Kini bapak sudah lebih ceria da sering tersenyum. Tidak lagi cemas ketika harus “mengasuh” patung anjing dengan mata hijau zamrud.
Yang saya maksud adalah rumah kami yang dulu. Sebuah rumah di Jakarta di mana saya dilarang menyebutkan lokasi tepatnya.
Sebuah rumah yang secara tiba-tiba dibeli oleh bapak. Setidaknya itu kata beliau karena saya dan ibu tidak pernah melihat sertifikat atau diajak ngobrol soal rencana beli rumah ini.
Lazimnya rumah baru, perabot yang kali pertama dibeli, misalnya tempat tidur, lemari pakaian, meja dan kursi, atau mengisi peralatan elektronik. Namun, bukan barang-barang lazim itu yang dibawa bapak masuk rumah pertama kali. Barang yang dibawa bapak adalah patung anjing dengan mata hijau zamrud.
Patung anjing yang dibawa bapak itu adalah replika dari anjing German Shepherd. Anjing itu dibuat dalam posisi duduk dengan kepala tegak. Tingginya sekitar 1,5 meter. Tinggi dan besar. Patung itu juga yang menyambut saya dan ibu ketika kali pertama menginjakkan kaki di rumah itu.
“Dari kawan,” jawab bapak singkat ketika ibu bertanya dari mana rumah dan patung anjing itu berasal.
“Beli dari kawan.”
Begitulah. Saya tidak berselera untuk ikut bertanya.
Sejak masuk ke rumah dan disambut patung anjing bermata hijau zamrud itu, saya dan ibu sudah menduga kalau ada yang tidak beres dengan rumah ini. Rumah seluas 300 meter itu menyimpan banyak kenangan mistis.
Waktu berlalu. Tidak butuh waktu lama buat bapak dan ibu untuk mengisi rumah baru kami. Perabot dan segala kebutuhan sudah masuk. Selama proses mengisi rumah itu dengan perabotan, kami belum “disambut” oleh berbagai keanehan. Mungkin masih masa orientasi bagi kami, saya dan ibu.
Kalau tidak salah menghitung, rumah itu terisi perabotan dan segala kebutuhan selama enam bulan saja. Tepat enam bulan, bapak bilang jangan menambah perabotan lagi. Tepat saat itu pula, berbagai gangguan mulai terjadi.
Awalnya adalah suara-suara asing. Suara-suara yang tidak mungkin dibuat saya, ibu, atau bapak. Suara anak kecil adalah yang dominan pada awalnya. Suara tawa, tangis, dan panggilan. Iya, ada anak kecil yang memanggil nama saya di suatu siang.
Setelah suara anak kecil, disusul suara nenek-nenek. Suara perempuan renta yang kamu pasti pernah mendengarnya. Saya tidak tahu secara pasti kalimat yang terdengar dari suara dari nenek-nenek itu. Mungkin Bahasa Jawa yang saya dengar. Saya tidak tahu pasti.
Setelah suara, benda-benda kecil mulai bergeser dari tempatnya. Keluarga kami punya kebiasaan untuk meletakkan kunci kendaraan di satu tempat, sebuah fruit bowl dari kaca. Sering terjadi kunci kendaraan dan kunci rumah tidak ada di tempatnya. Biasanya, bapak yang kemudian menemukan benda-benda kecil itu.
Selain kunci, perabot rumah mulai bergeser. Salah satunya meja kayu yang cukup berat. Lalu sofa di ruang tamu, yang selain bergeser juga koyak di beberapa tempat. Tentu saja patung anjing bermata hijau zamrud turut bergeser. Bahkan dua hari sekali.
Ketika hal-hal ini terjadi, saya sudah merengek kepada bapak dan ibu untuk pindah saja. Ibu setuju karena gangguan yang terjadi sudah makin mengganggu. Namun, bapak diam saja. Diamnya bapak adalah bentuk ketidaksetujuan.
Tampak dari depan, rumah lama kami memang sudah mengeluarkan aura yang kurang menyenangkan. Padahal, lampu depan dan lampu taman sudah pakai yang terang. Tetap saja, kalau dilihat dari depan, terlihat suram.
Sejak masuk hingga perabot rumah mulai terisi, dinding bagian samping rumah masih ditumbuhi tanaman menjalar. Di dekatnya, ada kebun kecil berisi bunga melati.
