“Lagi-lagi, naskahku belum keterima.” Begitu keluh Alfia, gadis 17 tahun yang sering disapa Fia, yang gemar membaca novel dan ber-ambisi untuk menjadi seorang penulis dan dapat menerbitkan hasil karyanya. Tapi mungkin itu bukan hal yang mudah, semudah menaruh harapan pada seseorang yang belum jelas kepastiannya. Fia sudah beberapa kali mengirimkan naskah miliknya ke penerbit, tapi belum ada yang diterima.
“kamu kenapa lemas seperti itu, Fi?” “kamu sakit?” Tanya si Rey, yang bisa dikatakan adalah TTM (Teman Tapi Mesra) nya si Fia. Rey sudah lama sekali mengenal Fia. Bahkan dari duduk di bangku SD dan sampai sekarang ingin menjadi seorang mahasiswa, semesta masih mempertemukan mereka.
“Tidak apa, Rey. Aku mau pulang saja.” Jawab Fia tersenyum seakan menutupi masalah yang ia rasakan. “Biar aku antar, Fi.” Ucap Rey dengan menatap Fia cemas, sambil memegang kedua tangan Fia. “Tak apa, Rey. Aku bisa sendiri.” Jawab Fia sambil melepaskan genggaman tangan Rey. “Loh? Bukankah itu sudah menjadi kebiasaan kita, Fi? Aku yang selalu menjemput dan mengantarkanmu pulang.” Ujar Rey kebingungan. Fia hanya tersenyum dan terdiam.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Fi? Apa ini soal naskahmu itu?” Tanya Rey yang menebak apa yang sebenarnya terjadi pada TTM nya itu. Fia terdiam dan memandang wajah Rey dikarenakan apa yang dikatakannya itu benar adanya.
“Kamu seakan tahu apa yang selalu ada di kepala ku, Rey. Tebakanmu itu benar.” “Jangankan yang ada di kepalamu, Fi. Yang ada di hatimu saja, aku tahu siapa orangnya. Itu aku kan? Hahahah.” Fia memasang wajah kesal dan mencubit tangan Rey. “Apasih kamu, Rey! Aku mau pulang saja.” Sahut Fia kesal. “Hanya bercanda, Fi.” Jawab Rey sambil tertawa.
“Memangnya naskah milikmu kenapa? Apa penerbit itu belum menerimanya juga?” Beberapa pertanyaan yang dikeluarkan Rey untuk Fia. “Ya, seperti itu lah Rey. Sepertinya, mimpiku untuk bisa menerbitkan satu buku saja tidak akan pernah menjadi mungkin. Aku akan berhenti menulis saja, Rey. Dan menggantinya dengan yang lain.” Sahut Fia.
“Fia yang aku kenal tidak mudah menyerah. Apalagi kamu hanya mengirimkan naskahmu kepada satu penerbit kan? Hey, Fi. Jika naskahmu ditolak oleh penerbit yang kamu tuju itu, kamu bisa mengirimkannya ke penerbit yang lain. Aku percaya, naskahmu akan diterima oleh penerbit itu.” Jelas Rey memberi saran. Fia tersenyum setuju mendengar apa yang dikatakan Rey. Fia mencoba mengirimkan naskah miliknya itu pada penerbit yang berbeda dari sebelumnya.
Setelah beberapa hari Fia mengirimkan naskah miliknya ke penerbit lain, tiba-tiba saja Fia dapat notif dari penerbit itu bahwa naskahnya harus direvisi atau butuh perbaikan.
“Argh! Mimpiku untuk menerbitkan satu buku saja memang tidak akan pernah menjadi mungkin! Tidak akan!” Ujar Fia kecewa saat melihat notif dari penerbit. “Aku tidak akan lagi menulis naskah, Rey. Aku akan melupakan semuanya tentang menjadi seorang penulis.” Lanjut kecewanya.
Rey, yang merasa tak tega melihatnya merasakan kekecewaan itu perlahan mendorong Fia kedalam pelukannya dan memberikan dukungan untuk si gadis ambisi itu. “Fi, penerbit itu hanya bilang naskahmu perlu perbaikan, bukan penolakan. Naskahmu sudah diterima, tapi hanya perlu perbaikan sedikit. Jika sudah lebih baik, penerbit itu akan menerbitkannya. Kamu jangan berhenti di tengah jalan, Fi.” Ujar lelaki yang mendorong si Fia kedalam pelukannya itu. “Tapi kamu tahu kan, Rey. Perjuanganku untuk mengirimkan naskah itu tidak sekali, dua kali. Apa saat sudah diterima, penerbit itu masih butuh perbaikan dari naskahku?” Jawab Fia sambil menahan kisak tangisnya. “Hey cantik. Kamu pikir, berjuang itu cukup hanya sekali? Apa saat masih bayi kamu bisa langsung tumbuh dewasa seperti saat ini? semua ada prosesnya. Penolakan naskahmu pada penerbit sebelumnya itu merupakan bagian dari proses. Kita tidak akan tahu kedepannya. Tidak ada yang tidak mungkin, Fi.” Jelas Rey. Setelah mendengar semua perkataan Rey, membuat keyakinan Fia untuk mencoba memperbaiki naskah miliknya itu.
Dan, Ya. Hasil dari perjuangan dan usaha yang dilakukan Fia selama ini untuk dapat menerbitkan sebuah buku, terimpikan. Setelah mengirimkan naskah kepada penerbit lalu memperbaikinya kemarin, diterbitkanlah sebuah buku. Betapa gembiranya Fia mengetahui impian yang sempat ia pikir tidak akan menjadi mungkin, kini telah terjadi. Bukunya pun sudah bisa ditemukan di berbagai gramedia. Dan kini, Fia menjalankan masa mudanya sebagai seorang penulis. Setiap beberapa bulannya, ia selalu mengeluarkan judul buku terbarunya.
“Aku senang banget, Rey. Yang dulu sempat aku pikir tidak akan pernah menjadi mungkin, kini sedang aku jalani. Kamu benar, Rey. Semua berprores. Aku percaya proses. Tidak ada yang instan, dan tidak ada yang tidak mungkin. Terimakasih, Rey. Karena kamu, aku bisa meyakinkan diriku akan adanya hasil setelah perjuangan berkali-kali.” Ucap Fia. “Semua ini tidak akan terjadi juga kalau bukan atas kehendak-Nya. Dan selagi aku masih ada di dunia ini, kamu tidak akan pernah hilang dari pandangan mataku, Fi. Aku akan terus memberikan dukungan dan apa yang seharusnya aku berikan untukmu. Kamu layak menjadi seperti sekarang, Fi.” Ujar Rey.
Mungkin, jika Fia tidak memperbaiki naskahnya dan melupakan mimpinya untuk menjadi seorang penulis, bukunya tidak akan dikenal seperti sekarang.
Semua butuh proses. Dan kegagalan merupakan proses tercapainya kesuksesan. Tidak ada yang instan dan tak mungkin di dunia ini. Mie instan saja masih harus menjalani proses memasak dengan direbus terlebih dahulu.
Teruslah berusaha, dan jangan pernah menyerah, sampai bismillahmu menjadi alhamdulillah.
Cerpen Karangan: Mumtaaz Qadhifa Pahami setiap pesan yang ada di dalam cerita. Terimakasih sudah membaca. kunjungi saya online instagram: @mumtaaz29 telegram: @fairyesz