Ini cerita tentang persahabatan dua perempuan yang tengah mencari kewarasannya, bertaruh dengan gejolak remaja yang akan segera berganti menjadi dewasa – katanya. Gantari Asmarani, wanita hebat yang bersinar. Betapa besarnya harapan orangtuaku kepadaku yang hingga saat ini masih belum tahu arah dan tujuan hidupku akan seperti apa.
“Es teh atau es jeruk ya?” gumamku sembari memandangi gerai yang ada di sekitar kampusku. Lihatlah, untuk menentukan minuman saja aku harus berpikir keras. “Tari! Ngelamunin apa sih di sini? Ayo masuk” ajak Aruna, sahabatku.
Sebagai mahasiswa semester empat di akhir semester, aku dan teman-temanku cukup merasa kewalahan. Bukan ingin mengadu nasib, kita semua punya cara untuk mengahadapi hidup masing-masing kan? Bagaimana tidak, tugas akhir sebelum Ujian Akhir Semester diadakan harus dikumpul dalam waktu dekat, tapi aku sendiri masih belum tahu harus memulai dari mana. Aku sudah mencoba untuk menata diri dengan membuat jadwal kegiatan yang tersusun rapi, tapi ya namanya juga manusia cuma bisa berencana. Ada beberapa waktu yang sudah kupilih untuk menyicil tugas, sisanya kupakai untuk bekerja paruh waktu.
Katanya, beberapa orang terlahir dari keluarga yang hebat dan sisanya harus jadi hebat untuk keluarganya. Maha besar Tuhan menempatkanku di posisi kedua, lebih keren dan menantang kalau kataku. Aku selalu percaya roda itu berputar, walau memusingkan kita sudah punya porsi untuk bahagia dan sedihnya sendiri kan?
“Tari, untuk artikel yang ini bagaimana kalau kita bagi tugas saja? Setuju?” “Setuju Run, hasil pembahasan kita diskusi bareng. Metode penelitian biar aku yang kerjakan dan kamu pendahuluannya ya?” “Asyik, oke” jawab Aruna tanda setuju
Aruna Kasmirah, orang cerdas yang lahir saat fajar. Satu-satunya sahabatku di kehidupan mahasiswa yang serba sks ini. Iya sistem kebut semalam, bukan karena kami teledor tapi entah kenapa otak kami bekerja lebih optimal di detik-detik terakhir batas pengumpulan tugas. Aruna adalah sahabatku yang paling klop denganku, entah jadi apa hidup perkuliahanku tanpa dia.
Sebuah notifikasi pesan berdering di gawaiku, dari Kak Lila “Tari, nanti malam bisa gantikan shift Wulan tidak? Dia sedang sakit” “Oh iya bisa Kak, nanti sore Tari datang ya” “Maaf merepotkan ya Tari, Kakak gak tahu harus minta bantuan ke siapa nanti malam pasti akan ramai sekali. Kakak takut kewalahan” “Ah iya Kak, tidak masalah. Sampai ketemu nanti ya Kak”
Harusnya malam ini jadwalku untuk merampungkan tugasku yang sudah kubagi dengan Aruna. Tetapi apa boleh buat, aku harus bekerja malam ini. Bekerja paruh waktu sebagai barista di sebuah gerai kopi, dekat indekosku. Lumayan untuk menambah uang saku demi menghidupi kehidupan di perantauan. Memilih untuk berkuliah berarti siap dengan segala konsekuensinya. Aku tak mau memberatkan orangtuaku untuk memberikanku uang yang banyak, sebisa mereka saja. Sisanya akan kuperjuangkan lewat beasiswa, tapi tak lulus. Alhasil di sinilah aku sekarang, sebagai mahasiswa dan juga pekerja paruh waktu.
“Run, aku minta maaf ya. Sepertinya tenggat waktu bagianku harus kugeser sedikit lebih lama. Malam ini aku harus masuk kerja. Tapi tugasku akan kurampungkan secepatnya. Janji” tulisku via Whatsapp “Ah iya tidak apa-apa, aku juga belum memulai kok. Jangan diambil pusing ya? Pasti selesai, insya allah” balas Aruna dengan hangat. Selalu seperti itu, Ia membalas pesan dan keluh kesahku dengan hangat. Sudah kukatakan bahwa Dia itu sahabat terbaikku, aku berusaha sangat keras untuk melakukan hal yang sama dengannya. Tak tega selama ini membantu dia bangkit dari kebiasaannya untuk menjadi people pleaser, jangan-jangan aku malah salah satu penyebabnya karena selalu merepotkannya. Tapi Aruna bilang, itu pantas. Selalu berusaha yang terbaik satu sama lain itu hal yang pantas di antara kami berdua.
Terserah kalian mau bilang apa, akhir semester memang saat-saat yang paling merepotkan. Kalau bisa kugambarkan, pasti suram sekali. Meski begitu, mengeluh bukan jalan keluar yang tepat. Kadang aku memilih menyibukkan diri, sampai lupa waktu. Sejalan dengan itu aku juga terkadang menghabiskan waktu untuk tidak berbuat apa-apa, hanya berdiam diri saja. Memberi waktu rehat untuk raga dan isi kepala yang bekerja keras.
