“Udah lama ya,”
Sore itu, di jalan pulang dari sekolah, aku mengunjungi sebuah minimarket dan hal yang tidak disangka-sangka pun terjadi, aku bertemu kembali dengan teman SMP ku, Anggi dan Rena. Kami bertiga tidak terlalu dekat, tapi kami berteman baik karena berada di kelas yang sama selama 3 tahun dan juga kebetulan bergabung dalam ekskul yang sama.
Kini setelah setengah tahun tidak bertemu, kami duduk di salah satu bangku taman yang berada tidak jauh dari tempat kami berpapasan, mendadak mengadakan reuni kecil.
“Terakhir ketemu waktu acara perpisahan ya,” ucap Anggi lagi dan aku pun mengangguk. “Lo sekolah di SMA 12 ‘kan, Nad?” tanya Rena yang duduk di sebelah kiriku. “Iya, kalian di SMK 3 ‘kan?” kataku bertanya pada dua perempuan yang juga mengenakan jilbab putih sama sepertiku. Mereka berdua mengangguk.
Aku pun mengalihkan pandanganku ke depan, melihat anak-anak kecil yang bermain di tengah lapangan, ada yang bersepeda, bermain sepatu roda juga mobil-mobilan. Sementara orangtua mereka memperhatikan dari tempat duduk.
“Oh iya, Nada,” Aku menoleh ke samping kanan. “Lo udah tau ‘kan soal ekskul bahasa Indonesia?” tanya perempuan berkacamata itu. “Iya udah,” jawabku sambil mengangguk.
Minggu lalu, grup ekskul bahasa Indonesia memberi kabar yang mengejutkan. Bu Dewi, guru bahasa Indonesia juga pembina kami akan pindah mengajar, sehingga akan diadakan acara berkumpul bersama para pengurus, anggota dan alumni.
Reuni sekaligus perpisahan ya.
“Gue sama Anggi mau dateng, kalau lo gimana?” “Mau, kebetulan gak ada acara lain juga,” jawabku diakhiri kekehan.
Perlahan kurasakan angin sore menerpa wajahku. Aku kembali melihat ke arah lapangan, memperhatikan anak-anak yang asyik bermain sepatu roda meskipun mereka terlihat belum bisa menyeimbangkan diri dengan baik.
Menjadi anggota ekskul bahasa Indonesia bukanlah keinginanku, seperti beberapa orang, aku hanya mengikuti teman. Ketika baru memasuki SMP, aku senang karena satu bangku dengan orang yang memiliki hobi yang sama denganku. Fia, dia orang yang ceria dan ramah. Obrolan kami cocok karena kami suka berkebun, kami pun sering bermain ke rumah masing-masing. Awalnya, kami hanya saling menunjukkan tanaman-tanaman yang ada di pekarangan rumah, hingga kami berbagi ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Kami sangat dekat, bahkan orangtua Fia sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, begitupun dengan keluargaku pada Fia. Saking seringnya kemana-mana selalu bersama, sehingga orang-orang selalu menduga kami sebagai saudara kembar, meskipun sangat jelas bahwa tidak ada kemiripan dalam wajah kami.
Aku bergabung dengan ekskul bahasa Indonesia setelah Fia mengajakku. Meskipun, sejak awal aku tidak berniat untuk memasuki ekskul mana pun. Untungnya, kegiatan ekskulnya hanya seperti kelas tambahan saja dan pembinanya pun salah satu guru yang kusukai karena beliau orang yang baik dan lemah lembut. Dalam ekskul ini aku hanya anggota biasa, tidak seperti Fia yang merupakan pengurus ekskul yaitu sekretaris. Hal wajar jika aku tidak datang nanti ke acara perpisahan dengan bu Dewi, namun aku tetap memutuskan untuk datang. Karena sebenarnya, walau dalam waktu yang singkat, aku menjadi pengganti Fia.
Fia merupakan anak tunggal, dan dibanding manja, ia selalu berusaha bersikap dewasa dan jarang mengandalkan orang lain. Itulah sebabnya Fia selalu menanggung dan menyembunyikan semuanya sendirian, semuanya, bahkan penyakitnya. Aku, yang bahkan sebagai sahabatnya, ternyata tidak mengetahui semua tentang Fia.
Aku pikir tidak ada yang salah. Fia yang selalu bersemangat dan selalu tersenyum, ternyata jauh dari kata ‘baik-baik saja’. Kala itu, di tengah pembelajaran seperti biasanya, tiba-tiba Fia jatuh pingsan. Lalu, tante Zahra, ibunya Fia, menceritakan semuanya padaku dan saat itulah aku baru mengetahui kondisi Fia yang sebenarnya. Sedari SD, Fia sudah sering keluar-masuk rumah sakit. Pada awalnya aku kecewa pada Fia karena telah menyembunyikan hal penting tentang dirinya, namun aku tidak bisa marah terlebih lagi setelah mendengar alasannya. Selama ini, jika orang-orang mengetahui tentang penyakitnya, mereka akan menatapnya dengan kasihan. Padahal, Fia hanya ingin orang lain bersikap biasa saja pada dirinya. Karena dia tidak selemah itu.
