Riska membuka pintu di depannya. Ternyata kelas masih sepi. Belum ada murid lain yang sudah berangkat ke sekolah selain dirinya. Suara jarum jam terdengar keras. Ia menoleh ke belakang. “Hah, baru jam setengah enam pagi, untunglah masih bisa piket supaya tidak dihukum seperti kemarin,” gumamnya.
Riska memang murid yang malas. Sudah berulangkali datang terlambat dan berulangkali juga tidak piket. Kemarin ia dihukum guru BK dan berjanji kalau ia akan berangkat paling awal lalu piket.
Sebenarnya ia takut. Kelasnya tampak gelap. Tidak ada satupun lampu yang menyala. Dengan langkah cepat, ia menuju saklar lampu di samping papan tulis. Jari telunjuknya memencet tombol. Tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Sontak kepalanya menoleh ke sumber suara.
Dari pojok belakang kelas terlihat sebuah benda seperti kain hitam keluar dari jendela setelah lampu menyala. Dan kemudian jendela menutup dengan sendirinya. Mata Riska menatap tajam jendela itu. Ia memikirkan benda apa yang baru saja keluar dari jendela. “Apa itu hantu?”. Riska mulai ketakutan. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Pikirannya sudah tak sanggup membayangkan macam-macam. Akhirnya ia berlari keluar dari kelas dengan langkah tak beraturan.
“Ada apa Ris?, kayaknya kamu ketakutan,” tanya Nisa pada sahabatnya yang kini berdiri lemas di halaman sekolah. “Aku baru saja lihat hantu Nis,” Ucap Riska pada Nisa. “Jangan bohong kamu Ris,” Nisa tersenyum. Ia tak percaya pada perkataan Riska. Baginya Riska hanya bercanda. “Iya, hantunya keluar dari kelas kita setelah aku menyalakan lampu, badannya berwarna hitam dan pergerakannya cepat,” jawab Riska serius. Tangannya memegang tangan Nisa. Ekspresi wajah Nisa berubah karena tangan Nisa merasakan keringat dingin dari tangan Riska. “Kalau begitu kita tunggu teman-teman untuk masuk kelas bersama-sama,” kata Nisa dengan nada pelan. “Kamu jangan memberitahu teman-teman!”, ujar Riska. Nisa hanya mengangguk beberapa kali.
Kedua sahabat itu menunggu hingga jam tujuh pagi untuk masuk kelas. Setelah kelas ramai, tidak ada lagi hal yang menakutkan. Riska dan Nisa tampak lega. Mereka mulai melupakan cerita tadi pagi dan mengikuti pembelajaran seperti biasanya.
Keesokan harinya, Riska berangkat sekolah bersama Nisa. Mereka sampai di sekolah pukul setengah tujuh pagi. Saat sampai di kelas, teman mereka sedang sibuk bercerita. Ternyata dia adalah Dinda, teman sebangku Riska. Karena penasaran Riska dan Nisa ikut bergabung untuk mendengarkan cerita.
“Awalnya aku tidak percaya, tapi han..,” suara Dinda terhenti karena Riska juga ingin berbicara. “Jangan-jangan apa kamu cerita soal hantu?” ucap Riska dengan wajah sangat percaya. “Kok kamu tahu Ris?”. “Iya, pasti kamu datang paling pagi untuk piket kelas kan,” jawab Riska. Seluruh murid di kelas itu terdiam. Beberapa murid tertawa. Terutama murid laki-laki.
“Lanjutkan ceritamu Din! biar saja yang lain tidak percaya,” tanya Nisa sambil mendekat ke arah Dinda. Nisa semakin penasaran. “Begini, tadi waktu aku mau mengambil sapu untuk piket, tiba-tiba sapu itu bergerak sendiri, padahal aku belum memegangnya, aku merinding dan langsung lari kebirit-birit,” jelas Dinda panjang lebar. Dinda yakin dengan keberadaan hantu di kelas mereka. Pasalnya tidak ada angin yang menggerakkan sapu waktu itu. “Apa di kelas kita ada hantu?”. Riska memandang Dinda lekat-lekat. Dan Dinda menatapnya kosong.
