Disclamer: Nama cluster dimaksud dan narasumber sangat dirahasiakan. Nama-nama karakter disamarkan. Kami tidak akan berkomentar atau menanggapi atas pertanyaan dan juga dugaan para pembaca. Mohon maaf dan terimakasih atas pengertiannya.
“Halo mas Rae, apa kabar?”, sapa saya. “Eh elo …., kabar baik gue. Baru kliatan nih bro, kemana aja?” jawabnya lalu balas bertanya. “Iya mas, keliling kemana-mana. akhirnya balik
kandang juga nih. Biasalah, kehidupan,” jawab saya sambil terkekeh ringan.
Siang itu saya sedang berjalan-jalan dengan mengendarai motor berboncengan bersama
teman. Sudah 5 bulan terakhir saya bantu-bantu di CV-nya yang bergerak di bidang kontraktor sebagai freelance.
Saya punya sedikit keahlian di bidang review dokumen legalitas dan manajemen resiko.
Sasaran saya dan teman saya siang itu adalah meninjau langsung ke sebuah proyek perumahan cluster, terkait rencana pekerjaan pengecoran jalan dan juga parit atau u-dicth.
Memang belum tentu kami yang mendapat pekerjaannya, masih harus mengadakan pendekatan kepada pihak developer cluster tersebut, namun tidak ada salahnya toh melihat-lihat terlebih dahulu.
Perumahan cluster itu terbilang masih baru, mereka mulai menjual unit di pertengahan tahun 2016. Awalnya developer hanya menjual perumahan model Town-House yang hanya terdiri 14
unit rumah, ternyata laris manis dengan cepat.
Akhirnya mereka membebaskan lahan yang tak jauh dari lokasi Town-House untuk membangun perumahan tipe cluster. Mas Rae yang saya sapa itu adalah teman satu komplek perumahan dengan saya, dia di perumahan cluster itu bekerja sebagai sekuriti atau satuan pengamanan.
Usianya terpaut 10 tahun di atas saya. Saya sendiri baru sebulan ini pulang ke kota di mana saya dibesarkan setelah mengelana ke beberapa kota mencari penghidupan.
Siang itu saya menghampiri mas Rae yang sedang bertugas jaga di pos gardu depan.
Lalu tiga orang bocah kecil seumuran usia sekolah dasar berjalan ke arah gerbang perumahan. “Hayo! mau pada kemana ini? sana! sana! pulang pada!”
“Mau ke bapak om, di sana lagi mancing,”
jawab seorang dari mereka memberi alasan sambil menunjuk ke arah parit aliran air sekitar 500 meter dari pos gardu depan. “Ga ada!, ga ada!, ayo sana pada pulang!” sergah mas Rae menghalau bocah-bocah itu.
Bocah-bocah itu pun mengeloyor pergi. “Loh, kenapa mas? ko ga boleh masuk?” tanya saya heran. “Sebenernya boleh, asal ditemenin sama orang yang tuaan. Tapi kalo ga ada yang nemenin ga boleh. Ga mau kecolongan lagi kita,” papar mas Rae.
Saya memang pernah mendengar kabar bahwa beberapa tahun lalu ada anak kecil tewas tenggelam di danau buatan perumahan cluster itu.
Tapi saya baru tahu bahwa akibat peristiwa itu saat ini anak-anak seumuran SD, atau banter kira-kira usia 11 tahun dilarang masuk ke wilayah perumahan.
Sementara ini perumahan cluster tersebut baru terdiri dari 1 blok unit-unit rumah yang sudah ditinggali.
Lahan calon rumah-rumah perumahan itu masihlah luas. Danau itu sendiri terletak di tengah-tengah lokasi lahan perumahan. Sebenarnya ada tiga lubang, namun ada satu yang
cerukannya paling lega dan dalam hingga akhirnya membentuk danau.
“Bukan kecelakaan biasa, “Penunggu sini marah kayanya,” imbuh mas Rae. “Penunggu mas?” tanyaku merasa ganjil.
Lalu mas Rae mulai bercerita, bahwa sebenarnya danau itu bukan danau yang sengaja dibuat untuk keperluan estetik perumahan, melainkan galian untuk tanah material keperluan membangun perumahan.
Dalam rangka penghematan, pihak developer memutuskan mengambil sebagian material tanah dari lokasi lahan perumahan itu sendiri. Suatu hari saat menggali tanah dengan menggunakan mesin excavator pada kedalaman tanah yang sudah membentuk lubang yang cukup dalam,
ikut terangkut pula sepasang ular sanca ukuran besar. Kondisi kedua ular itu tersangkut garpu kantung atau bucket pengeruk dalam keadaan mati. “Sebentar mas…, itu uler sanca gede, mati? di dalem tanah?” tanya saya heran.
