Sore itu aku sedang membantu Mama memasak. Memotong-motong bawang merah dan kawan-kawannya. Aku melirik Mama yang sedang fokus mengaduk nasi di panci. Lalu berdehem, bersiap menanyakan sesuatu pada Mama. Sembari berdoa dalam hati semoga pertanyaan yang akan kuluncurkan tak membuat masalah di antara kami.
“Ma, kapan aku dibelikan ponsel?”
Aktivitas Mama terhenti. Mama menoleh ke arahku. “Kenapa menanyakan itu?” tanya Mama setelah menghela nafas. Aku menggelengkan kepala, kembali menunduk menyelesaikan tugasku. “Mama akan membelikan ponsel jika Mama punya uang lebih Fi. Tapi Mama tidak mempunyai itu.” jelas Mama. Aku menggigit bibir, “tapi aku butuh ponsel.” “Memangnya ponsel itu kenapa?” Telunjuk Mama mengarah pada ponsel Redmi Note 2 yang tergeletak di meja. “Aku butuh privasi Ma…” jawabku lirih. “Apa yang kamu maksud dengan privasi Fi?” Mama melemparkan tatapan curiga padaku. Membuatku menggeleng lagi. “Sebentar lagi aku SMK Ma. Aku pasti membawa ponsel ke sekolah. Mama pasti paham maksudku. Aku tidak akan macam-macam karena aku telah mengetahui batasan-batasan dalam Islam. Aku akan selalu membentengi diri agar tak tergerus pergaulan bebas remaja Ma…”
Aku tak tau persis kapan aku meneteskan air mata, namun setelah mengucap kalimat itu aku menyadari pipiku telah basah. Aku mengusap pipiku dengan kasar sebelum ketauan Mama. Netraku melirik Mama yang terdiam. Aku paham dan mengerti akan kekhawatiran Mama. Aku juga peka bahwa keluarga kami itu sederhana. Meski jauh dari kata berada, setidaknya untuk makan dan kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi.
Bibirku kembali terbuka, ingin menyuarakan sesuatu. Namun aku mengurungkan niat. Mungkin sudah seharusnya aku pendam saja. Semua yang kurasakan. Aku hanya ingin Mama tahu, aku bukan menuntut karena egoku sendiri. Namun semestalah yang terus memojokkanku. Kalau tak begitu, aku akan ketinggalan informasi. Kamu tau maksudku kan?
Ponsel yang tadi Mama tunjuk adalah milik bersama, walau memang aku yang lebih sering memegangnya untuk pembelajaran. Aku bisa membantu Mama dengan mengirimkan beberapa cerpen karanganku. Waktu itu, aku searching di Google, cerpen dibayar Rp. 300.000 sampai Rp 100.000 di beberapa blog. Belum juga puisi dan sebagainya. Nominal itu besar bagiku yang berumur 15 tahun ini. Tentunya, untuk bisa dimuat di blog tersebut terdapat S&K yang berlaku. Aku memang tak bisa menjamin bahwa karyaku baik, namun kita tak akan tau hasilnya jika tak mencoba bukan?
Aku mendengus, sayangnya aku belum punya rekening bank sendiri. Aah… entahlah aku cuma berharap dari hobi menulisku itulah aku bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Ngomong-ngomong tentang hobi, orangtuaku tak pernah menyetujui, tak juga menentang. Terutama Mama, sedang Papa oke-oke saja. Mungkin karena dari Papa bakat menulisku itu ada. Papa selalu berucap bahwa aku akan menjadi seorang penulis hebat yang tentu saja kuamini.
Tirai kamarku tersibak, memperlihatkan sosok Mama yang membawa sesuatu. Aah… tadi aku memang menangis diam-diam dengan wajah terbenam di bantal. Setelah melarikan diri dari Mama, tentu saja. Aku menoleh ke arah jendela kamar, memperlihatkan sang langit yang kini bercorak jingga kemerahan. Aku memutar pandangan ke arah Mama. Pantas saja Mama mengkhawatirkanku karena Mama tau aku belum makan sore. Aku memang jarang makan nasi.
“Fi…” Aku mengerjab kemudian tersenyum pada Mama. “Mama minta maaf, tidak seharusnya Mama memarahimu.” Aku menggeleng, “tidak Ma. Aku juga minta maaf. Aku tadi terlalu memaksa.” ujarku lalu menundukkan kepala. “Mama akan mengijinkanmu Fi.” Aku menoleh bingung pada Mama. Tadi Mama bilang apa? “Mama akan mengijinkanmu mengirim cerpen pada blog berbayar itu. Setidaknya jika cerpen kamu lolos, kamu berarti memang memiliki bakat dan kamu punya pegangan uang sendiri.”
Aku menatap tak percaya pada Mama. Tau darimana Mama soal blog atau media berbayar itu? Seakan paham dengan tatapanku, Mama menunjuk kertas sobekan buku yang tergeletak di kasurku. “Cerpen ini.”
“Kamu bisa menabung lalu sisanya tambahan uang dari Mama Papa untuk membeli ponselmu. Mama tau bahwa kamu gadis yang peka. Kamu tak pernah meminta ini-itu pada Mama ataupun Papa.”
Aku tersenyum pada Mama, melahap makan soreku -mungkin petang- dengan penuh rasa bahagia. Meminum teh apel yang dibawa Mama. “Aku bisa mulai hidup mandiri dari menulis.”
Ini kisahku. Bukan akhir melainkan awal untuk langkahku selanjutnya. Semoga tak mengecewakan Mama jika hasil tulisanku kukirim ke blog. Juga tidak mengecewakan kamu, iya kamu!
Untuk kamu, jadilah manusia yang peka terhadap sekitar. Jangan jadi egois serta terlalu menuntut. Jangan pernah kecewakan orangtuamu, terutama Mama. Sebab doa Mama adalah doa yang selalu didengar oleh Sang Maha Kuasa. Sampai sini dulu ya, seutas kisahku. Sampai jumpa di lain waktu.
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Da. Dapat ditemui di Wattpad: Daa_zure Btw, terimakasih buat cerpenmu yang ngebolehin ganti nama pena (/^-^(^ ^*)/ Saya memang plin-plan ;(
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com