Ruangan 4×3 bercat hijau lumut diterangi lampu pijar membuat ruangan tersebut semakin suram. Ruangan itu adalah gudang sekolah khusus untuk meletakkan beberapa perlengkapan sekolah yang tidak terpakai lagi, beberapa dokumen lama pun tersusun sembarang di sana. Gudang ini terkadang dipakai siswa untuk melakukan pelanggaran peraturan sekolah.
Tepat di waktu istirahat kedua, gudang ini ternyata sedang dihuni sementara. Ada empat orang siswa laki-laki berdiri di hadapan satu siswa perempuan.
Byurrr Air berperisa jeruk mengalir tanpa halangan di kepala gadis itu. Siswa laki-laki berbadan gempal dengan rambut keriting itu yang menyiramnya, ia tertawa tanpa berdosa sembari menyenggol lengan teman-temannya yang ikut tertawa.
“Gadis miskin modal kasihan kepala sekolah saja berani melapor ke guru kedisiplinan tentang kami, hebat sekali kau ini.” Pemuda bertubuh gempal itu berkata mengejek. “Ia kira kepala sekolah akan membelanya, kamu itu tidak lebih sekadar benalu baginya. Jelaslah kepala sekolah membela kami, kuasa orangtua kami lebih kuat daripada dia!” seru pemuda berambut lurus bermata sipit di samping pemuda berbadan gempal itu.
Gadis itu meringis perih saat luka akibat dorongan mereka disirami perasan air jeruk. Ia tidak mengerti, ia juga tidak merasa bersalah karena laporan itu. Saat ia merasa tidak diperlakukan adil, ia harus bertindak untuk membela dirinya sendiri.
“Sudah sering sekali kamu begini, apakah kamu tidak lelah karena laporanmu tidak digubris sama sekali?” tanya pemuda di samping pemuda bermata sipit. Gadis itu menggeleng. Ia memang tidak lelah, ia tidak akan menyerah sampai keadilan itu datang pada dirinya.
“A-aku tidak akan menyerah! Kalian pasti akan dihukum karena kelakuan biadab kalian ini! Aku manusia, kalian juga. Namun kelakuan tidak lebih keji daripada binatang sekalipun!” Gadis itu berseru lantang. Setelah semua penghinaan, pelecehan, serta penyiksaan yang dilakukan mereka, ia tidak takut dan tidak akan takut.
“Oh, tegar sekali gadis satu ini.” Pemuda berjaket hitam yang sedari tadi diam saja mulai beranjak mendekati gadis itu. Ia menjambak kuat rambut gadis itu dan berbisik tidak pelan. “Hei, daripada tidak mendapat keadilan, lebih baik mati saja? Bukankah itu solusi paling baik? Aku tahu kau pasti tidak kuat menerima siksaan ini, aku tahu jelas. Jadi, mati saja. Ayo, aku dukung.”
Gadis itu memicing tajam. Ia ingin sekali mencakar wajah mereka satu per satu. Terutama pemuda yang menjambaknya ini. Setelah kepalanya disentakkan dengan keras ke dinding, ia ditinggalkan sendiri di gudang, gadis itu menangis karena tindakan mereka yang begitu kejam.
—
Gadis bernama Blythe itu berdiri di pinggir jembatan. Jembatan yang menghubungkan hulu dan hilir yang dipisahkan oleh sungai terpanjang nomor dua di Indonesia. Jembatan merah yang sangat bersejarah bagi masyarakat kota itu.
Blythe menghirup napas dalam-dalam. Malam hampir datang, ia belum pulang ke rumah. Rutinitasnya ialah berdiri di Jembatan Ampera dari pulang sekolah sampai menjelang malam. Ia melepas penat sambil menatap langit serta Sungai Musi bergantian. Terik matahari bukan halangan untuknya menikmati itu semua.
Ia selalu berpikir mengenai namanya. Blythe. Satu nama itu saja yang diberikan oleh orangtuanya. Blythe berarti kebebasan dan kebahagiaan yang tidak dibatasi. Nama dan arti yang rupawan. Sayangnya hidupnya sangat jauh dari arti namanya.
Bebas. Rasanya sudah begitu lama kebebasan menghilang dari dirinya. Menjadi anak yang tinggal bersama paman tirinya bukanlah sesuatu kebebasan. Hidupnya terkekang.
Bahagia. Lucu sekali, bahkan saat lahir pun kebahagiaan tidak pernah ada dalam hidupnya. Orangtuanya meninggal tepat di hari ketujuh ia dilahirkan. Blythe dititipkan kepada paman tirinya dan dijadikan budak oleh mereka. Kepala sekolah teladan bagi mereka bukanlah paman yang baik bagi Blythe.
Blythe mengusap air mata yang mengalir tanpa aba-aba ke pipinya. Ia menatap lama Sungai Musi di bawah. Air yang tenang itu seakan mengajak Blythe untuk menikmati ketenangan juga. Blythe seperti terhipnotis. Ia sudah bersiap menaiki pagar pembatas Jembatan Ampera. Blythe ingin menikmati ketenangan, kebebasan, dan kebahagiaan itu. Blythe ingin terbebas dari semua penderitaan dunia ini.
“Jangan!” Seseorang berlari kencang berupaya menghentikan niat gadis itu. “Apa yang kaulakukan? Ini berbahaya!” Seru orang itu, ia memegang tangan Blythe untuk mencegah gadis itu menaiki pagar pembatas jembatan.