Aku selalu bingung bagaimana mengungkapkannya, menjadi dewasa di perantauan bukan hal yang mudah. Semua luka dan Lelah harus kuhadapi sendiri, baik yang datang dari rumah atau yang harus terjadi pada diri sendiri. Bertaruh dengan kegiatan kuliah setiap hari dan akhirnya disambut pekerjaan sampai hampir dini hari nanti. Tak jarang kepribadianku turut berubah seiring berapa Lelah aku menjalani hari ini. Ya, Aruna turut terkena dampaknya.
“Tari, kenapa?” tanya Aruna yang hari ini kebingungan menghadapiku terdiam seharian Tak ada yang salah terhadap Aruna, dia baik seperti biasanya. Aku yang sendiri penyebabnya. Aku terlalu Lelah sampai kehilangan mood untuk melakukan apapun termasuk bertegur sapa dengan orang-orang. Biasanya aku menghadapi mood ini hanya sementara saja, tak pernah selama ini hanya saja entah kenapa aku tak bisa mengontrolnya kali ini.
“Tari, kamu sekelompok denganku ya. Aku tenang setidaknya bisa punya teman untuk tukar pikiran” tukas Luna teman sekelasku “Ah iya Luna, nanti bagaimana system pengerjaannya kabari saja ya” jawabku heran Bukan pertama kalinya, tapi ada sedikit perasaan aneh dalam diriku ketika mendapati tidak lagi disapa oleh Aruna. Apa dia sudah jenuh atau kenapa ya. Bingung harus apa dan bagaimana. Tapi aku hanya diam saja. Kondisiku belum kembali seperti biasanya.
Hari-hari kulalui sendirian, tak semata-mata sendirian hanya saja tak lagi berkomunikasi dengan intens kepada Aruna. Biasanya aku menghabiskan hampir setiap hari untuk mengiriminya pesan, entah itu untuk tugas ataupun sekedar berbagi rasa bosan. Lagi lagi, aku belum berani menghubunginya lagi. I’m tired of denying, berusaha baik-baik saja padahal bertolak belakang sangat melelahkan. Aku takut membebani Aruna lebih banyak kali karena semua problema hidupku, tapi lihat apalah aku sekarang tanpanya. Monokrom tanpa warna.
“Run” kuketik pesan dini hari selepas pulang dari gerai “Iya, Tari?” Jawabnya semenit setelahnya “Sedang sibuk?” Balasku basa-basi. Aku tahu apapun yang dia kerjakan pasti akan menjawab tidak. “Tidak Tari. Ada yang ingin Kamu ceritakan? Ayo tulis!” balasnya bersemangat
Air mataku jatuh, entah kenapa. Lelah sekali menahan semuanya sendirian. Aku memang bukanlah apa-apa tanpanya. “Aku capek berpura-pura, Run. Semuanya ingin diposisikan di tempat terbaik. Padahal diriku sendiri sedang tidak baik. Aku merasa semuanya berat, tapi aku juga menolak perasaan itu. Jangan-jangan aku hanya lebay” “Tari, semuanya memang berat. Tak ada kata-kata lebay di hidup ini. Kita menerima suatu kondisi sesuai batas mampu masing-masing, dan kalau batasmu hanya sampai di sini ya sudah tidak apa-apa. Kuat dan lemah setiap orang berbeda, bisa saja orang kuat menghadapi ini tapi belum tentu kuat dengan hal lain. Terima kasih ya, Tari. Kamu berusaha untuk berbagi setelah memendam ini semua, itu gak mudah. Bukan hal yang sederhana” Aku hanya terisak memandang layar yang berisikan pemandangan afirmasi positif yang lagi lagi datang darinya.
“Akan selalu aku ingatkan kamu, kalau merasa sendiri itu tidak perlu. Sekecil apapun itu, ayo berbagi denganku. Aku pun begitu, akan berbagi segalanya padamu” tegasnya sekali lagi “Maafkan aku karena belum pernah memberimu afirmasi sepositif ini ya, Run. Aku janji aku akan berusaha lagi nanti” “Aku begini karena baiknya kamu juga Tari. Semenjak aku mengenalmu, aku jadi lebih paham kondisi hati seseorang yang berubah dan beragam. Nyatanya, yang menstimulasiku untuk memberikan afirmasi positif itu ya dirimu sendiri. Sebelumnya aku tak pernah seperti ini, dan ini hal baru yang menyenangkan bagiku. Karena ada banyak hal yang sudah kita lalui bersama-sama, aku jadi merasa kuat karena berdua akan selalu lebih baik”
Ya, seperti dugaan kalian aku masih menangis sekarang. Benar kata orang, memiliki sahabat yang baik juga merupakan rezeki yang harus disyukuri. Bukan tidak mungkin untuk menjadi apatis, tapi kata Aruna berdua akan selalu lebih baik.
Cerpen Karangan: Ayudia Helmi Facebook: facebook.com/ayudiahelmi10