Karena setahu saya ular sanca hidupnya tidak di dalam tanah melainkan di permukaan tanah. Ada juga memang yang hidup di dalam Goa, dan di lubang dalam tanah, tapi tidak di kedalaman sekitar 5 meter di dalam tanah.
Mas Rae, menekankan kembali keterangannya, berusaha meyakinkan saya. “Loh terus, dari
mana bisa tau kalo tuh uler sepasang?” tanya saya masih merasa ganjil.
“Karena dua uler itu
posisinya waktu keangkat dempetan gitu, nempel,” jawab mas Rae sambil menempelkan kedua jari telunjuknya mendeskripsikan.
“Terus dikemanain mas ulernya”, lanjut saya bertanya. “Dibuang katanya sih. Tapi ga tau dibuang kemana. Mungkin juga dikubur. Gue juga ga liat pas kejadian uler keangkut, blom mulai gawe. Gue dicritain tukang, kuli-kuli proyek,” papar mas Rae.
Lubang galian tanah itupun dikarenakan diguyur hujan terus menerus lama kelamaan menampung airnya sehingga membentuk danau.
Atau boleh jadi juga dikarenakan dahulu di lahan itu merupakan area rawa-rawa sehingga air tanah masih banyak terkandung di dalamnya sehingga proses pembentukan danau bisa terjadi.
#
Petang sekitar pukul 3 sore itu tiga orang bocah laki-laki sedang bermain di sekitar danau. Sebagai catatan, air danau berwarna tidaklah jernih melainkan keruh kecoklatan. Mereka bermain lempar batu, siapa yang lemparannya terjauh dialah pemenang.
Setelah beberapa putaran lemparan salah seorang dari mereka merasa sanggup melempar
batu paling jauh, bahkan bisa sampai ke sisi danau disebrangnya, melampaui lebar danau.
Ia lalu mengambil ancang-ancang mundur lima langkah, kemudian berlari kecil menuju posisi awal dengan maksud akan melepas batu. Rupanya dia berpikir akan mendapat daya lempar lebih
kuat dengan cara demikian.
Namun tak dinyana, dia malah terpeleset dan tercebur ke danau dikarenakan tanah sekitar bibir
danau licin. Si bocah yang masuk danau itu terlihat berusaha menggapai pinggiran danau
dengan gerakan kecipakan yang terlihat asal dikarenakan panik.
Anehnya tubuhnya malah
bergerak menjauh dari pinggiran danau.
Seorang temannya melihat temannya yang tercebur itu nekat mencemplungkan diri ke danau dengan maksud hendak menolong.
Lalu ia terlihat bisa bergerak berenang mendekati temannya yang kecipakan panik. Kemudian ia merangkul temannya.
Namun dikarenakan bocah si penolong juga belum handal, berenang sambil merangkul teman membuat dia sendiri kepayahan. Terlihat dua bocah itu timbul tenggelam berdua. Posisi mereka tidaklah terlalu ke tengah, sudah sekitar 3 meter dari pinggiran danau.
Si bocah penolong mendorong temannya itu sehingga tubuhnya semakin dekat ke pinggir
danau. Kemudian ia berhasil meraih semak-semak rerumputan yang tumbuh di pinggiran
danau. Lalu teman yang satunya membantunya menarik sehingga dia akhirnya bisa keluar dari air.
Tak lama kemudian kedua bocah itu menyadari bahwa seorang temannya masih di danau. Namun saat perhatian mereka kembali ke danau mereka tidak melihat keberadaan temannya itu. “A!!... A!!... A!!” teriak mereka berdua memanggil-manggil temannya.
Yang dipanggili tak menyahut, raib begitu saja. Kini mereka berdua bertangisan di bibir danau, khawatir dan takut sesuatu yang buruk menimpa temannya.
Kedua bocah itu lalu berlari ke arah depan dengan maksud menghampiri pos gardu sekuriti.
Saat itu yang sedang tugas jaga di pos adalah pak Jono, pimpinan sekuriti. Saat kedua bocah panik itu melaporkan apa yang terjadi dengan sigap pak Jono berlari menuju danau. Kedua bocah itu berlari mengikuti.
“Dimana tadi keceburnya?” tanyanya kepada kedua bocah itu.
“Di sana pak,” kata seorang menunjuk ke satu lokasi. Lalu mereka menghampiri lokasi dimaksud. Pak Jono melepas sepatu dan mengeluarkan telepon genggam dari saku celananya kemudian diletakkan di pinggir danau lalu terjun ke danau.
Pak Jono menyelam, kemudian muncul ke permukaan untuk mengambil nafas, kemudian kembali menyelam, begitu terus setidaknya lima kali di radius sekitar si bocah tenggelam sebagaimana penuturan kedua teman bocah tenggelam itu. Tapi sia-sia, ia tidak menemukan si bocah.