“Kau siapa?” tanya Blythe heran. “Aku Efran. Bisakah kauturun dulu? Jangan melakukan sesuatu seperti ini.” Blythe mengurungkan niatnya. Ia menurunkan kakinya dan berdiri dengan baik di hadapan Efran.
“Dengarkan aku. Hidupmu memang menderita. Lebih baik mati daripada hidup seperti ini bukan? Adakah yang mengatakan itu padamu?” tanya Efran. Blythe diam. Tidak berniat menjawab. Ia terpikirkan perkataan pemuda berjaket hitam yang menyiksanya di gudang sekolah tadi. Blythe disuruh mati agar tidak menderita. Itu adalah saran yang bagus.
“Sungguh. Menderita saja hidup mereka yang mengatakan itu padamu. Kau harus hidup. Tidak peduli semenderita apa hidupmu. Kau harus hidup. Bukan untuk orang lain tetapi untuk dirimu sendiri. Kau harus hidup untuk dirimu sendiri. Ayo, aku mendukungmu.”
Ayo, aku mendukungmu.
Blythe menangis. Ada yang mendukungnya untuk mati. Ada pula yang mendukungnya untuk hidup. Ia hanya tidak ingin menderita bukan berarti ia harus mati. Namun saat hidup ia selalu menderita.
“Siapa namamu?” Blythe menunjuk tanda nama di sakunya. Efran mengangguk mengerti, “Blythe. Kebebasan dan kebahagiaan. Nama yang bagus. Kau harus mewujudkan arti namamu itu sebelum mati.” Blythe mendongak menatap Efran. Ia bingung, “Bagaimana caranya?” “Temukan bahagiamu dan jauhkan penderitaanmu. Kamu tidak harus lari, tetapi jika memang tidak bisa lagi dihadapi tidak apa menghindar dan menjauh. Keinginanmu untuk pergi itu karena kau tidak menjauh saat penderitaan itu sudah tidak bisa lagi dihadapi.”
Gadis itu menangis kembali. Efran benar. Bukan lemah jika menjauh. Bukan kuat juga jika terus bertahan. Terkadang hidup juga harus berpikir sebaliknya. Blythe seharusnya menghindari penderitaan itu karena tahu sudah tidak memungkinkan lagi untuk dihadapi.
“Pulanglah. Tidak baik anak perempuan sendirian malam-malam, aku akan mengantarmu.” Blythe menggeleng, ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah gelang buatannya sendiri, ia memberikan itu pada Efran. “Terima kasih banyak, Efran. Semoga kita bertemu lagi di manapun itu. Aku tidak akan mati sebelum arti namaku itu terwujud. Semoga kamu bahagia juga. Terima kasih banyak sekali lagi.” Efran mengusap rambut Blythe agar gadis itu tenang. “Ya, Blythe. Semoga kamu bahagia seperti namamu. Kita bisa bertemu di mana pun jika waktu berpihak. Sampai jumpa lagi, Blythe.”
Besoknya di sekolah, Blythe kembali diseret keempat pemuda jahat itu ke gudang. Blythe menahan rasa sakit itu. Ia akan melawan dan berlari menjauh.
“Jangan ganggu aku lagi!” Keempat pemuda itu tertawa terbahak mendengar seruan Blythe. Gadis itu menatap tajam mereka. “Wah berani sekali Blythe lemah ini. Kenapa tidak jadi mati semalam? Habis bertemu malaikat penyelamat?” Blythe melayangkan tamparan cukup keras di pipi pemuda berjaket hitam. Semuanya terkejut. Mereka tidak menyangka dengan keberanian Blythe. Keempat pemuda itu semakin mendekat dan mencoba menyiksa Blythe lebih kuat.
“Jika kepala sekolah ataupun guru kedisiplinan tidak berani bertindak karena orangtua kalian. Biarlah. Aku tidak akan takut, kalian pasti akan merasakan penderitaan sepertiku bahkan lebih parah. Nikmati saja menyiksaku saat ini, sebentar lagi kalian tidak dapat berbuat ini lagi.”
Sebelum keempat pemuda itu melayangkan tamparannya untuk Blythe. Beberapa polisi datang menyergap mereka. Blythe menahan napas, ia menatap keluar pintu gudang. Senyumnya terbit tatkala seseorang masuk.
“Kita bertemu lagi saat waktu berpihak, Blythe. Terima kasih telah menghubungiku.” “Terima kasih banyak, Efran. Terima kasih telah datang di waktu yang tepat.”
Efran mengusap rambut Blythe, seperti yang ia lakukan semalam. “Apa yang akan kaulakukan setelah ini, Blythe? Menemukan kebahagiaanmu?” “Ya, Efran. Aku akan pindah dari sekolah ini, pindah dari rumah itu dan memulai hidup baru dengan kebahagiaan. Aku tidak takut hidup sendiri, aku hanya takut dengan penderitaan ini yang terus menghantui.” “Pilihan yang tepat. Jadilah Blythe untuk hidupmu. Aku harus pergi. Semoga kita bertemu lagi saat waktu berpihak.”
Blythe tersenyum. Senyum yang amat tulus. Kebebasan itu mulai datang dalam hidupnya. Ternyata, mati bukan hal tepat untuk mencari kebebasan dan kebahagiaan. Mati adalah solusi paling pengecut untuk hilang dari permasalahan.
Cerpen Karangan: Nyimas Fakhriah Facebook: Nyimas Fakhriah More information about me, you can dm me on instagram: @nysfakhriah or facebook: Nyimas Fakhriah. I hope my story can make you being inspirated.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com