Pohon mangga berdiri di halaman belakang bersama kolam ikan yang berada tepat di bawahnya. Tak lupa gudang apak yang hampir tak pernah saya dan ibu sentuh, tapi jadi tempat favorit bapak. Gudang itu tepat di samping dapur, menjorok agak ke belakang.
Di dekat dapur, ada sebuah lorong pendek menuju kamar ART dan tempat mencuci baju. Lorongnya pendek saja, tapi agak redup karena tidak ada lampu di sana.
Selain gangguan suara dan bergeraknya barang-barang kecil, ada beberapa kejadian “besar” dan paling berbekas di ingatan saya dan ibu. Kita mulai dari pengalaman ibu.
Ibu saya adalah ibu rumah tangga biasa yang sangat suka memasak dan membuat kue. Jadi, dia banyak menghabiskan waktu di ruang belakang: ruang makan dan dapur.
Suatu kali, ibu merasa kurang enak badan setelah menyelesaikan pesanan kue yang cukup banyak. Dia tertidur dari sore sampai menjelang Maghrib. Setelah bangun, ibu hendak menuju dapur untuk mengemas kue pesanan. Rumah dalam kondisi sepi. Cuma ada ibu dan ART.
Ketika berjalan menuju dapur, sambil masih terkantuk-kantuk, ibu meraba-raba tembok untuk mencari saklar lampu. Ketika tangannya menyentuh tembok, ibu mengaku ada perasaan janggal. Ibu merasa memegang tembok, tapi rasanya lembek, lengket, lalu disusul suara dengungan serangga yang cukup mengganggu telinga.
Begitu saklar lampu dinyalakan, ibu terjengkang setelah melihat pemandangan janggal di hadapannya. Ibu melihat ribuan lalat hitam hinggap di dinding dekat dapur hingga lorong menuju kamar ART. Dalam ketakutannya, ibu tak bisa menjerit.
Ibu bangkit dan berusaha menuju ke kamar ART untuk minta tolong. Sesampainya di kamar, ibu tidak mendapati ART yang belum lama bekerja untuk kami. Di sana, ibu menemukan sepucuk surat bertuliskan, “Ibu, saya pamit. Mohon maaf, saya tidak kuat lagi.”
Pakaian dan beberapa barang milik ART masih ada di sana. Aneh sekali. Apakah ART itu tidak berkemas sebelum pergi? Ibu yang tak kuasa menahan kejanggalan demi kejanggalan, pingsan di kamar ART.
Kata bapak, ibu tidak lama pingsan. Mungkin sekitar 20 menit saja. Ketika dipapah bapak untuk menuju kamar, ibu melihat dinding dapur dalam keadaan penuh lumpur yang di beberapa bagian sudah dibersihkan. Ibu tak mau bertanya. Dia diam.
Beberapa minggu sebelum kejadian ribuan lalat itu, protes ibu kepada bapak untuk pindah rumah sudah semakin sering. Pasalnya, beberapa kali, ibu diganggu oleh “seseorang” yang menyerupai bapak.
Jadi, intinya, pekerjaan bapak menuntutnya untuk banyak bepergian keluar kota, bahkan pulau. Oleh sebab itu, di rumah besar itu, cuma ada saya, ibu, dan satu ART. Saya sendiri jarang di rumah karena kesibukan sekolah dan les. Pulang larut, tidur, pergi lagi.
Suatu siang, ketika sibuk memasak di dapur, ibu merasa dipanggil oleh bapak dari ruang tengah. Suaranya nggak begitu jelas, jadi ibu cuek saja.
Namun, suara itu memanggil namanya lagi. Kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Ibu segera berhenti memasak dan memasang telinga. Benar, itu suara bapak yang terus memanggilnya. Ibu keluar dari dapur dan hendak menuju ke ruang tengah ketika langkahnya terhenti.
Sejurus pandangan ibu, beberapa meter di depan ruang tengah, patung anjing bermata hijau zamrud itu seperti tengah memandangnya. Padahal, seharusnya, patung itu menghadap ke depan, ke arah ruang tamu dan pintu depan.
