Aku turun dari mimbar, selepas menerima penghargaan murid teladan di sekolah lulusan tahun ini. Begitu banyak tepukan tangan untukku. Menuruni satu persatu tangga yang ada, dengan senyum mengembang. Kemudian kembali ke tempat duduk, menunjukkan piala yang kupegang pada Lena. Duduk di sampingnya. “Seneng banget, bisa graduation dengan nilai yang memuaskan,” kataku. Menatap depan. “Ya seneng lah, coba aja dari dulu kamu rajin,” balas Lena yang duduk di sampingku. “Hahaha, jadi inget dulu.” Aku tertawa pelan. Kami saling menatap lalu tersenyum. “Museum pendidikan Surabaya!” seru kami bersama, kemudian terkekeh.
Flashback on. “Ki! Kerjain!” seru Lena, menggebrakkan buku di meja, tepat di depanku. “Apa Na?” tanyaku santai, memasukkan keripik pedas ke dalam mulutku, kembali mengunyah. “Kamu ini tuli atau buta atau apa, aku bilang kerjain! Masih tidak bosan ya selalu menjadi peringkat terbawah?” “Kerjain apa?” Aku mengerutkan alis, menelan keripik yang selesai terproses di mulut. “Argghh,” geramnya kesal. “Ada tugas kan? Ya kamu kerjain, tinggal salin doang apa susahnya? Nulis doang kan!” katanya dengan nada tinggi, selalu emosi jika mengobrol denganku, hal ini sudah menjadi rutinitas. Aku menghela napas dalam, “Tapi kamu tahu kan kalau aku enggak pernah ngerjain tugas, sia-sia saja mengeluarkan tenagamu.” Aku mengambil ponsel dari dalam saku, mengambil penyuara telinga, memasangnya pada kedua telinga, menancapkan ujungnya pada salah satu lubang di ponselku, membuka Spotify dan memutar lagu. “Males banget sih! Mau jadi apa kamu nanti?” teriak Lena, membuat seluruh warga kelas menatapku, beruntung tidak ada guru, masih jam istirahat.
Aku berdiri. “Jadi kalau aku belajar, menatap buku seharian, menulis beribu-ribu kata dalam sehari, mengumpulkan ratusan medali sepertimu, apa itu akan menjaminku sukses di masa depan? Kamu bisa menjamin itu? Aku tahu kamu ketua kelas yang paling pandai dan bertanggung jawab di sini, sedangkan aku? Hanya preman sekolah yang sering membolos, tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku!” seruku, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, melewati Lena dan menuju keluar kelas. “Sini kau!” seru Lena, menarik rambutku yang bisa dibilang gondrong lurus.. Aku reflek memegang kepala dengan satu tangan, merintih sedikit kesakitan dan mundur ke belakang. “Lepas!” Seperti biasa, kita selalu menjadi tontonan kelas.
Lena melepas jambakannya. “Ya aku emang enggak bisa jamin itu! Tapi kalau setiap hari hanya mendengarkan lagu, makan, dan tidur saja apa itu juga akan menjamin kesuksesan? Justru tidak, kamu enggak kasihan sama orangtuamu? Aku juga tahu kamu anak dari bapak kepala sekolah tapi bukan berarti kamu bisa mengabaikan semuanya.” “Apa aku peduli? Tidak!” kataku mengabaikan, enyah dari hadapannya.
Seperti yang kulakukan setiap harinya, aku pulang meski sekolah belum selesai. Menaiki motor dan menuju basecamp, salah satu cafe di Surabaya, memesan kopi dan meminumnya di siang hari. Mengobrol dengan teman-teman yang sudah sampai, bercerita tentang ini itu, melupakan segala penat, sekolah, dan pekerjaan. Semakin waktu berlalu, semakin banyak temanku yang datang karena jam sekolah telah usai. Banyak dari mereka yang satu sekolah dengaku.
“Ki!” kata remaja laki-laki berbadan gemuk dan berambut ikal yang memangku nama Aryo, menepukkan telapak tangannya denganku. “He, yo!” “Kamu harus ikut besok, ada kunjungan ke Museum Pendidikan Surabaya,” ujarnya, duduk di sebelahku. Meminum secangkir kopi yang sudah ia pesan sebelumnya. Kemudian melahap cepat biskuit yang ada di meja. “Bukan Kirun kalau ikut acara gitu.” “Ayo lah, besok weekend, habis dari sana kita sunmori bareng, gimana?” ujarnya sembari mengunyah biskuit, menelan, kemudian membiarkan lambung yang bertugas, dan meneguk kopi lagi.
