Zora anak yang istimewa. Dia suka tertawa dan menari. Zora belum bisa bicara. Tapi dia mengerti bahasa bunga dan tumbuhan. Zora mengerti riangnya cericip burung-burung. Lincahnya kupu-kupu. Zora selalu menyapa bunga-bunga serta rumput liar di tepi jalan. Dan ketika embun pagi jatuh di hidung mungilnya dia tergelak kegirangan. Zora selalu bermain ditemani sinar matahari pagi. Tidak terlalu kuat sehingga dia kepanasan. Hangat seperti pelukan ibu.
Pon adalah bangsa peri. Mereka kecil dan berkilauan. Manusia tidak bisa melihat mereka. Kecuali si peri mau membuat dirinya terlihat. Mereka pikir dengan begitu hidup mereka akan lebih damai. Lagipula manusia tidak percaya dengan segala sesuatu yang tidak terlihat mata.
Pon ingin sekali berteman dengan Zora. Maka setiap pagi ketika Zora dan ibu berjalan-jalan di taman, Pon terbang melayang-layang di atas mereka. Suatu hari sudut mata Zora menangkap kilauan Pon yang melayang-layang. Tahu Zora bisa melihatnya, Pon terbang kegirangan. Mereka berkejaran dengan Pon yang berkelit lincah menghindari tangkapan Zora. Ibu gopoh-gapah jauh di belakang.
Satu malam Pon terbang melayang-layang masuk ke kamar Zora. Dia bangunkan Zora dari tidurnya. “Mari ikut aku bertemu teman dan keluargaku”, ajaknya. Dibawanya Zora memasuki dunia Pon. Dunia peri. Segala sesuatu terlihat sama hanya ada di dimensi yang berbeda.
Di dunia Pon semua kelihatan begitu hidup dan berkilauan di mata Zora. Bintang-bintang terlihat lebih terang serta Bulan lebih besar dan bercahaya. Disini bahkan angin bisa bercerita. Untuk pertama kalinya Zora benar-benar bahagia. Karena semua berkomunikasi tanpa kata sama seperti dirinya. Bunga-bunga ternyata punya banyak cerita. Dan Putri Malu merunduk tersipu melihat Zora. Zora dengarkan cericip kenari yang cerewet. Dan terpukau dengan kebijaksanaan pohon akasia. Sebaliknya Zora bercerita tak putus-putusnya tentang apa saja. Harum kue buatan ibu yang baru keluar dari oven. Atau waktu itu ketika Zora dan kakaknya bermain air di kolam plastik di halaman. Mereka dengarkan cerita Zora dengan penuh perhatian.
“Sebentar lagi pagi sebaiknya kita pulang”, kata Pon. Kaki Zora berat melangkah. “Tenanglah”. Katanya lagi, “kami selalu disini dan kamu selalu bisa datang kapanpun kamu mau. Pejamkan mata dan panggil aku dalam hati, aku akan menjemputmu”.
Zora berbalik dan memejamkan mata. Ketika Zora membuka mata, dengan ajaibnya Zora telah ada di tempat tidurnya di kamarnya sendiri. Bibirnya melengkung membentuk senyuman lebar dan bahagia. Zora ingat teman-teman barunya. Tepat saat itu ibu masuk. Tertegun heran sesaat melihat paras Zora yang bahagia. “Apakah kamu mimpi indah semalam sayang?” tanya ibu. Senyum Zora semakin lebar sebagai jawabannya. Kemudian Zora bersiap-siap bersama ibu jalan pagi seperti biasanya.
Sinar matahari pagi menyapa Zora. Kicauan burung mengiringi langkahnya. Bunga dan rumput liar punya banyak cerita. Walau tidak sebanyak cerita angin yang selalu berkeliling dunia. Zora belum bisa bicara. Tapi alam menyapanya mesra. Dia mengerti mereka. Dan mereka mengerti dia. Tanpa Zora harus berkata. Cukuplah itu baginya.