Membayangkan Moni, mantan kekasihku, membuatku tidak bisa tidur. Dulu kami hampir selalu bertengkar karena masalah sepele. Biasanya karena aku yang tak berhenti merokok, sedang ia benci rokok. Atau karena aku yang jarang mengajaknya jalan karena kesibukanku sebagai pengarang.
Moni protes, “Aku curiga kamu selingkuh sama mereka!”
“Siapa?”
“Puisi-puisi dan cerita pendekmu!”
Ketika itu kukira ia bercanda. Cuma orang gila yang berpikir kekasihnya selingkuh dengan puisi dan cerita pendek.
“Kamu mengada-ada. Bilang saja mau kubelikan apa?” tukasku. Kurasa kami perlu jalan-jalan ke bioskop atau menikmati malam dari balkon rumahnya yang berdiri dekat pantai.
Moni membanting botol yang dari tadi dipegang. Ia pergi dan dua hari kami tidak ketemu. Ke mana-mana kucari, tidak ada. Kutelepon, tidak aktif. Keluarga dan teman- temannya juga tidak tahu di mana Moni.
“Kamu tanggung jawab, ya. Kalau anak kami mati bunuh diri, kamu yang salah!” ancam ayahnya.
Aku menelan ludah. Mengerikan bila aku, yang hidup sebagai seorang pengarang, dipenjara. Aku tidak lagi bisa mengarang, karena mungkin di penjara suasananya tidak mendukung kegiatan kepengarangan. Buatku, untuk mengarang fiksi yang baik, misal cerita pendek, butuh waktu dan tempat khusus. Tidak bisa sembarangan memilih tempat, apalagi yang berisik—aku yakin penjara tempat yang berisik—dan apa yang kuhasilkan akan jauh dari harapan.
Dengan separuh rasa jengkel, juga separuh sisanya rasa gamang, aku pergi mencari Moni. Kepada ayahnya ingin kukatakan, “Saya bertanggung jawab soal hati Moni yang lubang karena pekerjaan saya sebagai pengarang. Tetapi saya tidak menanggung dosa seandainya dia bunuh diri.”
Namun, aku malah dapat masalah besar. Aku diam seribu bahasa. Pria itu wajahnya merah padam dan siap menelanku jika aku tidak buru-buru pergi. Seakan aku anjing pelacak yang diutus mencari bocah perempuan hilang. Dan kini, bocah itu, Moni yang kucintai itu, tidak jelas rimbanya.
Alangkah buruk. Aku tidak sepenuhnya bersalah atas kaburnya Moni. Ia merajuk dan biasanya perempuan perajuk membahayakan diri sendiri. Inilah yang membuatku, dengan terpaksa, meliburkan diri dari bergelut dengan puisi dan cerita pendek di kamar kerjaku. Kalau dia celaka, aku juga yang repot.
Tak habis pikir bagaimana Moni yang berpendidikan tinggi itu, merasa aku tidak punya banyak waktu untuknya karena selingkuh dengan tulisan-tulisanku? Kukira dulu ia mendukung seratus persen perkerjaanku sebagai pengarang, yang tak bisa hidup tanpa menulis dalam sehari, juga yang kelaparan seandainya nekat kutinggalkan kamar kerja beserta komputer yang biasa menemani proses menulisku.
Moni juga tahu, saat pertama kami kenal, bahwa kadang-kadang di waktu tak tentu, beberapa adegan muncul di otakku begitu saja, seperti televisi yang spontan menyala di malam hari, padahal tak ada yang memencet remote. Adegan-adegan itu terasa lumayan nyata, sesuatu yang bukan bunga tidur, namun terjadi di saat aku sadar sepenuhnya.
“Mereka muncul mendadak dan menendang tempurung kepalaku. Aku harus buru- buru membebaskan diri. Bila adegan-adegan itu terlalu banyak dan kompleks dan tidak kunjung kukeluarkan, bisa meledak kepalaku. Kamu tahu itu aneh. Tapi, sekarang kamu tahu siapa aku. Beginilah aku, si pengarang dengan segala problemnya.”
“Pengarang sekaligus pembual!”
Moni masih sulit percaya bagaimana mungkin di kepala manusia bisa muncul hal seperti itu?
Karena aku mencintainya dan ingin dia jadi pacarku, kubawa Moni ke kamarku, lalu kutunjukkan apa yang kubilang. Kubiarkan dia mengintip isi kepalaku, lalu dia pun melongo dan, tanpa sadar, mulai berdecak kagum.
“Luar biasa! Ternyata betul. Di kepala pengarang sepertimu, ada sinetron dan FTV! Kok bisa, sih?” Moni tertawa geli dan sejak itu kami resmi pacaran.
Kukira ia paham bagaimana tersiksanya diriku, jika adegan-adegan yang suka lahir mendadak di tempurung kepalaku itu tidak segera kuhalau menjadi tulisan. Aku bisa mati dengan kepala menggelembung persis balon, yang meletus dan membikin otakku berhamburan. Maka dari itu, setiap hari aku harus mengarang minimal beberapa puisi, agar ruang di otakku—ruang terjadinya adegan-adegan tersebut—masih cukup longgar untuk beberapa hari ke depan agar aku tidak meletus.
Setelah sekian lama menjalani ini, setelah berkali-kali janji temu kubatalkan karena mendadak kepalaku sakit, Moni bosan. Kubilang, ini terjadi bukan karena kehendakku. Dia bilang, kamu berhenti saja jadi pengarang. Tapi aku tidak bisa hidup selain menjadi pengarang. Akhirnya ia merajuk sampai kabur entah ke mana.
