Ada lubang menganga di hatiku begitu kedua sahabat yang begitu kusayangi seperti membuangku. Sesak dan perih bercampur satu, menimbulkan suatu perasaan yang dinamakan dengan rasa kecewa.
Awal persahabatan kami sangatlah klise, dimulai dari pertemuan kami saat kelas 7 sekolah menengah ketika mos. Aku yang memang tak memiliki teman akrab memilih berdiam diri dan mengamati tiap siswa-siswi di kelasku. Bayangan itu terasa masih mengikat kuat di pikiran, aku duduk bersisian dengan seorang gadis yang rupanya begitu mirip dengan adik kelasku. Bingung melandaku, tidak mungkin rasanya adik kelasku sudah lulus dan sekelas denganku. Kejadian itu begitu konyol, sangat lucu kalau diingat-ingat. Saat satu persatu nama dipanggil, barulah aku tahu kalau aku sepertinya terlalu mengkhayal karena gugup.
Kaila, begitu manis saat mengeja namanya satu persatu. Dia sering menunduk, memandangi sepatunya yang bergambar hello kitty berwarna pink dominan hitam. Detail sekali kan? Entah mengapa aku begitu tertarik dengannya, dalam pikiranku tercetus sebuah perintah agar berteman dengan gadis itu.
Tubuhku tersentak saat dia bertanya padaku, meski pertanyaannya terbilang sederhana. ‘Besok kamu pakai baju apa?’ tanyanya waktu itu. Aku yang masih terserang euforia, menjawab dengan kikuk, walaupun mungkin terdengar agak cuek. ‘P-putih biru, kayaknya’ jawabku tergagap, sudah kubilang kan kalau aku masih kaget. Dia mengangguk, aku hanya tersenyum membalasnya. Yah, awal yang cukup baik kan? Setidaknya aku tau dia tidak sombong. Wajahnya memang agak judes, tapi aku tak mempermasalahkannya.
Besoknya, kami bertemu lagi. Dan masih duduk bersisian, dia terlihat kesepian. Aku sedikit bersimpati padanya. Mungkin dia persis sepertiku, tidak mudah bergaul, pikirku. Waktu istirahat aku diajak pergi jajan bersama dengan gadis yang duduk di sisi lain kursiku. Aku tau namanya, kami pernah berteman waktu masih kecil, tapi tidak terlalu akrab. Karena tak mempunyai teman lain, aku mengikutinya. Lila, begitu aku memanggilnya. Sejak itu, kami jadi sering berpasangan saat mos berlangsung, tapi aku kurang suka dengan sifatnya. Secara tak langsung aku tau sifatnya, dari pengamatanku dia suka mencubit seseorang dengan keras hingga membiru. Itulah mengapa aku jadi agak segan padanya.
Tapi lupakan masalah itu, di suatu pagi aku melihat Kaila berbincang akrab dengan salah satu kakak kelas 3. Situasi yang jarang sekali kutemukan, ternyata Kaila tidak terlalu pendiam. Setelah hari itu, entah mengapa rasa ingin berteman dengan Kaila begitu kuat. Ragu-ragu aku mengajaknya ikut ke perpustakaan dengan Lila. Yang mengejutkan, dia setuju! Hanya Tuhan yang tahu betapa hatiku bersorak girang karenanya.
Hari itu aku berhasil membangun pertemanan dengannya. Semuanya terasa mengalir begitu saja, kami pada akhirnya berteman. Kami duduk bersisian, meski itupun karena Lila yang mau bertukar tempat duduk dengan Kaila. Aku sangat berterima kasih dengan Lila karena itu, sebab kami jadi semakin akrab. Aku lupa kapan, tapi di suatu siang saat jam kosong, dengan bosan aku mengambil alat tulis dan mulai menggambar. Kaila memujiku, katanya gambarku bagus. Tapi aku tak terlalu merespon, karena menurutku gambarku masih banyak kekurangan.