Pak Jono lalu berenang menepi, ia naik kembali ke pinggir danau. Kemudian meraih telepon genggamnya, ia menghubungi mas Rae. Tak lama kemudian mas Rae datang bersama beberapa orang lainnya, ada bersamanya beberapa tukang kuli proyek.
Kemudian Pak Jono kembali masuk ke dalam air, kali ini bersama dua orang lainnya. Mereka meluaskan lokasi pencarian. Mas Rae tidak turut menceburkan diri, dia mengelilingi danau beberapa kali dengan harapan melihat tanda-tanda bocah yang tenggelam.
Mas Rae kemudian menghampiri kedua bocah tadi, ia menanyakan beberapa hal, diantaranya
dimana rumah mereka, apakah kenal dengan orangtua temannya yang tenggelam itu.
Ternyata memang mereka tinggal berdekatan di pemukiman sekitar proyek perumahan cluster, istilahnya di kampung sebelah. Lalu mas Rae menyarankan agar mereka memanggil orangtua dari bocah yang tenggelam.
Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Bocah-bocah yang diminta mas Rae untuk memanggil
orangtua bocah yang tenggelam sudah berada di lokasi danau. Adalah si ayah bocah yang
tenggelam bersama beberapa orang lain menyertainya mendatangi danau dimana dilaporkan anaknya tenggelam.
Si ayah dan orang yang menyertainya kemudian memanggil-manggil nama anaknya, berharap anaknya menyahutnya, namun tidak ada sahutan jawaban dari si anak. Kemudian si ayah ikut terjun ke danau, mencari anaknya.
Sama seperti pak Jono, ia berenang ke sana-ke mari, dan menyelam kemudian muncul kembali ke permukaan, sambil sesekali memanggil nama anaknya. Namun sia-sia, si bocah tenggelam seolah lenyap.
Menjelang waktu maghrib, pencarian di danau dihentikan.
Cahaya matahari sudah semakin
redup. Mereka yang menceburkan diri ke danau mulai naik ke pinggiran danau. Ayah si bocah
tenggelam juga naik. Ia lalu terduduk lunglai, sambil menangis tersedu ia coba lagi memanggil-manggil nama anaknya. “A!!… A!!… dimana kamu nak?”
Tak lama kemudian adzan mulai maghrib mulai berkumandang bersahut-sahutan dari toa masjid maupun mushola yang ada di sekitar poyek perumahan cluster. Semua yang berada di danau menjadi murung, terdiam membisu atas tragedi sore itu.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh satu pemandangan, dua pasang telapak kaki menyembul ke
permukaan danau. “Itu dia!” sontak pak Jono. “Mana? mana?” tanya si ayah kepada pak Jono. Pak Jono menunjuk pada satu titik sekitar 5 meter dari pinggir danau di posisi mereka semua berada.
Setelah melihat pula, tanpa berpikir panjang si ayah kembali terjun ke danau. Ia berhasil meraih jasad anaknya, kemudian dibawanya ke pinggir danau. Bocah tersebut sudah tidak bernyawa, jasadnya sudah terlihat membiru.
#
3 hari kemudian, sekitar pukul 4 sore, keluarga si bocah yang tenggelam menyambangi danau.
Mereka bermaksud hendak mengirimkan doa dan menaburkan bunga di danau yang merenggut nyawa A.
Yang hadir lebih dari 10 orang, turut pula beberapa anak kecil yang nampak sebaya
dengan almarhum A, mungkin adik atau kakak, atau sepupunya. Pak Jono dan mas Rae turut serta juga. Setelah doa dan tabur bunga dilaksanakan, mereka semuapun bersiap kembali pulang.
Namun belumlah jauh dari danau terjadi hal yang mengejutkan, membuat siapapun yang berada di sana saat itu merasa ngeri. Seorang bocah perempuan tiba-tiba berteriak histeris.
Si bocah perempuan itu terus-terusan berteriak histeris seolah ketakutan, tak lama kemudian tubuhnya lunglai pingsan. Orang tua yang berada di situ lalu memapah si bocah bermaksud memindahkannya ke tempat yang lebih nyaman.
Namun tak dinyana bocah perempuan itu siuman, namun kali ini sorot matanya yang terlihat merah menatapi semua yang berada di sekelilingnya dengan tatapan tajam.
Ia lalu tertawa terbahak-bahak. Semua orang dibuat nyalinya kecut.
Yang lebih mengejutkan adalah suara bocah perempuan itu berubah menjadi suara laki-laki dewasa yang terdengar parau. Ia mengatakan sesuatu dengan nada ancaman,
“kalian sudah berani-berani merusak tempat kami! kami akan menuntut ganti! Kami ingin nyawa anak perempuan seumur anak ini!!” Setelah mengucapkan itu si bocah perempuan kembali berteriak histeris namun dengan suara aslinya, kemudian kembali tak sadarkan diri.
- BERSAMBUNG -