"Tepat di tengah malam, aku mendengar suara kursi roda yang diseret-seret tepat di depan pintu ruangan. Tak berselang lama, aku juga mendengar suara anak kecil yang tertawa cekikikan layaknya sedang bermain."
‘’Allahu Akbar …. Allahu akbar.’’
Lantunan suara adzan begitu terdengar jelas dari luar ruangan. Aku masih terdiam diri di depan ruangan tempat dimana Ibuku mendapatkan perawatan khusus.
Bagian kiri tangan dan kaki Ibu patah seusai ditabrak lari oleh pengendara motor yang melintasi jalan raya besar di terminal kota Cirebon. Tidak henti-hentinya, aku terus membacakan kalimat dzikir untuk menenangkan hati dan juga pikiran yang sedang kacau ini.
Dari kejauhan, kulihat seorang pria mengenakan sarung dan juga kopiah. Memiliki rambut yang panjangnya sebahu dan berjalan layaknya seorang ajudan dengan langkah yang sangat tegap sambil membusungkan badan ke arah depan. Dia adalah Ayahku. Pak Hardi.
Ayah sangat terpukul di saat mengetahui jika Ibu mendapatkan sebuah cobaan yang amat berat. Belum lagi, pelakunya melarikan diri saat insiden berlangsung. Ayah yang terkenal sangat penyabar, kini berubah menjadi manusia paling sensitif di dunia.
Namun, walaupun dia mendapati masa-masa yang tidak kurang mengenakkan di beberapa hari ini, ayah selalu menyuruhku untuk sholat berjama’ah.
‘’Ulfah, ayo kita sholat berjama’ah di mushola. Sudah masuk waktu maghrib.’’
‘’Iya, yah. Tapi, siapa yang jaga ibu nanti?’’
‘’Nanti ada suster dan dokter di rumah sakit. Jangan khawatir.’’
‘’Tapi, … ‘’
‘’Udah … Ayo sholat.’’
Aku bukannya ragu atau takut jika Ibu ditinggalkan. Hanya saja, aku tidak ingin kejadian yang sama terjadi pada kemarin hari saat dimana Ibuku berteriak ketakutan saat mendapati sosok ketiga yang ada di rumah sakit ini.
Ayah bilang, rumah sakit juga merupakan tempat dimana berkumpulnya sosok-sosok ghaib yang masih terkurung, berkeliaran atau mungkin juga bergentayangan.
Tidak heran, jika pasien atau mungkin keluarga pasien sendiri tidak betah jika berlama-lama di rumah sakit. Selain dengan tempatnya orang-orang yang sedang terkena musibah, di tempat ini juga seringkali terjadi hal-hal aneh di luar nalar.
Seperti yang dirasakan Ibu kemarin hari, dia berteriak ketakutan saat mendapati sosok wanita menggunakan pakaian suster namun memiliki wajah yang sudah hancur berantakan.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh Ibu saat itu. Di lain sisi, aku dan ayah sedang tidak berada di ruangan. Di sisi lain, ibu tidak bisa bergerak sama sekali.
Dia bahkan tidak bisa melakukan apapun kecuali hanya berteriak dan meminta kepada pihak rumah sakit untuk mengganti ruangannya terhadap ruangan lain yang masih kosong.
Di sela-sela aku sedang memikirkan ibu, aku kembali bertanya kepada Ayah terkait dengan pergantian ruangan yang diinginkan ibu.
‘’Yah? Ruangannya jadi diganti, kan?’’ Tanyaku sembari menatap arah depan saat dimana banyak orang yang berbondong-bondong menuju ke mushola di rumah sakit tersebut.
‘’Ayah sudah konfirmasi ke bagian admin. Katanya, untuk hari ini belum ada yang kosong. Semua ruangan benar-benar ramai akan pasien. Jadi, ayah memutuskan untuk tidak mengganti ruangan.’’
Jawaban itu membuat hatiku tidak nyaman. Aku masih memikirkan kondisi Ibu yang masih merasa ketakutan jika dirinya mendapati hal-hal aneh lagi saat malam tiba.
‘’Tapi? Kemarin ibu baru lihat setan, yah. Aku takut ibu didatangin lagi.’’
Mendengar hal itu, ayah menghentikan langkahnya. Aku tak tahu, apa yang membuat ayah menghentikan langkahnya. Padahal, mushola sudah berada tepat di hadapannya.