Setelah melakukan konferensi dengan semua anggota kolusi, akhirnya aku memutuskan untuk ikut ke Museum Pendidikan. Tak terasa matahari sudah tidur, berganti tugas dengan sang bulan. Sudah tepat jam sembilan dan rasanya aku harus pulang, begitu juga para sohib.
Pagi ini aku dibangunkan oleh secercah cahaya surya yang menerobos lewat ventilasi kamar, aku membuka netra perlahan dan menabung nyawa, kemudian meraih jam beker yang tak jauh dariku. Mengarahkan pandangan pada jarum pendek di balik kaca beker, menunjukkan pukul delapan pagi. Aku segera bergegas mencuci diri dan memakai seragam sekolah, melapisinya dengan jaket hitam. Tanpa sarapan dan berpamitan aku berangkat menaiki motor menuju Museum Pendidikan Surabaya.
“Apa tidak bisa ya berangkat lebih awal sedikit?” hardik Lena, mengulurkan sebuah buku dan alat tulis padaku. Seluruh siswa sudah sampai, mereka tidak masuk terlebih dulu hanya karena menungguku datang. “Aku enggak butuh,” kataku. Meraih kantong celana dan mengambil sebungkus permen, membuka dan melahapnya, melewati Lena. “Ayo masuk.”
Lena berjalan cepat menyampingiku, menyentuhkan siku kirinya dengan perutku. “Dasar keparat jalanan tidak punya sopan santun.” Aku hanya melirik gadis pendek itu, melangkahkan kaki di lantai gedung putih yang memiliki luas seribu empat ratus lima puluh dua meter persegi. “Lena!” seruku kaget, entahlah saat kakiku menapak di lantai gedung seperti ada kilat cahaya, tidak jelas rupanya, terlalu cepat durasi tampilnya. Teriakan kagetku itu membuat semua siswa berhenti sejenak. Sang empu nama hanya memberiku lirikan tajam, membuang muka dan melewatiku. Mengeluarkan sebuah kamera dan mulai memotret sambil mengobrol dengan teman-nya. Mencatat beberapa hal, aku tidak tahu pasti apakah itu.
Aku menghampirinya, berbisik. “Kamu enggak ngerasa aneh gitu?” Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri bergantian. Memotret lagi. Mengamati salah satu naskah kuno, kemudian memotret kembali. Aku tidak berani menyentuh barang apapun, entah mengapa. Lena berpindah ke bagian selatan gedung, begitu pula diriku. Aku selalu mengikuti Lena pergi.
Terdapat ruangan-ruangan bekas kelas yang merupakan ruang utama proses belajar mengajar pada zaman dahulu. Kami memasuki salah satunya. Bangku-bangku sekolah yang khas, penggaris-penggaris kayu, dan papan tulis kapur juga turut mengiasi ruang kelas, tersusun rapi. Aku kedip sekilas saat masuk, merasakan apa yang aku rasakan saat pertama kali masuk ke gedung ini. Masih belum jelas sama sekali, tapi sekilas terlihat banyak siswa di dalam kelas. Mengatur napas ketakutan.
“Ki, sini deh duduk, nanti aku potret. Lumayan biar Instagram kamu enggak jadi kuburan,” ajak Lena yang sudah duduk di salah satu kursi.
Aku melangkah pelan, sambil menelan saliva menghampirinya. Duduk di sampingnya. Seketika itu seluruh suasana berubah, tiba tiba banyak siswa, dengan seorang bapak guru yang mengajar di depan kelas, menerangkan ini itu. Sosok Lena yang duduk di sampingku berubah menjadi seorang anak laki-laki berseragam lusuh. Aku masih memutar kepala, melihat seluruh sudut, dengan napas ter-engah dan mulut terbuka. Aku menutup mulut kemudian menelan saliva, mengatur napas kembali.