Moni, Moni … kenapa begitu? Tidak kasihan padaku, yang sewaktu-waktu dapat mati kalau tidak mengarang lebih dari empat hari?
Kini rasa jengkel yang separuh, membengkak dan merebut seluruh tempat di hatiku. Kau tahu akibatnya? Bila hatiku jengkel secara total, kau tak akan selamat. Kau tak lagi punya tempat di sini, karena kau membunuhku. Daripada mati sia-sia, kurelakan dirimu menikah dengan orang. Aku tidak mau mati sebab pemberontakan mereka yang hidup di tempurung kepalaku.
Terkadang kejadian aneh kualami, misalnya, ketika suatu malam satu adegan siap kukeluarkan dari otakku. Anggap adegan itu perempuan yang menangis karena ditinggal selingkuh pacar. Usai kutarik dia lewat lubang kupingku, lalu kuletakkan persis di atas mejaku, kurasa dia, perempuan dari balik tempurung kepala itu, menatapku penuh rasa memohon.
“Tolong! Saya butuh kehangatan. Jangan tinggalkan saya! Maukah Anda jadi pacar saya?” begitu ia mengiba.
Memang tidak masuk akal kalau kau dengar ini, Moni. Namun itulah yang terjadi. Dan, kadang-kadang ada benarnya tuduhanmu itu, meski aku tidak terima karena akulah yang dirayu, bukan merayu. Barangkali ini tak pantas kutulis, namun kurasa aku harus jujur karena hilangnya dirimu membuatku takut dipenjara.
Kuambil selembar kertas di meja kerjaku dan menulis pengakuan: perempuan dari kepalaku itu merayu dan memelukku dari belakang. Dia cantik dan begitu menggoda, dengan raga surgawi.
Aku bilang, “Saya punya pacar. Nanti Moni marah!”
Dia tidak peduli dan memaksaku jadi pacarnya. Aku tak berdaya. Dia mendekapku makin erat sampai sesak napas. Akhirnya, malam itu aku dan si perempuan berpelukan dan bangun subuh hari. Ketika itu dia sudah tidak ada di sisiku.
Yang semacam ini sering terjadi. Tidak hanya perempuan penggoda. Sekali waktu lelaki pengangguran keluar dan ia sedih, karena banyak utang. Kuhibur dengan ngobrol apa saja, semalaman, sambil merokok dan ngopi. Aku senang karena dapat teman baru, meski tidak masuk akal, karena ia tahu-tahu muncul di otakku. Biasanya mereka yang punya persoalan ekonomi memiliki gagasan gila, misalnya merampok dan memintaku menemani aksinya pada suatu malam.
Kubilang, “Wah, saya bukan penjahat!”
Tentu saja dia mengancamku dengan pisau. Akhirnya, percaya tidak percaya— kamu boleh menangkis pengakuanku ini, Moni—aku membantu si perampok malang itu.
Sungguh, ini bukan mauku. Kadang sebagai pengarang, aku tak bisa membedakan antara kehidupanku dan para pelaku adegan ganjil dalam otak. Aku merasa aku mereka. Aku merasa aku bagian dari mereka, begitu sebaliknya. Dan aku tak berdaya. Aku bisa apa, Moni, ketika dengan liar si penggoda merayuku? Aku juga bisa apa, ketika dengan kalap si perampok memaksaku menembak korban, karena kami ketahuan menyatroni sebuah rumah? Dan itu hanyalah contoh dari segala masalah yang selama ini kuhadapi sebagai pengarang!
***
Maka, benarlah keputusanku. Moni tetap kucari sampai ketemu. Namun, setelah ia berhasil kutemukan, kami akan putus. Aku siap mendengar caci-maki mantan pacarku itu seandainya ia terluka sebab aku tak berjuang sedikit pun untuknya. Biarlah hatinya lubang, daripada aku mati sia-sia karena kepalaku meletus.
Bayangkan aku mati. Nanti Moni yang merasa berdosa dan dia akan berkata begini setiap hari: “Laki-lakiku mati karena di kepalanya ada sinetron dan FTV! Laki-lakiku kepalanya meletus karena berisi hal-hal yang kubenci!” Dan dia berakhir di pemasungan, sementara orang-orang menatap prihatin. Aku tak mau itu terjadi. Moni muda dan cantik. Ia pantas bahagia.
Perjuanganku melawan para tokoh yang berdesakan di kepala membuatku hampir gila. Aku butuh kekasih sebagai pendukung. Kekasih yang tidak protes seperti Moni, sebab kurasa Tuhan menaruhku dalam rahim seorang ibu demi suatu alasan: agar kelak di bumi lahir seorang pengarang yang menulis hal-hal fiktif untuk dijadikan hikmah bagi pembaca. Kurasa itu tak terlalu buruk. Aku sanggup mengatasi, misalnya, membuat insaf si penggoda dan perampok itu dalam tulisanku, sehingga mereka batal melakukan zina dan pembunuhan. Barangkali, di luar sana, orang yang punya niatan sama, bakal sadar setelah membaca tulisan itu.
Tapi begitulah, setelah Moni berhasil ditemukan—ia ternyata menginap di rumah teman dan tidak bunuh diri—lagi-lagi aku dilanda demam asmara. Setiap malam aku terbayang wajah Moni sampai sulit tidur. Tiap jam, menit, atau detik. Ini gila. Dan aku tak bisa menghentikan, karena setelah kupastikan, Moni yang selama ini pacarku, tak lain dan tak bukan, adalah satu dari sekian banyak skenario di kepalaku. Jadi, ia tidak mengada-ada soal perselingkuhanku dengan si penggoda! Ya Tuhan, kok jadi seperti ini, ya?