“Dalam hitungan ke lima, kita lari! Kau ikuti saja aku,” “Tunggu, kita lari kemana?” Tapi, temannya tidak menghiraukan. Dia hanya menghitung sampai lima, lalu mulai berlari.
Tepat sebelum sampai ke ujung jalan, sebuah mobil berhenti. Entah apa yang dilakukan oleh mobil itu, tetapi saat mobil itu melaju, Ferina sudah tidak ada. Arlina berteriak memanggil Ferina yang dalam hitungan detik sudah menghilang. Sia-sia, teriakan Arlina sama sekali tidak membantu. Orang-orang di sekitar hanya berjalan, tidak menghiraukan Arlina yang mulai putus asa. Dia berlari ke arah pos polisi yang jaraknya jauh dari tempat dia berdiri.
“Pak, tolong Pak! Teman saya diculik!” lapor Arlina saat sampai di pos polisi. Sang polisi hanya diam menatap Arlina, seakan dia adalah penganggu. “Kapan?” tanya Pak Polisi singlat. “Tadi! Baru saja! Tolong Pak!” “Buktinya?” Darah Arlina mendidih. Baru kali ini dia menemui Polisi yang tidak bereaksi saat menemukan seorang anak berumur 11 kehilangan temannya baru saja karena sebuah mobil misterius. Dengan entakan kaki kesal, Arlina keluar dari Pos Polisi. Sang Polisi hanya tersenyum licik.
Arlina bertekad mencari Ferina sendiri. Sesaat dia bingung kemana harus mencari Ferina. Tunggu.. Apa yang dikatakan Ferina tadi? “Dalam hitungan ke lima, kita lari. Ikuti saja aku.” Arlina baru menyadari, itu adalah petunjuk! Ferina menyuruhnya untuk berlari bersamanya karena dia merasa ada hal buruk terjadi. Karena tidak mau menunggu lama dengan pertanyaan dari Arlina, dia hanya mengucapkan kata singkat. Tapi, Arlina tidak ikut berlari. Jadi, bisa saja kalimat itu menjadi petunjuk baginya. Ikuti saja aku. Arlina mengulang-ulang kata itu. Hingga, dia tahu harus melakukan apa. Ikuti saja mobil itu.
Arlina langsung berlari pulang menuju rumahnya. Beruntung, di rumahnya sedang tidak ada orang. Jadi, Arlina tidak usah pusing menjawab pertanyaan dari Mama.
Sampai di rumah, dia langsung menaiki sepedanya lalu bergegas pergi untuk menyusul mobil itu. Dia tahu mobil itu sudah jauh, tetapi dia bisa mengejarnya dengan satu cara; Oli bocor milik mobil itu. Arlina tahu karena saat memperhatikan mobil itu melaju, setitik air menetes dari mobil itu. Semestinya, jejak air itu belum hilang.
“Arggh, sial! Hujan lagi! Padahal sepertinya tinggal sedikit lagi!” umpat Arlina kesal. Bagaimana tidak? Tiba-tiba hujan datang tanpa tanda tanda. Itu merupakan pertanda burum, karena jejak oli itu akan hilang karena terkena hujan. “Aah.. Bagaimana aku bisa menyelamatkan dia?” keluh Arlina. Dia mulai putus asa.
Tiba-tiba, HP milik Arlina berbunyi. Arlina melirik nama penelepon; Farlina! Hah?! Arlina langsung menjawab telepon itu. Tapi, tidak ada suara dari Farlina. Yang ada hanyalah suara deru mesin dan suara laki laki. “Bos, kita bawa anak ini kemana?” tanya laki laki itu. “Oh, ke Bandung? Waah, jauh amet, bos! Emang kenapa, harus ke Bandung segala?” tanyanya lagi. Soeertinya dia sedang menelepon. “Okelah, kita akan segera pergi ke tol. Bos tunggu aja di markas, ya,” si laki laki itu akhirnya mengakhiri ucapannya. Farlina mau dibawa ke Bandung??? Arlina harus bertindak cepat!!
“Arlina..” ucap Farlina tiba tiba, berbisik. “Iya?” tanyanya panik. “Arlina, dalam hitungan ke lima, selamatkan aku. Satu.. Dua..” ucap Farlina. “Aku akan menyelamatkanmu! Tu..tunggu, ya!” seru Arlina sambil menaiki sepeda. Tidak peduli dengan hujan, walau sekarang sudah mulai reda. “Tidak ada gunanya kau menyusulku ke Bandung. Ah, tunggu. Sepertinya aku akan melewati tenpatmu berada. Siap siaplah,” ucap Farlina.
Arlina mulai bersiap. Farlina menghitung. “Empat, lima! Aku ada di belakangmu!” seru Farlina berbisik. Arlina mematikan HP secepat kilat dan mulai mengayuh sepeda secepat mungkin. Dia berharap.. Dia bisa menyelamatkan sahabat sejatinya itu, apapun resikonya.
“Hah.. hah..” Arlina mulai ngos-ngosan. Tiba-tiba, mobil itu menepi. Berhenti tepat di depan Arlina. “Waduuu.. Ada apa nih? Jangan sampe aku pulang malah babak belur sama Farlina,” gumam Arlina ketakutan.