Jujur saja, semenjak saat itu, aku selalu khawatir pada kondisi Fia sementara Fia selalu meyakinkan bahwa dia bisa sembuh. Dan itu adalah sebuah kebohongan. Nyatanya, ketika semester 2 kelas 3, kondisinya tidak membaik. Fia harus menjalani pengobatan di rumah sakit, dengan ayah dan ibunya yang setia menemaninya. Secara bergantian, tante Zahra dan om Rifqi menginap di rumah sakit. Terkadang, aku juga ikut menemani tante Zahra untuk menginap menemani Fia. Tapi, karena kegiatan sekolah yang semakin padat, aku hanya dapat menjenguk Fia setelah pulang sekolah, dan juga sempat beberapa kali bersama Anggi dan Rena.
Dari hari ke hari, kondisi Fia berubah, tubuhnya semakin kurus dan wajah yang selalu terlihat cerah itu menjadi pucat. Walau tubuhnya terbaring lemah, ia tidak mengeluh dan selalu memperlihatkan senyuman terbaiknya. Ucapannya saat itu benar, bahwa ia tidak lemah, ia kuat.
Saat berada di rumah sakit rasanya sesak, melihat Fia juga kedua orangtuanya. Kantung gelap di bawah mata mereka menjadi bukti bahwa kondisi mereka saat ini sedang berat, hingga ada hari ketika Fia menyuruh orangtuanya beristirahat di rumah sebab sudah lelah bekerja dan ditambah keseharian mereka kini dipenuhi kecemasan.
Dalam sekejap, semuanya berubah, keseharianku berubah. Kami yang selalu bersama kemana-mana, sekarang, aku hanya sendiri. Aku merasa kesepian dan selalu bertanya-tanya, apa kami dapat seperti dulu lagi? Dan yang dapat kulakukan hanyalah berdoa.
Tidak lama setelah itu, Fia menjalani operasi.
Saat itu pula bertepatan dengan ujian sekolah. Rasanya baru pertama kalinya aku mengerjakan soal-soal dengan tidak karuan. Hingga waktu yang seakan melambat, ujian hari itu pun akhirnya selesai dan dengan segera aku bergegas menuju rumah sakit. Dalam bus, berlari dari halte, memasuki rumah sakit, jantungku terus berdebar. Dan ketika aku berhenti, waktuku pun terhenti.
Semuanya telah berakhir.
Lantas mengapa aku berlari ketika aku tahu sudah berakhir? Karena hanya satu hal yang aku sadari, meskipun kecil, aku masih berharap Fia masih ada di dunia ini.
Sejak pertama mengetahui Fia sakit, yang tersisa hanyalah kebohongan. Bahwa Fia dapat kembali ke sekolah, bahwa semuanya akan seperti dulu lagi, bahwa kami dapat tumbuh dewasa bersama. Aku hanya bisa menangis sewaktu memikirkan masa depan, masa depan tanpa ada Fia di sana. Dan sementara Fia berusaha melawan penyakitnya, aku berbincang mengenai lanjut sekolah ke SMA bersama teman yang lain, aku pun merasa bersalah padanya.
Siapa yang kubohongi? Bahkan ketika aku baru sampai di rumah sakit lalu melihat Fia kesakitan, aku pergi menangis dan kembali dengan suara serak bersama alasan sedang pilek ketika ditanya Fia. Tapi aku tahu, dia tahu. Sebelum dioperasi pun dia menyuruhku agar jangan menangisinya, dan aku tidak mengiyakan atau berjanji padanya. Karena tidak peduli seberapa banyak aku menangis, pada akhirnya aku akan menangis lagi disaat kepergiannya. Dalam waktu yang lama, aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa Fia dapat sembuh dan kami dapat melanjutkan ke sekolah yang sama lagi, menjadi seseorang yang kami cita-citakan. Namun, itu tidak pernah terjadi. Tidak akan terjadi.
Semuanya menjadi sangat nyata ketika kulihat orangtua Fia menangis di depan ruang operasi dan yang dapat kudengar hanyalah detak jantungku. Sejujurnya, aku sudah mengira ini akan terjadi, dan semuanya juga berpikiran hal yang sama.
Selama proses pemakaman, aku tidak berhenti menangis. Setelah pulang ke rumah pun, aku hanya duduk di tempat tidur dan merasa hampa. Tanpa jeda, aku ditarik ke kenyataan, seakan agar aku tidak terlarut dalam kesedihan. Esok harinya, aku kembali menjalani ujian sekolah. Semuanya berjalan sangat lambat, hari-hariku terasa kosong, seperti sebelumnya. Kami yang selalu melalui jalan yang sama sepulang sekolah sambil membicarakan banyak hal, kini sudah tidak ada. Yang tersisa hanya kenangan dan aku bersama bayanganku.
