“Dih! Apaan? Gak bisa gitu dong!” Seruan tak terima yang diperdengarkan seorang gadis membuat tawa teman temannya makin membahana. Mengundang lirikan orang lain yang tak dipedulikan keempatnya. 4 orang. Jumlahnya 4 orang gadis remaja yang kini tengah duduk bersama di satu meja sebuah cafe. Sedari tadi siang hingga kini sore menjelang, meja mereka penuh dengan candaan tawa yang menggelitik.
“Hei, hei, udah. Cepetan lanjut lagi mainnya. Dah mau malam. Gue gak bisa pulang kemalaman.” Celetuk salah seorang dari mereka. Dia Gisel. Kenalin, dia ketua perkumpulan kelompok ini. “Yaelah! Bentar lagi kok. Giliran lo yang putar.” salah satu dari mereka menyahut. Namanya Via. Gadis yang duduk di sebelah Gisel ini kekeuh mau terus bermain permainan yang tengah mereka jalankan. Omong-omong, mereka sedang bermain truth or dare. Dengan botol kaca di atas meja yang akan diputar guna memutuskan siapa yang akan mendapat giliran untuk berkata jujur, atau ditantang.
Gisel mendengus. “Pleaselah, Sel. Sekali ini aja, giliran lo, terus selesai. Suer.” Nana yang duduk dihadapannya membujuk. Zena yang berada di sebelah Nana mengangguk-angguk setuju. “Iya, iya.” putus Gisel akhirnya, membawa angin segar bagi sahabat-sahabatnya.
Gisel mulai memutar botol. Dengan cepat botol terputar. Semua mengamati dengan serius. Penasaran kali ini siapa yang akan mendapatkan truth or dare. “Please, Gisel.” Zena berucap penuh harap. Karena, serius! Sedari tadi hanya Gisel yang tak pernah ditunjuk botol. Dan seakan menurut, botol perlahan berhenti terputar tepat mengarah pada Gisel. Gisel melotot. Ketiga temannya malah tertawa puas. “Truth or dare?” Via bertanya sambil menaik turunkan alisnya, menggoda. Gisel menghela napas berat, ini diluar dugaaannya. “Ck, fine. Karena gue gentle nih..” Gisel sengaja menggantung kata-katanya, membuat para sobatnya makin terkikik geli. “Gue memutuskan untuk memilih dare.” lanjut Gisel. “Mantap!” ketiga temannya meyodorkan kedua jempol tangan mereka.
“Jadi, apa darenya?” tanya Gisel malas. “Tembak Alfrin.” Serempak para temannya menjawab. Gisel terdiam sesaat. “Loh?! Serius? Gak bisalah! Gue gak mau!” Gisel menolak tegas. Yang lain tertegun. “Kenapa gak mau?” Tanya Zena. “Parah banget kalian kasih darenya nembak orang! Gimana caranya?! Kalau orangnya mati? Gue yang dipenjara! Pokoknya gak!” Gisel menjawab panjang lebar. Seketika semua terdiam. ‘Beginilah nasib punya teman, kok rada nyebelin ya?’ Via membatin, ia mengelus dada. Berusaha sabar. “Sel, bukan begitu maksudnya.” Nana memijat pelipisnya pelan. “Lah, terus?” Gisel mengernyit. “Begini…,” Maka selama kurang lebih 5 menit Nana mulai menjelaskan arti kata tembak, yang bukan secara harfiah. Namun hasilnya, Gisel tetap menggeleng tak mau.
“Gak, masa gue nembak orang yang gue gak suka?” Kesal Gisel. “Gak benaran, ini cuma main-main.” Via mencoba memberitahu. Gisel nampak menimbang. Lalu mengangguk beberapa detik setelahnya. Maka meja itu kembali penuh sorakan riang. Mari lihat apa yang akan terjadi besok. Hari yang sudah disetujui untuk menembak Alfrin.
Keesokan harinya…. Di sekolah SMA Bimasakti, tempat Gisel mengumpulkan ilmu, bel susah berbunyi untuk terakhir kalinya, menandakan jam pelajaran telah usai. Semua siswa nampak memenuhi koridor kelas. Bergegas keluar gedung sekolah. Tak terkecuali Gisel dan kawan-kawannya yang juga nampak bersamaan keluar kelas.
“Gak lupa kan, lo?” Via bertanya sambil melirik Gisel. “Iya, gue ingat. Tenang aja.” Gisel menjawab tenang. Mereka beriringan menuju ke ruang musik. Keempatnya berhenti di balik tembok tak jauh dari ruang musik. “Oke, seperti rencana. Gisel, lo nembak Alfrin tepat waktu dia keluar dari ruang musik. Kita tungguin lo disini.” Zena mengintruksi. Maka yang lainnya mengangguk.
‘Ceklek..’ pintu kelas musik terbuka. Sosok pemuda yang dibicarakan muncul, keluar dengan gitar yang sudah terbungkus rapi di punggungnya. Alfrin murid yang keluar kelas paling akhir. Gisel menghela napas. Setelah dikode Zena, gadis itu bergegas keluar dari balik tembok. “Hai..?” Ia menyapa. Alfrin menoleh. Menunjuk dirinya sendiri seakan berkata ‘saya?’ maka Gisel mengangguk. “Bisa bicara sebentar?” Tanya Gisel. Diangguki Alfrin. Tatapannya datar, wajahnya terlihat dingin. Gisel jadi gugup.
“Ehm, gue tahu ini pertama kalinya kita bicara, tapi…., singkat aja. Gue kayaknya suka sama lo? Jadi pacar gue?” Gisel berucap dengan satu tarikan napas. Tak ada perubahan di wajah sang lawan jenis. Oh, Gisel sudah menduga. Dari teman-temannya, Gisel sudah mendengar gosip Alfrin yang memang memiliki sikap dingin. Rumornya, sudah banyak yang menyatakan perasaan padanya, namun tak ditanggapi, bahkan ditinggal tanpa jawaban. Itu yang membuat Gisel tak ragu menyetujui tantangan. Karena, yahh, secara teknis orang didepannya pasti akan menolak. “Oke.” Sepertinya tidak. Gisel mematung mendengar penuturan singkat dari Alfrin. “What?! Gak, gak! Gue mengerti kalau lo nolak gue, serius gak papa-” Perkataan Gisel terpotong. “Tapi gue terima.” Suara Alfrin menginterupsi. “Loh? Kok gitu?!” Gisel malah protes. Alfrin tak menanggapi. Ia berbalik badan bersiap meninggalkan tempat itu.
“Woi! Serius ini?!” Gisel berseru. “Gue yakin lo gak tuli.” Alfrin menjawab datar tanpa mau menoleh ke belakang. Gisel melotot tak percaya. Ia menoleh dan menatap tajam teman temannya dibalik tembok. “A, apa?” Nana gelagapan. Ini juga diluar ekspektasi mereka. Realita tak sesuai ekspetasi. Ck, ck, ck.
Tamat.
Cerpen Karangan: Jocelyn Noya Jocelyn Noya, itu namaku. Suka membaca, genre apa saja. Masih menempuh pendidikan di jenjang SMP kelas 1. Selamat membaca cerita-ceritaku, semoga suka^^