Berbeda dengan sebagian gadis di kelasnya, Maya lebih memilih bermain ponsel dibandingkan harus berfoto bersama mereka. Kebetulan jam pelajaran Bahasa Inggris sedang kosong karena gurunya cuti melahirkan. Alhasil, suasana kelas menjadi bising dan ramai.
Gadis berkerudung itu melirik sekilas kegiatan teman-temannya, kemudian menghela napas. Sebetulnya, ia juga ingin bergabung. Namun, ia sadar diri, dirinya tak pantas berada di sana. Diantara gadis-gadis berparas menawan dengan fisik yang sempurna.
Apalah kelebihan Maya jika dibandingkan dengan mereka semua. Apabila gadis di kelasnya memiliki kulit putih, Maya justru berbeda dengan warna kulit sawo matangnya. Pipinya chubby, ditambah beberapa bekas jerawat yang belum hilang sampai sekarang. Oh ya, jangan lupakan badannya yang sedikit berisi. Beruntungnya, Maya bertubuh lebih tinggi dibandingkan gadis seumuran dirinya.
Untuk beberapa hal tersebut, Maya menjadi pribadi yang pesimis dan tidak percaya diri. Karena alasan itu pula Maya tak pernah mau jika diajak untuk berfoto. Ia tidak pede dengan penampilannya sendiri. Maya selalu minder jika bersanding dengan teman perempuannya.
“May.” Panggilan dan tepukan pada pundaknya membuat Maya terperanjat. Ia lalu mendapati Fatah di hadapannya. Lelaki itu memutar kursi dan duduk di sana, terhalang satu meja dengan Maya. “Apa?” sahut Maya.
Tidak biasanya Fatah menghampirinya. Mereka memang akrab, tapi jarang sekali mengobrol berdua seperti ini. Apalagi, Fatah dikenal sebagai lelaki alim dan baik. Biasanya ia selalu duduk di kursinya dan membaca juz ama yang memang tersedia di kelas.
“Gue gabut. Nggak ada temen ngobrol.” Maya sontak menoleh ke belakang. Tempat biasanya para lelaki di kelas berkerumun—entah melakukan dan membicarakan apa. “Lo nggak gabung sama mereka emangnya?” Maya heran. “Nggak mau. Unfaedah.” Maya terkekeh. “Terus, nggak baca juz ama?” “Udah. Ck, bosen nih, May. Gue udah ngelakuin hal apa pun, tapi tetep aja bosen. Kayaknya, gue emang perlu ngobrol.” “Terus, kenapa larinya ke gue?” “Lagian lo kayaknya juga gabut, dari tadi main hape terus. Yaudah, gue ke sini.” Maya ber-oh ria. Ia lalu menyimpan ponselnya ke bawah meja. “Emang gabut juga, sih,” jawabnya.
“Lo sendiri kenapa nggak gabung sama mereka?” Fatah menunjuk pada sebagian teman perempuan di kelasnya, yang asyik berselfi ria. Maya mengedikkan bahu. “Nggak biasa.” “Lah.” Fatah terkekeh. “Biasanya cewek paling suka selfi. Kok elo nggak?” Maya menggeleng. “Nggak suka aja. Nggak pede.” Spontan mata Fatah membulat, namun ia kembali menetralkan raut wajahnya. “Kenapa? Maaf nih, May, gue kepo, hehe …” Gadis itu tersenyum simpul. “Nggak papa.”
Setelah hening beberapa detik, dan Maya mengembuskan napas untuk ke sekian kalinya, gadis itu kemudian berdeham dan mulai bicara, “Sebenernya, gue nggak pede sama penampilan gue. Apalagi kalau ngelihat temen-temen perempuan di kelas, gue selalu minder.” Fatah menyimak tanpa berniat memotong ucapan Maya.
“Mereka semua cantik-cantik, Fat.” Maya menunduk. “Mereka putih, kulitnya mulus, hidungnya mancung, badannya langsing. Nggak kayak gue, udah gendut, chubby, mulus darimana coba. Gue nggak ada apa-apanya dibandingin sama mereka,” lanjutnya, lalu terkekeh sumbang. Fatah berdeham. “Emangnya … definisi cantik menurut lo, apa, May?” Gadis itu mengangkat wajahnya. Dengan ragu, ia menjawab, “Emm, definisi cantik itu ya … yang tadi gue sebutin soal mereka. Mungkin.” “Tuh, lo aja masih ragu sama definisi cantik itu sendiri. Kenapa harus ngerasa nggak pede?” Maya menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia menampilkan senyum canggung. “Ya … karena selain gue sendiri, sebagian besar orang mengakui kalau perempuan dengan tipe kayak gitu termasuk ‘cantik’.” Maya membentuk jarinya menyerupai tanda kutip. “Hmm.” Fatah mengangguk-angguk. “Iya juga, sih. Zaman sekarang cantik itu diibaratkan sama perempuan yang bertubuh langsing, pipi tirus, kulit putih, badan mulus, dan lain-lainnya.” Maya mengangguk setuju.
“Tapi, cantik itu relatif, loh, May. Cantik sama ganteng tuh nggak ada tolok ukurnya. Setiap orang punya sisi cantik atau gantengnya masing-masing. Nggak bisa dianggap sama rata.” Gadis itu menghela napas. “Iya, Fat. Gue juga tahu. Tapi, nggak semua orang bisa beranggapan begitu. Meskipun beberapa emang koar-koar kalau kecantikan atau ketampanan itu relatif, tapi pada kenyatannya sama aja. Mereka selalu mengakui kalau orang yang cantik sama ganteng itu ya yang ‘good looking’. Lo tahu maksud gue, kan?” Fatah terkekeh pelan. “Ya … gue tahu, kok.”