Dengan bangga Kaila memperlihatkan gambarku pada teman di belakang kami. Seorang gadis yang duduk dibelakang Kaila mengambil gambarku dan mengamatinya. Aku lupa kata-katanya seperti apa. Yang pasti kritikannya agak pedas hingga membuatku sedikit tidak suka padanya. Yang tak aku sangka adalah Kaila terlihat akrab dengannya, entah kapan mereka jadi semakin dekat setiap harinya. Aku yang memang sering bersama Kaila jadi ikut-ikutan berteman dengannya. Yang sering aku lupa adalah namanya. Sifatnya blak-blakan, dan mudah bergaul. Setelah sekitar seminggu mungkin, aku ingat namanya adalah Nirda. Aku berteman dengannya meskipun tak seakrab Kaila.
Tak sampai 2 bulan, kami menjadi sahabat dekat begitu saja. Semuanya terjadi begitu alami, ikatan itu secara tak sadar terbentuk hingga terjalin erat tanpa disadari. Begitu banyak lika-liku yang menjadi rintangan tersendiri dalam persahabatan kami. Tapi ikatan kami ternyata sangat kuat hingga dapat menerjang semua badai yang menghadang. Terkadang timbul kecemburuan saat salah satu pihak lebih dekat dengan sahabat satunya. Tapi untunglah semuanya dapat terlewati tanpa hambatan.
Perkelahian pun tak dapat dihindari, aku seringkali berada di tengah-tengah saat Kaila dan Nirda bertengkar. Aku lebih memilih netral, untuk tetap menjaga keduanya agar persahabatan ini tidak timpang. Semuanya damai dan akur hingga cobaan lagi-lagi menguji persahabatan kami untuk kesekian kali.
Rasanya kenangan itu masih sangat membekas di ingatan, dan menjadi lukaku sampai saat ini. Di tengah kebahagiaan sebuah pukulan telak mengenai hatiku. Piala yang berada di tanganku terasa tak berharga, saat menatap mading yang tertera nama siswa-siwi yang akan sekelas. Aku memang pernah mendengar, jika kelas kami akan kembali dibagi menjadi dua kelas jika sudah berada di kelas tiga. Tapi itu bukan permasalahannya, di kertas itu tertera jika Kaila dan Nirda akan sekelas dan aku sendiri … berada di kelas yang berbeda.
Suara sorakan kebahagiaan Kaila terdengar nyaring, dia begitu senang mendengar jika dirinya sekelas dengan Nirda. Yang makin membuatku kecewa adalah ekspresi bahagia keduanya, ternyata berbanding terbalik denganku. Lihatlah, mereka bahkan tak sadar dengan tatapanku yang berubah kosong. Rasa iri menyeruak, menyebar hingga ke sudut hati. Kalimat candaan mereka pun terlontar padaku, yang sungguh bukannya menghibur malah membuatku hatiku makin perih.
Melihatku yang diam tak bersuara, mereka pun bertanya, ‘Apa aku baik-baik saja?’ Aku ingin berteriak, jika aku tidak baik-baik saja tapi malah anggukan dan senyuman tipis yang terukir di bibirku. Jahatkah aku, jika merasa tak senang mereka sekelas? Tolong, siapapun jawab pertanyaanku, batinku.
Tak ada yang tau kalau air mata sempat menggenang di sudut mataku. Sekali saja berkedip maka air bening itu akan meluncur mulus di pipi.
Bayangan terburukku benar-benar terjadi, aku … terlupakan. Rasanya benar-benar seperti dibuang. Untungnya di balik kesendirianku, Tuhan masih berbaik hati memberikanku seorang teman. Oliv, dia dulunya teman sealumniku saat sekolah dasar. Kami sekelas meski tidak akrab. Entah kebetulan atau apa Tuhan membiarkanku duduk semeja dengannya. Sifatnya yang kalem dan dewasa membuatku nyaman. Awalnya memang canggung, tapi kebersamaan kami ternyata membawaku pada sebuah ikatan baru. Aku menemukan sahabat baru, di tengah rasa kecewa yang begitu membekas. Tak butuh waktu lama untuk membuka diriku padanya.
