Syandan di sebuah desa, ada sebuah mushola yang menjadi pusat kehidupan sosial. Selain menjadi tempat ibadah, mushola tersebut sering dipakai untuk bermusyawarah dan menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Pengurus mushola ini bernama ustad Wahid.
Pada suatu hari, terjadi perselisihan antara Pak Tio dan Pak Sidik tentang tanah. Ustad Wahid akhirnya memutuskan bahwa perkara ini akan diselesaikan di mushola. Masing-masing pihak diminta menyiapkan seorang saksi yang akan disumpah dengan memakai sehelai selendang di hadapan kitab suci al-Qur’an.
“Demi Allah, tanah itu milik Pak Sidik. Saya melihat Ki Ahmad memberikan wasiatnya kepada Pak Sidik!” ucap Rahmat, saksi dari pihak Pak Sidik.
“Benarkah?” tanya ustad Wahid.
“Semua itu dusta, Ustad. Kami, saksi Pak Tio, membawa surat wasiat Ki Ahmad. Seseorang menemukannya di bawah kasur Ki Ahmad!” jelas Randik sembari menunjukkan surat wasiat tersebut.
Akhirnya, ustad Wahid dan pengurus mesjid memenangkan Pak Tio. Pada malam harinya terdengar berita bahwa Randik jatuh sakit dan beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. Pak Tio merasa bersalah, karena ia menyuruh Randik bersumpah palsu di mushola. Selain itu, ia juga mengaku bahwa dirinya pula yang membuat surat wasiat palsu.
“Aneh, rumah Pak Tio tiba-tiba terbakar. Pak Tio tidak dapat diselamatkan. Akhirnya, sisa-sisa kekayaan Ki Ahmad
diwakafkan ke mushola. Semenjak peristiwa itu, tak pernah lagi terdengar perselisihan perkara tanah. Namun beberapa waktu kemudian dikabarkan bahwa seseorang mencuri barang-barang berharga di rumah Fatimah. Ustad Wahid berjanji akan mencari pencurinya.
Keesokan harinya, ustad Wahid diundang Pak Fikar ke rumahnya, Ustad Wahid dan warga disuguhi makanan dan minuman yang lezat. Aneh, Pak Umar, hanya diam saja. Setelah acara selesai, ustad Wahid bertanya kepada Pak Umar,
“Ada masalah apa, Pak Umar, dari tadi diam saja?” tanya ustad Wahid.
“Begini, ustad, saya melihat emas kepunyaan istri saya dipakai oleh istri Pak Fikar. Ia juga mengenakan cincin batu peninggalan bapak saya,” jelas Pak Umar.
“Jangan berprasangka buruk dulu, mungkin bentuknya sama!” ustad Wahid mengelak.
Pak Umar dan beberapa temannya mendatangi rumah Pak Fikar. Mereka bercakap-cakap dengan Pak Fikar, sedangkan Pak Umar mengintip dari balik dinding tembikar.
“Pak Fikar, cincin Anda sungguh indah. Dapat dari mana?”
“Cincin ini pemberian kakak saya,” jawab Pak Fikar. Setelah mendapatkan keterangan, mereka kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyelesaikan masalah itu, ustad Wahid meminta Pak Fikar bersumpah di mushola.
“Saya bersumpah, demi Allah, tidak pernah mencuri di rumah Pak Umar!” sumpah Pak Fikar. Beberapa hari setelahnya, Pak Fikar sakit. Akhirnya, Pak Fikar pun meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap ada permasalahan, warga.
Ringkasan Cerita Rakyat Nusantara dari Banten
Ringkasan Cerita Rakyat Nusantara dari Banten
menyelesaikannya di mushola tersebut. Sejak saat itu, warga desa menganggap bahwa mushola itu adalah tempat yang harus dijaga dan dilestarikan.
Akhirnya, mushola itu diperbesar dan berubah menjadi masjid dengan nama Masjid Terate Udik, sesuai dengan nama kampungnya. Masjid Terate Udik dipercaya dapat memberi bukti tentang perbuatan salah dan benar seseorang. Tetapi, hanya orang-orang tertentu saja yang berani bersumpah di dalamnya.