Sudah 2 bulan berlalu, setiap hari aku berziarah ke makamnya, dan terkadang berkunjung ke rumahnya menemui tante Zahra. Semua tugas akhir telah selesai, acara perpisahan, pendaftaran SMA, MPLS, dan tahun ajaran baru. Semuanya kulalui dan kujalani tanpa dirinya.
Aku tersentak ketika melihat seorang anak perempuan yang sedang bermain sepatu roda itu terjatuh, namun ia tidak menangis dan segera kembali berdiri sambil tersenyum pada ibunya yang hendak membantunya. Ia pun kembali bermain dan ibunya pun kembali duduk dan memperhatikannya sembari tersenyum. Melihat pemandangan itu aku pun ikut tersenyum.
Akhirnya, aku pun sadar. Aku telah kehilangan sosoknya sejak lama, dan perlahan waktu membuatku bangkit dari kesedihan ini. Aku telah mengikhlaskannya. Aku yang seakan menunda hidupku pun kembali melangkah, berjalan, berlari, menjalani hidup.
Perjalanan untuk mengikhlaskan dirinya memang tidak mudah dan detik ini pula ketika aku, Anggi, dan Rena berbincang di bawah langit sore, aku tidak pernah berhenti mendoakannya.
“Sampe ketemu di acara reuni ya!” ucap Rena setelah beranjak dari duduknya. “Kita duluan ya, Nad, bye,” kata Anggi seraya berjalan pergi diikuti Rena. “Bye!” aku pun membalas lambaian tangan mereka. Setelah mereka tak terlihat lagi, aku pun bangun dari dudukku lalu melangkah pulang.
Sesampainya, sesuai dugaanku, tidak ada satu pun orang di rumah. Sesudah menyimpan ransel, aku langsung ke pekarangan rumah yang telah dipenuhi oleh berbagai macam tanaman dan bunga.
Fia pernah bilang padaku kalau aku memiliki green finger, tanaman apapun pasti selalu berhasil tumbuh dengan baik. Mungkin karena itu aku suka berkebun, tapi aku bukanlah seorang expert, banyak tanaman terutama bunga yang tidak kuketahui. Sementara Fia tahu banyak tentang bunga, bahkan arti setiap bunga. Jika ada bunga yang kami temui, ia selalu memberitahuku nama dan bahasa bunganya tanpa diminta.
“Nih, buat lo, Nad,” Sore seperti biasanya, aku menjenguk Fia sepulang dari sekolah dan tiba-tiba ia memberiku sebuah kantung kecil berwarna coklat.
“Apaan nih?” tanyaku sambil menerimanya. Ia terkekeh. “Hadiah,” jawabnya. Aku menautkan alisku. “Hadiah? Ultah gue ‘kan masih lama, Fi,”
Tanpa meminta izinnya, aku langsung membuka kantung itu. “Ini… bibit taneman?” tanyaku ragu setelah melihat isinya. “Bibit bunga, gue beli bibit itu udah lama sebelum masuk RS, terus tadi pagi gue minta bunda buat bawain ke sini. Belum gue tanem sih, tapi buat lo aja,” jawabnya menjelaskan. “Bunga apa? Terus kenapa dikasih ke gue? Fia, lo… masih bisa nanem ini ‘kan… kalau udah sembuh?” Aku pun langsung terdiam, menyesali pertanyaanku yang ragu.
Fia tersenyum lalu menatap ke arah jendela. “Gue belum pernah nanem bunga itu, dan gue yakin bunga itu bakal tumbuh indah kalo lo yang nanem. Bunga itu…” Sambil menggantungkan kalimatnya, Fia menoleh padaku.
“Lo bakal tau kalau bunga itu udah mekar, dan gue bakal berusaha dan berdoa buat sembuh,” “Lo juga jangan lupa doain gue terus ya! Supaya gue sehat lagi dan bisa liat bunga itu tumbuh indah di kebun lo,” ucap Fia semangat lalu tersenyum lebar. Aku pun mengangkat kedua ujung bibirku dan mengangguk.
Angin sejuk berhembus lembut saat aku telah berada di pekarangan rumah, lalu aku berlutut tepat di depan bunga-bunga yang kini telah mekar dengan indah. Aku menyunggingkan senyum sambil menatap bunga-bunga yang bergoyang tertiup angin itu.
Aku bersyukur menjadi sahabat Fia. Aku senang mengenalnya. Aku tidak akan pernah melupakan semua ini, kenangan tentangnya, kenangan bersamanya.
Banyak hal telah kita lalui bersama dan selalu ada untuk satu sama lain, sahabat yang sangat berarti; bunga iris.
FIN
Cerpen Karangan: Hana Ula Manusia.