Yang bisa ibu lakukan hanya membaca doa, lalu kembali ke dapur. Ibu mengira dirinya kelelahan dan mungkin patung anjing itu digeser bapak sebelum pamit pergi dinas luar kota. Satu hal yang pasti, ketika pulang dan masuk rumah, saya menemukan jejak kaki anjing. Jejak kaki yang terbuat dari lumpur berwarna cokelat kehitaman.
Sejak saat itu, ibu semakin gusar. Bahkan sempat marah kepada bapak ketika sepupunya diganggu juga. Jadi, suatu kali, sepupu ibu menginap di rumah kami.
Sepupu ibu adalah seorang laki-laki berambut pendek. Suatu kali, setelah mandi, dia sibuk menyisir rambut di depan kaca besar di kamar tamu. Ketika asik menyisir, dia melihat pantulan refleksi di kaca agak aneh.
Di dalam cermin, wajah yang muncul tetap wajah sepupu ibu. Namun, rambutnya panjang sebahu. Sepupu ibu ini sebetulnya panik, tapi dia masih sempat mengamati pantulan yang aneh itu. Dia memberanikan diri membalikkan badan dan tidak ada yang sedang berdiri di belakangnya. Cuma ada gumpalan rambut di dekat kakinya. Sejak saat itu, sepupu ibu saja tidak pernah lagi berani datang.
Satu cerita aneh, seram, tapi agak lucu menimpa seorang tukang siomay langganan saya. Suatu sore, di jam biasa dia lewat depan rumah, tukang siomay itu “seperti” melihat saya di dekat rumpun pohon melati. Dia bahkan ngotot melihat saya sedang berdiri di tengah pohon melati sambil membelai seekor anjing.
“Iya, Mbak. Saya lihat begitu. Tapi Mbak kok pakai daster, biasanya pakai jilbab. Megang-megang kepala anjing.”
Jujur saya geli mendengar pengakuan itu. Apalagi di bagian daster dan memegang kepala anjing. Namun, di sisi lain, saya jadi makin takut lama-lama di rumah.
Tentu hal ini saya ceritakan juga kepada ibu. Tambahan cerita yang semakin menguatkan niat ibu untuk segera pindah. Apalagi setelah kejadian ribuan lalat di dinding dapur. Bapak tidak lagi bisa menghindar. Meski tidak menjawab, saya bisa melihat bapak agak marah. Sungguh janggal.
Desakan ibu semakin kuat dan tidak bisa diabaikan bapak. Suatu malam, ada dua teman bapak datang ke rumah. Mereka membawa beberapa orang lainnya. Saya hitung ada 12 orang. Banyak sekali.
Beberapa dari mereka duduk di lantai, dekat patung anjing bermata hijau zamrud itu. Beberapa lagi menunggu di kebun melati. Bapak meminta saya dan ibu untuk masuk ke kamar saja. Setelah itu, yang saya tahu, patung anjing itu dibungkus kain berwarna hitam. Diikat dengan tali besar berwarna kuning.
Setelah patung anjing itu masuk ke dalam mobil box untuk pindahan, samar-samar saya mendengar suara lolongan. Dua hari kemudian, bapak bilang bahwa kami akan pindah. Sudah ada rumah yang bisa ditempati, yaitu rumah saya saat ini. Rumah yang jauh lebih tenang dan aman.
Oya, sebelum pindah, tentu kami membereskan perabotan dan segala barang yang akan kami bawa. Proses ini juga sangat cepat. Tidak ada satu minggu saya kira. Sebelum keluar rumah untuk kali terakhir, ibu membaca doa lalu mengucap salam: “Assalamualaikum….”
Dari dalam rumah, terdengar jawaban lirih, “Waalaikumussalam.”
Meski lirih, saya dan ibu mendengarnya dengan jelas. Bapak diam saja, tapi akhirnya dia tersenyum. Setelah berbulan-bulan, saya melihat bapak tersenyum lagi.
Setelah pindah ke rumah baru, bapak tidak lagi sering dinas luar kota. Dia banyak di rumah, membantu ibu membuat kue.
Beberapa kali saya dan ibu mendengar lolongan suara anjing. Kami berdua sudah berani menjadikan kejadian itu sebagai bahan lelucon. Mungkin anjing tetangga butuh belaian kasih sayang. Namun tidak untuk bapak, suara lolongan itu selalu melahirnya wajah cemas.
Kecemasan yang tidak pernah kami pahami maknanya. Saya dan ibu tidak berani bertanya….