Keheningan menyelimuti mereka berdua selama beberapa detik.
“Emm, May, lo tahu nggak resep cantik dalam Islam itu apa?” cetus Fatah tiba-tiba. “Hm?” Maya menaikkan kedua alisnya. “Nggak. Apa tuh?” Fatah tersenyum. Ia memperbaiki posisi duduknya, bersiap untuk bercerita. “Sebenernya, cantik dalam Islam itu simpel banget, May. Diantaranya yaitu taat sama Allah, sama Rasul, menjaga lisan, menjaga akhlak dan berilmu.” Maya mengangguk-angguk. “Tapi, kenapa kok malah jadi melenceng, ya, Fat? Orang-orang zaman sekarang justru berlomba-lomba untuk mempercantik diri, tapi di luar dari hal yang lo sebutin tadi.” “Nah!” Fatah menjentikkan jarinya. “Kenapa? Karena kita itu udah dipengaruhi sama tsaqoffah asing, May. Jadi, dalam mindset kita tertanam kalau definisi cantik itu ya tadi, yang mancung, langsing, putih, mulus, tirus dan lain-lain. Padahal, Allah nggak pernah nyuruh begitu.” “Iya juga, ya. Allah nggak pernah nyuruh kita buat ‘cantik’ kayak gitu. Allah cuma nyuruh kita buat taat.” Fatah tersenyum. “Kan? Sampai-sampai, ada sebagian perempuan yang rela mengubah bagian tubuh mereka demi kelihatan cantik dan sempurna. Mendzolimi diri sendiri supaya terlihat cantik. Karena apa? Ya karena definisi cantik tadi yang udah melenceng.”
Maya tersenyum miris. “Berarti, definisi cantik itu udah diputarbalikkan jauh banget, ya. Padahal kenyataannya nggak begitu.” “Yaps. Jadi, nggak ada alasan buat lo nggak pede lagi, May. Karena sekarang, lo udah tahu definisi cantik itu kayak apa, kan?” Gadis berkerudung itu mengulas senyum. “Insyaallah, Fat. Tapi, kadang-kadang rasa insecure itu suka muncul, ya gue harus gimana.” Fatah terkekeh. “Hehe … sesekali gue juga suka begitu sih. Solusinya banyak-banyak bersyukur, May. Dipikir-pikir lagi, Allah tuh udah ngasih berbagai macam kenikmatan sama kita. Sampai sekarang masih dikasih umur, bisa bernapas, bicara, beraktivitas, makan teratur dan nggak kesusahan. Beberapa perintilan kecil kayak gitu kadang nggak pernah disadari sama kita, kalau itu juga rezeki dari Allah.” “Astagfirullahaladzim.” Maya mengembuskan napas pelan. “Gue berasa ditampar banget, Fat. Apalagi, tadi gue ngomong yang nggak-nggak soal diri gue sendiri. Padahal, masih banyak hal yang mestinya gue syukurin.” “Iya, May. Dengan banyaknya bersyukur dibandingkan mengeluh, insyaallah kita pasti bahagia. Hehe …”
Fatah memandang ke arah lain sebelum akhirnya kembali menoleh pada gadis di hadapannya. “Ya … intinya gitu, sih, May. Gue harap lo paham sama sedikit penjelasan yang gue kasih. Gue juga masih tahap belajar, maaf kalau ada penyampaian yang nggak berkenan. Jadi, mulai sekarang lo nggak perlu minder-minderan lagi. Karena tiap cewek, khususnya elo, pasti punya puluhan kelebihan yang lainnya. Gue sendiri suka insecure sama elo, May. Habisnya, lo jago banget Matematika sama Bahasa Inggris, sih.” Maya tertawa. “Bisa aja lo, Fat. Heem, malah, gue makasih banyak sama lo, karena udah ngasih tahu ilmu baru buat gue.” “Hehe … sharing is caring. Pokoknya, every girls has their own beauty. Cantik itu nggak perlu putih, tinggi dan langsing. Karena, May, kecantikan itu bukan tentang kesempurnaan fisik.” Maya tersenyum. “Cukup cantik di hadapan Allah aja, May. Karena Allah memandang keindahan hati dan akhlak, bukan rupa.”
Bel istirahat berbunyi. Semua siswa di kelas berhamburan menuju kantin. Percakapan antara Maya dan Fatah juga ikut terhenti. Fatah, lelaki itu bangkit dari posisinya. “May, udah bel. Gue ke kantin dulu, ya. Laper, hehe ….” “Oh, iya, Fat. Makasih banyak, ya, buat sharingnya.” Maya tersenyum tulus. Fatah nyengir. “Oke, May. Sama-sama. Lain kali, kita diskusi lagi, ya. Gue duluan, May. Dah ….” Maya melambaikan tangannya pada lelaki itu. Gadis itu mengembuskan napas panjang. Perlahan, senyumnya terukir lebar. Ilmu baru yang didapatnya hari ini dapat membuka pandangannya. Bahwa cantik bukanlah seperti apa yang ia pikirkan selama ini. Cantik dalam Islam itu simpel.
Tak perlu bersusah payah mengubah diri menjadi seperti yang orang lain katakan. Cukuplah cantik di hadapan Allah saja.
Siti Nuraeni. Gadis 19 tahun yang memiliki hobi menulis. Bisa dijumpai di akun wattpadnya @itsmesnrni dan instagram @snrniii.
Cerpen Karangan: Siti Nuraeni Blog / Facebook: Snrniii