Sebetulnya ada beberapa pengalaman horor, tapi menurut saya ini yang paling membekas di ingatan. Hehehe.
Jadi, kisah dimulai sekitar tahun 2003 ketika saya masih kelas 5 SD. Suatu hari, ibu saya yang baru saja pulang dari kota J dengan riang gembira mengatakan bahwa beliau membeli sepasang boneka ukiran (ibu dan ayah saya dulu sangat suka mengoleksi patung loro blonyo—boneka atau patung sepasang pengantin, tolong dikoreksi bila terjadi kesalahan penulisan atau definisi)
Lain dari boneka yang biasa mereka beli, ibu saya membawa pulang sepasang boneka dari kayu berwujud kakek dan nenek, menggunakan pakaian tenun oranye sambil membawa tas. Kalau diingat-ingat lagi sekarang dari sisi seni, kedua boneka itu sangat cantik. Ukirannya detail dan pakaian kedua boneka itu dijahit rapi dari kain tenun. Pokoknya bukan kualitas abal-abal, lah! Namun, saya yang masih berusia 10–11 tahun saat itu merasa bahwa kedua boneka itu sangat menyeramkan.
'Keseraman' itu bertambah ketika ibu meletakkan kedua boneka itu di lemari yang letaknya di lorong, persis menghadap ke pintu kamar saya. Setiap kali saya berjalan melewati lemari tersebut, saya menyadari bahwa kedua boneka tersebut agak miring. Jadi, tidak lagi menghadap ke depan tetapi agak menyerong sekitar 45 derajat. Kalau saya lewat lagi, posisinya berubah jadi 90 derajat. Kalau saya lewat lagi, posisinya balik lagi menghadap ke depan.
Saat itu, saya kecil yg selalu diajarkan untuk berpikir logis, menganggap "hmm mungkin kesenggol si bibi yang suka lap-lap disitu." Tapi kalau dipikir-pikir, misalkan memang kesenggol pasti si bibi bakal membetulkan ke posisi semula, bukan? Dan si bibi juga nggak mungkin berani memposisikan barang-barang ibu tidak sesuai dengan 'kaidah' yang empunya rumah.
Akhirnya, pada suatu hari, seorang sahabat saya di sekolah, berkunjung ke rumah saya. Saya pun mengutarakan pada dia, bahwa saya takut pada kedua boneka kakek-nenek tersebut. Namun, alih-alih ikut takut, teman saya malah dengan berani memegang kedua boneka itu dan mempermainkan mereka seolah pesawat terbang.
"Kamu nggak perlu takut!" Dia memainkannya sambil tertawa girang.
Saya cuma bisa diam saat itu.
"Kalau kamu takut, bonekanya dihadepin ke belakang aja." Ucapnya seraya meletakkan boneka itu kembali di tempatnya semula, namun kali ini posisinya membelakangi (jadi saya cuma bisa lihat punggungnya saja). Dalam hati saya sangat lega akhirnya teman saya berhenti mempermainkan boneka yang bahkan saya tidak berani tatap itu.