Cerita Badai, Kucing di dalam derasnya hujan Kedua anak yang masih berumur sepuluh tahun itu berlari-lari mencari tempat berteduh dari guyuran hujan yang datang tiba-tiba dengan begitu derasnya. Mereka berhenti pada sebatang pohon pinus yang berdiri tegak di pinggir jalan.
“Sama saja, basah juga kalau di sini.” Kata anak yang badannya agak kecil dan pendek. “Daripada tidak ada sama sekali tempat berteduh.” Balas yang badannya jangkung.
Hujan mengguyur semakin deras disertai angin kencang yang menggoyang-goyangkan dahan pohon pinus di atas mereka sehingga membentuk suara yang menderu-deru. Mata keduanya tidak lepas memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di depan mereka. Hanya beberapa saja kendaraan roda dua lewat, sebagian dari pengendara adalah manusia nekat yang berkendara tanpa mantel, badan mereka basah, sedangkan tangan mereka menggigil di atas stang kendaraannya.
Kedua anak itu juga mulai merasakan dingin merasuk ke dalam pori-pori. Anak yang berbadan pendek mulai bereaksi terlebih dahulu. Giginya merapat keras dan sesekali terdengar giginya itu saling beradu hingga membuat si anak jangkung tertawa geli. Keduanya hanya memakai baju berlengan pendek. Si anak jangkung sedikit bersyukur karena ia memakai celana panjang, sedangkan temannya si anak pendek hanya memakai celana yang panjangnya sebatas lutut. Si anak jangkung menggosok-gosokkan lengannya sedangkan si anak pendek mulai merapatkan tubuhnya ke pohon sambil melipat kedua tangannya. Dingin memang selalu kurang bersahabat.
Hujan semakin deras saja ditambah desiran angin kencang yang semakin menyemarakkannya. “Apa kamu tahu kalau angin kencang ada hujannya bisa jadi badai, apalagi tornado, rumah pun bisa hancur dibuatnya, diputar-putarnya ke atas. Pokoknya semuanya bersih dibuatnya.” Kata anak yang berbadan jangkung. Si anak pendek tidak langsung percaya, “Ah, badai itukan cuma ada di laut…” “Mana pula…” Mata si anak jangkung mendelik. “Aku pernah nonton, kalau tidak salah di Amerika sana rumah-rumahnya hancur semuanya dibuat tornado, sapinya ikut terbang juga, warnanya putih besar, bawahnya kecil terus ujungnya besar sekali.” Si anak jangkung merentangkan tangannya lebar-lebar. “Kamu saja bisa dibawanya.” “Oi, oi, oi.” Anak pendek menghela panjang kemudian menggeleng-geleng. “Pernah dengar kan ada kapal tenggelam di laut?” Si anak jangkung mengangguk. “Badai raksasa yang buat begitu. Semua bajak laut tenggelam dibuatnya. Sayang sekali kalau harta karunnya tidak ketemu.” “Kok begitu?” “Iyalah, yang mencari harta mati semua dibuat badai.” Si anak pendek kemudian tertawa bernada mengejek. “Ah, tapi sapi kan tidak bisa diangkatnya, seperti yang ada di filmku.” “Salah kamu. Kalau badai di laut, semua ikan saja bisa diangkatnya. Hiu juga bisa. Paus besar juga bisa.” “Kalau itu…” “Sssttt…” Potong si anak pendek sambil meletakkan telunjukknya di bibir. “Apa?” “Ada suara kucing, dengar tidak?” “Tidak…” Si anak jangkung menggeleng tidak yakin karena hanya mendengar suara hujan disertai angin ribut saja.
Tidak sampai semenit suara itu terdengar kembali. Kini si anak jangkung mendengarnya. “Iya, aku dengar tapi di mana?” Anak pendek menuju ke balik pohon. “Nah ini dia.” Jawabnya menunjuk pada seekor anak kucing berwarna abu-abu. “Kasihan…” “Bawa saja.” “Nanti ibu marah.” “Kenapa kok bisa?” “Kata ibuku, aku malas bersihkan tahinya.” “Makanya jangan malas biar dibolehkan memeliharanya.” “Kamu sajalah.” “Hei, ibuku takut kucing. Kalau dekat-dekat nanti suka bersin-bersin makanya aku dimarahi kalau bawa kucing ke rumah. Bawa sajalah, nanti kucingnya mati di sini. Orangtuanya tidak ada, makanya pelihara saja.” Si anak pendek terdiam.
“Oi, jangan diam saja kasihan kucingnya. Besok jangan malas bersihin tahinya, biar tidak dimarahi ibumu kalau memelihara kucing.” “Tapi tahinya bau…” “Mana ada tahi yang wangi. Sudah pelihara saja daripada ditinggal, nanti dia mati.” “Iya, iya aku bawa.” Si anak pendek menggendong anak kucingnya. “Kasihannya.” Ia tersenyum sambil menyentuh-nyentuh hidung kucingnya yang terasa lembab.
“Hoi!” Teriak bapak tua dari seberang jalan yang mengenakan payung kuning polos. “Jangan di bawah pohon!” Teriaknya lagi. “Sambar petir kalian nanti. Pergi dari situ!” Matanya mendelik suram. Keduanya mendadak pucat ketakutan dan langsung berlari pergi. Tidak lama terdengar petir dari kejauhan. kedua anak itu menjadi ketakutan dan terus saja berlari menembus derasnya hujan. Si anak pendek makin merapatkan pelukannya pada kucing yang berada di dalam bajunya. “Tenang saja, kamu tidak akan kenapa-napa kok.” Katanya dalam hati.
“Jadi, menurutmu lebih hebat mana, badai atau petir?” Si anak pendek tidak menjawab sama sekali sampai mereka berpisah di sebuah persimpangan. “Ibuku pernah bilang, kalau dunia sama isi-isinya ini punya Tuhan.” “Oh…” Balas si anak jangkung sambil mengangguk.
Mereka pun akhirnya berpisah di simpang tiga menuju ke rumah masing-masing dalam derasnya hujan.