Rasanya begitu lega, saat seseorang mengerti perasaan kita. Menjalani bersama tak ada salahnya, meskipun rasa kecewa itu bagai penyakit, yang sangat sulit untuk hilang atau malah tetap mengakar kuat. Aku coba mengikhlaskan, dari Oliv aku belajar untuk bersabar. Saran darinya tak pernah mengandung unsur menghakimi dan mengadili.
Rasa rindu kebersamaanku dengan Nirda dan Kaila memang kadang hadir. Apalagi saat melihat mereka berdua asik bercanda, rasa iri dan dilupakan sering hadir. Tapi berkat Oliv, aku menjadi tidak terlalu mengindahkan perasaan itu lagi. Perhatianku entah mengapa menjadi tertuju pada Oliv seorang.
Persahabatanku dengan Nirda dan Kaila masih terjalin meskipun jarang berkomunikasi. Ketika berkumpul pun terkadang mereka berdua asik sendiri, tapi aku tak terlalu mempermasalahkan lagi. Aku tak sendirian, masih ada Oliv yang menemaniku.
Tak terasa setahun berlalu dan kami kini telah kelas satu SMA. Nirda dan Oliv satu sekolah tapi mengambil jurusan yang berbeda. Sedang aku dan Kaila juga berbeda jurusan tapi satu sekolah. Hubungan kami kembali dekat, walau tak sedekat dulu. Aku merasa kini dia tak pernah lagi menceritakan tentang perasaannya. Aku tak terlalu ambil pusing dan ikut campur jika dia memang tak ingin bercerita. Dan pertemuan kami pun jarang terjadi karena kesibukan masing-masing.
Tahun kembali berlalu tanpa terasa, aku yang memang suka membaca novel, sering membaca novel di aplikasi orange. Secara tak sengaja aku menemukan cerita yang dibuat oleh Kaila. Dan mataku terpaku pada ceritanya yang ternyata adalah kisah nyatanya sendiri. Karena penasaran kubaca tulisan itu penuh minat, dan aku langsung kehilangan mood karena ternyata aku tak begitu penting di matanya. Tulisan itu penuh dengan Nirda dan Nirda. Aku kecewa, tak kusangka pendapat Kaila begitu tentangku.
Perjuanganku sia-sia, aku hanyalah sebuah tokoh sampingan dalam hidupnya. Aku ternyata berharap terlalu tinggi, usahaku untuk selalu ada nyatanya hanyalah sebuah cerita tanpa makna. Rasa kecewa kembali menguasaiku, jadi ada tidaknya aku tak terlalu berpengaruh. Salahkan hatiku yang terlalu lemah, sebab tetap menyayanginya walau berkali-kali dibuat kecewa.
Untuk menganggap tak terjadi apa-apa rasanya sulit. Jadi biarkan aku menepi sejenak untuk menetralkan rasa. Walau kita sedekat dulu, ketahuilah aku sangat menyayangimu … Kaila. Semoga kamu tetap bahagia di luar sana, jangan lupa tetap tersenyum.
Untuk Nirda, aku bersyukur kita bisa dekat kembali akhir-akhir ini. Aku merasa bahagia, meski merasa sedikit bersalah, karena tak bisa membantumu untuk berbaikan dengan Kaila. Aku yakin kalian bisa berbaikan kembali tanpa bantuanku. Aku butuh istirahat sejenak untuk menjadi penengah kalian.
Dan terakhir untuk Oliv, terima kasih sudah hadir saat rasa terbuang itu ada. Aku merasa menjadi orang yang berharga berkat dirimu. Thanks … Oliv.
Dan beberapa hal yang perlu diingat, aku tak akan pernah melupakan Oliv dan tentunya Kaila serta Nirda. Mereka bertiga berperan penting dalam kehidupanku. Aku akan selalu mendukung kalian, sebab rasa sayangku pada mereka sama rata. Tak pernah timpang karena aku tau rasanya saat perhatian itu berbeda.
Berbahagialah … sayang-sayangku!
The End
Cerpen Karangan: Mew Blog / Facebook: Eka