“Permisi,” ucapku pada siswa di sampingku. Tapi ia tak merespon sama sekali, benar-benar memperhatikan penjelasan guru di depan, kemudian mencatatnya di atas buku yang cukup lusuh, alat tulisnya juga sudah kecil dan tumpul. Aku berdiri, menuju ke depan kelas, melambaikan kedua tangan. “Halo! Halo semua! Dengan Kirun di sini!” seruku. Tak ada yang merespon, aku geram sampai mengacak rambut sendiri.
Hari sudah sore, tak lama kemudian seluruh siswa keluar, jam pulang sekolah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tidak mungkin menetap di kelas ini terus menerus. Entahlah, kakiku meminta untuk mengikuti anak remaja yang tadi duduk di sebelahku. Berjalan di jalanan setapak yang becek. Sampai akhirnya anak itu memasuki sebuah rumah, begitu juga aku. Rumah yang tidak layak huni, yang berlantai tanah, beratap daun kelapa, dan bersekat kayu tipis.
Malam semakin menjadi, semakin gelap pula, aku terus mengikuti kemana anak itu pergi. Mandi, makan, bahkan berganti pakaian. Tentu saja aku membelakanginya, tidak mengintip. Ia mengambil sebuah buku dan pensil dari dalam tas plastik. Meletakkannya di lantai-lebih tepatnya di tanah. Pergi mengambil lilin dan menyalakannya, meletakkan di samping buku. Mulai menulis.
“Joko, besok saja belajarnya, kamu pasti capek,” kata seorang wanita yang tidak cukup muda, berpawakan ibu-ibu menggunakan kebaya lusuh. “Joko kan mau jadi orang besar nanti Mak,” kata seorang anak yang memapah nama Joko itu. “Yo wes, sing sregep yo le, ben dadi wong gede.”
Tak tahu mengapa aku mengerutkan alis dan mengeluarkan air mata. Aku langsung mengusapnya dengan telapak tangan. “Ternyata seperti ini perjuangan orang dulu untuk belajar,” kataku pelan. Meneteskan air mata lagi, menelan ludah, dan memasang senyuman.
“Ki! Ki! Kirun! Kamu dengar tidak?” kata Lena, menggerakkan bahuku. Aku memandangi isi kelas, suasana kembali normal dengan Lena di sampingku. Mengusap sisa air mata di pipiku. “Minum nih!” ujar Lena, menawarkan sebotol air putih miliknya. Tanganku menyambut air itu dan segera meneguknya.
“Kamu kenapa?” tanya Lena khawatir. Aku menggelengkan kepala, melihat jam tangan, berdiri. “Udah jam segini, yang lain pasti udah nunggu, ayo keluar.” Lena ikut berdiri, berjalan ke luar dengan ekspresi wajah kebingungan. “Pulang bareng aku ya!” ajakku.
Semua siswa menuju rumah masing-masing, begitu juga aku dan Lena yang masih duduk di atas motor. “Na!” “Iya!” sautnya dengan suara agak keras. “Nanti kamu kasih tahu aku ya tugas minggu ini apa aja, terus kalo aku enggak tahu kamu juga bantuin ya, terus nanti aku mau lihat buku catatanmu, agaknya aku ketinggalan banyak deh,” kataku. “Serius kamu Ki?” “Kok nadanya ngeremehin gitu hahaha, orang di zaman dulu aja rajin banget buat belajar, meski dengan teknologi yang kurang memadai. Nah sekarang, teknologi udah canggih malah enggak mau belajar.” “Hah?” ujar Lena kaget. “Iya Lena… tapi temenin aku sunmori bareng temen-temen dulu ya.” Aku menatap kaca spion, terlihat jelas wajah Lena yang kebingungan. Flashback off.
Lena membalut tangan kananku dengan kedua tangannya. “Tapi aku salut dan bangga sama kamu Ki, sekarang kamu bisa lulus dan masuk di universitas terbaik.” Aku kembali tersenyum, menatap depan. “Joko.”
TAMAT
Cerpen Karangan: Vindi Rachmadhani Instagram: @vindirachmaa Twitter: @dweamkillers hanya sesosok anak dara yang menumpahkan emosinya dalam gubahan sederhana. pertama kali menapakkan kakinya di kota Lamongan pada tahun dua ribu lima dan memiliki horoskop Libra.