‘’Kita ini hidup berdampingan. Hanya saja, alam kita yang berbeda. Jika memang ibu sering mendapatkan gangguan semacam itu, kita harus terus mendoakan ibu agar terhindar dari gangguan setan yang ada di sekitaran rumah sakit ini.’’
Selesai mengatakan itu, ayah mengusap kepalaku. Tidak seperti biasanya, ayah jarang sekali mengusap kepalaku. Di kondisi yang seperti ini, ayah tidak ingin jika masalah lain datang lagi tatkala masalah yang sudah dia rasa berat, menjadi penambah beban bagi kesehariannya.
‘’Sekarang, kita sholat dulu. Nanti, biar ayah yang jaga di luar ruangan, kamu jaga di dalem aja. Nemenin Ibu. Oke?.’’
Tepat setelah ayah mengatakan itu, muadzin mushola langsung mengumandangkan suara iqomah. Aku dan ayah langsung buru-buru untuk mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat berjama’ah.
Selesai sholat, aku tidak buru-buru untuk melipat mukenah. Aku ingin tahu, apakah ayah sudah keluar dari mushola atau belum. Tanganku segera menggapai tirai pembatas antara shaf laki-laki dan perempuan.
Aku mengintip dari balik tirai tersebut dan kulihat ayah sedang terdiam sembari menundukkan kepalanya. Aku hanya tersenyum. Mungkin, ayah sedang berdo’a demi kesembuhan Ibu.
Tidak mau kalah dengan ayah, aku pun melakukan hal yang sama. aku rapatkan kedua tanganku dan menengadahkannya ke atas sembari memohon kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan kepada Ibu.
Tak terasa, air mataku berjatuhan saat mengingat-ingat kondisi Ibu yang sangat memprihatinkan. Bagian kiri tangan dan kakinya patah.
Aku tidak tega jika Ibu mendapatkan musibah yang terus menerus berdatangan menimpanya. Saking khusyuknya aku berdo’a, aku tidak menyadari jika keberadaanku di mushola tersebut sudah hampir lama.
Kulihat jam dinding di mushola sudah menunjukkan pukul 18.25 WIB. Aku segera merapihkan mukenah dan langsung beranjak pergi dari tempatku.
Akan tetapi, saat dimana aku sudah keluar dari mushola, aku masih menatap seorang pria yang kuyakini itu adalah ayahku sendiri.
Awalnya, aku kira ayah ketiduran karena kelelahan sebab seharian penuh dirinya mengurusi Ibu. Namun aku merasa ada yang janggal.
Di mushola tersebut, aku tidak mendapati sandal ayah. Apa mungkin ayah menyembunyikan sendalnya agar tidak diambil oleh orang-orang yang berada di rumah sakit?
Aku tidak ingin memikirkan hal itu terlalu jauh. Aku hanya mencoba untuk berpikir positif karenanya. Bisa saja, ayah masih rindu dengan Tuhan. Dengan cara berdo’a dan menceritakan keluh kesahnya, aku yakin, ayah bisa lebih kuat lagi dengan ujian yang sedang dihadapinya.
Aku pun meninggalkan ayah seorang diri di mushola. Batinku terasa lebih baik setelah melaksanakan sholat maghrib. Seperti ada beban yang sudah lepas dari hati dan juga pikiran. Kini, aku ingin menuju ke ruangan Ibu dan mendengarkan keluh kesahnya.
Sepanjang jalan menuju ke ruangan Ibu, aku mendapati suara teriakan kencang dari salah satu ruangan. Suara teriakan itu begitu menakuktkan. Sama halnya seperti orang yang sedang kesurupan. Banyak orang-orang di sekitarannya yang merespon teriakan itu dengan isu-isu yang miring.
Keributan ini pun segera ditangani oleh para Suster dan petugas rumah sakit yang langsung menuju ke ruangan tersebut.
Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menanggapinya. Antara cuek dan juga kasihan. Namun, waktu maghrib sendiri adalah waktu yang mungkin saja menjadi waktu sangat sakral bagi semua orang.
Ayah pernah bilang, jika waktu maghrib tiba, sosok ketiga dari kita akan muncul. Sosok ketiga ini adalah sosok yang sering mengganggu orang-orang.