki Lana. Entah kenapa Lana menurut, tak melakukan perlawanan.
“Shhh…” “Arghh…”
Meringis dan mengerang. Itu yang Lana lakukan. Bagaimana tidak tiba-tiba saja kaki kanannya ditekan secara teratur. Lana baru menyadari, kakinya itu sedang dipijat. Lelaki itu lalu menurunkan kaki Lana, berdiri dari kursi yang ia duduki. Lana yang mengerti menggerakkan sedikit demi sedikit kaki kanannya. Menginjak lantai. Ia terperangah tak percaya. Berjingkrak-jingkrak. Wahhh, sembuh.
Lelaki itu menggeleng, dalam hati tersenyum geli. Tapi ia tetap mempertahankan wajah datarnya. Menatap Lana. Yang ditatap menyadari lalu mendongak mengucap kata ‘terima kasih’ tanpa suara. Lelaki itu mengangguk paham.
Mereka terdiam, membuat keheningan menyelimuti atmosfer. Lana akhirnya melangkah, ia memang penyuka kesunyian tapi ia tak suka kecanggungan. Lelaki itu mengikuti dari belakang, tanpa berucap apapun. Sampai Lana tiba di depan kelasnya. 12 IPS 3. Lana menyempatkan menoleh ke belakang, lelaki itu kemana?
Lana memilih acuh, mengangkat bahu nasuk ke dalam kelas. Meminta maaf karena terlambat sebab ia baru mengobati luka di UKS yang dibalas anggukan kepala oleh guru sejarah.
Dimatamu aku tak bermakna Tak menarik arti apa-apa Kau hanya inginkanku di saat kau perlu Tak pernah berubah
Serpihan hati ini Ku peluk erat Akan ku bawa Sampai ku mati Memendam rasa ini sendirian Ku tak tahu mengapa aku tak mampu Melupakanmu…
Kadang ingin ku tinggalkan semua Pedih hati menahan dusta Di atas pedih ini aku sendiri Selalu sendiri….
Dimatamu Aku tak bermakna…
( Utopia – Serpihan Hati )
Lana menekan tuts-tuts piano dengan piawai. Memainkan lagu favoritnya. Ia tersenyum kecut, mengingat tentang sayapnya yang telah patah. Yang membuat ia seperti ini. Kisah dulu. Kisah masa lalunya.
Dulu, dulu sekali Lana merupakan seseorang yang pandai bergaul walau agak dingin dan pendiam. Ia memiliki keluarga yang harmonis. Dan sahabat setia. Namun kebahagiannya tak bertahan lama. Keluarganya yang berkecimpung di dunia politik dituduh menganut ‘keabadian’, aliran sesat yang merajarela.
Sahabatnya menjauhinya, takut terkena karma. Sedang orangtuanya menjadi korban kekejaman lawan politik sang papa. Dibunuh. Dan raganya tak diketemukan. Hilang entah kemana. Lana histeris, ia merasa semua ini tak adil baginya. Sayapnya yang indah dan mencolok hilang seketika. Patah sudah.
Sekarang Lana tahu, sahabatnya itu hanya singgah. Tak menetap. Begitu juga dengan orang lain. Hanya mendekat saat butuh. Akhirnya Lana mengalah pada takdir. Ia menerima. Kemudian pindah sekolah, ke sekolah kini. Tinggal seatap dengan bibi dan pamannya. Setidaknya ia masih memiliki keluarga, tak hidup sebatang kara. Dan Lana yang memang pendiam dari lahir, makin pendiam saja. Ia kuga menambah sikap anehnya. Misterius. Meski aku ini bukanlah seekor burung, namun aku tahu bagaimana rasanya jika sayap patah.
Lana mengerjab, mengusap kasar pipinya. Menghapus jejak air mata disana. Lana beranjak, menyudahi permainan pianonya. Meninggalkan ruang musik yang sunyi. Bergegas pulang ke rumah sebelum menangis lagi. Namun Lana tak tahu, jika ada seseorang yang sedari tadi memperhatikannya. Seseorang itu tersenyum. Bergumam, “Aylana…” Seseorang itu, lelaki tadi pagi yang menolongnya.
Disinilah Lana berada. Lapangan sekolah. Dengan langit cerah dan awan putih. Lana menggigit bibir, gugup. Ia bahkan mengeluarkan keringat. Padahal terik mentari tak terlalu panas. Semua ini gara-gara Emyta, ketua geng yang membullynya. Cewek dengan wajah kebule-bulean itu menantang Lana untuk menyanyi. Penuh pemaksaan. Alasannya sih untuk membuktikan bahwa Lana normal, tidak bisu maksudnya. Dan gilanya lagi, Lana ditantang menyanyi di tengah lapangan. Kebetulan semua siswa/i hari ini free class.
“Gimana? Elo siap?” Lana hanya mengangguk. “Ingat kalo lo ga bisa nyanyi lo tau akibatnya.” Emyta tersenyum licik, Lana mendengus sebal. Aku ga bakal disini kalo aku ga nyanyi.
Lana memetik senar gitar, mulai memasuki intro lagu. Lagu yang mengisahkan tentang dirinya.
Rasanya sunyi Tak ada suara dalam diri Rasanya sepi Tak ada nada dalam melodi Bagi aku yang coba pahami Walau ada ragu di hati
Sebait lagu berhasil dilantunkan Lana dengan sempurna yang disambut tepukan tangan.
Aku ingin terus bertahan Dan mencoba bertahan Menantang semua hal Yang mungkin menakutkan
Lana menatap ke depan, ke arah lautan siswa-siswi yang juga menatapnya.
Disini aku, Berdiri berharap dan berlari Mengejar mimpi seindah pelangi Karna ada hujan yang temani
Lana mencoba tersenyum walau kikuk namun tetap berhasil.
Walau kini sayapku patah Tapi itu tak masalah Walau kini sakitku kian bertambah Mengucur darah makin parah
Ia menghela nafas sejenak, bersiap memasuki reff
Ini tentang semua Aku kisah dan juga rahasia Ini tentang bagaimana Cara membasuh luka yang ada Ini tentang sayap yang patah Karna mereka yang ternyata hanya singgah
Ooo…
Sayapku yang indah… Sayapku telah patah…
Lana tersenyum, menatap ke arah lelaki yang kemarin menolong dan mengobati lukanya. Lelaki berjaket biru dongker itu balas menatap. Ikut tersenyum.
Dan mereka yang ternyata hanya singgah…
Yeah, petikan gitar terakhir. Selesai. “Terima kasih semua…” Lana masih tersenyum. Sangat manis. Ia lalu beranjak dari tempatnya. Membiarkan semua mengomentarinya.
Lana dan lelaki itu sempat bertatapan. Bertemu aksa. Hanya 4 detik. Setelah itu mereka saling membuang muka. Maaf, aku hanya takut jika kamu sama seperti mereka, hanya singgah. Sayap ini masih patah. Tapi terimakasih untuk kamu, lelaki kemarin pagi yang menolongku di koridor sekolah.
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa di panggil Daa. Bisa di temui di Wattpad : Daa_zure