Tiba- tiba terdengar suara bel yang berbunyi tiga kali. Itu berarti waktunya jam pelajaran. Riska, Nisa, dan Dinda duduk di bangku mereka untuk mengikuti pembelajaran matematika. Ketiganya hanya diam dan memikirkan hantu.
“Ya ampun, kelasnya kotor, apa tidak ada yang piket hari ini?” suara Bu Leni, guru matematika mereka terdengar sangat keras. Ia marah karena melihat banyak sampah berserakan. Semua murid hanya diam. Bu Leni berjalan ke mendekati bangku mereka. “Bu, Dinda dan Riska tidak mau piket,” kata Iza sang ketua kelas. Ia memandang Dinda dan Riska yang saat itu menunduk di bangku mereka. “Besok Riska dan Dinda saja yang piket, lainnya tidak perlu, Kalian berdua harus datang awal,”. “Tapi bu,” Riska memohon tapi Bu Leni tidak menjawab. Riska semakin menunduk karena sedih. Dinda memegang pundak Riska. “Tenang Ris, ada aku dan Nisa,” ucap Dinda menenangkan Riska. Perasaan Riska menyatu antara sedih dan takut. Ia tak dapat berbuat lebih, karena hukuman tetaplah hukuman.
Esoknya, mereka bertiga berangkat sekolah saat masih pukul enam pagi. Langit sedang mendung, kegelapan di kelas itu semakin terasa. Mereka ketakutan dan saling bergandengan sesamanya. Kelas mereka cukup luas. Karenanya Riska membagi tugas, dia menyapu lantai bagian timur ruangan, Nisa di tengah, dan Dinda barat. Perlahan mereka mengambil sapu dan mulai membersihkan kelas.
“Suara apa itu?” gumam Dinda kaget. Dinda dikejutkan suara aneh dari belakangnya seperti suara benda yang terlempar. Ia melihat ke arah benda itu. “Kalian yang lempar plastik ini ke belakangku?” tanya Dinda sedikit kesal. Lalu ia mengambil sampah plastik di belakangya. “Enggak kok, aku dari tadi di sini,” jawab Riska. “Hantu Kali,” kata Nisa lalu menelan ludahnya. “Tadi aku mendengar suara sampah plastik ini dari jendela itu,” suara Dinda menjadi serak. Bulu-bulu halus di tubuhnya seakan berdiri. “Kemarin aku juga melihat sesuatu dari jendela itu,” ucap Riska dengan cepatnya. Ia menarik kedua temannya dan mengajaknya lari. Mereka lari tergopoh-gopoh sambil berteriak minta tolong. Lagi-lagi mereka gagal piket karena hantu di jendela.
Setelah kembali masuk ke kelas. Riska mengadukan hal itu pada Bu Leni. Bu Leni justru tersenyum mendengarnya. “Kalian tahu kenapa hantu itu menakut-nakuti kalian?” jawab Bu Leni santai. “Hantu yang menghuni kelas kalian suka dengan kebersihan. Dia akan marah jika kelas ini kotor. Makanya kalian harus menjaga kebersihan kelas agar dia tidak mengganggu kalian,” sambungnya. “Benar itu bu?” tanya Iza keheranan. “Iya,” jawab Bu Leni serius.
“Teman-teman mulai hari ini kita harus menjaga kebersihan kelas, semua harus piket, agar kita tidak diganggu,” Ujar Iza tegas. Sebenarnya Iza tidak percaya, namun karena ini perintah guru, maka ia percaya. Semua murid setuju dengan perintah Iza. Mereka melaksanakan piket dengan rajin. Setiap hari seluruh murid diwajibkan berangkat pagi untuk piket bersama.
Sejak kejadian itu, kelas 5 sd Tunas Bangsa selalu tampak bersih. Ternyata perkataan Bu Leni memang benar. Tidak ada satupun dari mereka yang ditakut-takuti hantu. Malah kelas menjadi sangat rapi. Walaupun begitu, ada juga murid yang berpendapat kalau Bu Leni hanya menakut-nakuti murid agar mau piket.