Pada zaman dahulu hidup sebuah keluarga kecil di tengah hutan, mereka hidup berbahagia dengan alam. Sehari-hari diiringi dengan nyanyian angin dan burung membuat hati mereka damai dengan penuh kerukunan. Keluarga itu hidup sang ayah, ibu, nenek, kakak, Momo, dan si adik. Momo sebagai anak tengah harus membantu ayah mencari kayu di hutan setiap hari. Juga sedikit berburu dan mendatangi kampung untuk memenuhi kebutuhan keluarga ini. Momo adalah anak yang periang yang selalu penasaran, tidak jarang dia pulang larut malam karena bermain dan akhirnya dimarahi oleh ibu dan kakak perempuannya.
Seperti biasa Momo mengikuti ayahnya untuk mencari kayu bakar dan berburu di tengah hutan. Momo membawa busur dan kapak kecil di punggungnya serta sekantung anak panah yang disampirkan di pundaknya. Momo sudah belajar memanah sejak umur lima tahun, tentu saja itu berkat ayahnya dengan didikannya yang tegas. Kini Momo berusia sebelas tahun, dan kemampuan berburunya sangat mahir.
Kini pasangan ayah dan anak itu sedang menunduk di balik batang pohon yang tumbang, mereka mengintai dua buah kancil yang minum di anak sungai. “Kau lihat Momo, mari kita berlomba” kata sang Ayah. “Kali ini aku akan menang yah” kata Momo dengan semangat. “Kau mengincar yang mana?” tanya sang Ayah. “Yang paling besar!” “Baiklah, jangan sampai meleset. Itu makanan kita hari ini” Sang Ayah menepuk kepala Momo.
Dengan tenang mereka berdua menarik anak panahnya di tali busur masing-masing. Momo menajamkan matanya hingga seperti orang Cina. Dia mengincar punggung kancil itu, dengan yakin dia menarik panahnya lebih dalam dan wushhhh. Anak panah melesat dan tepat tertancap di pungung kancil yang malang itu. Perlahan lahan kedua kancil tersebut menjadi linglung karena panah yang tertancap. Kancil yang kecil terjatuh terlebih dahulu, disusul oleh kancil besar.
“YESSS!” Momo melompat dari persembunyiannya. Sementara sang ayah hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala atas tingkah anaknya yang terlalu girang. “Aku yang menang” kata Momo yang masih melompat lompat. “Baik-baik, kau semakin hebat” puji Sang Ayah.
Mereka mendekati korbannya dan mulai mengikat dua ekor kancil di sebuah tongkat yang dibawa sang ayah. Dengan mudah ayah Momo memikulnya dan mengajak momo meneruskan pekerjaan. Mereka masih belum mengumpulkan kayu bakar.
“Momo, ayah akan pulang terlebih dahulu” ujar Sang Ayah. “Yahhhh, padahal aku masih mau berburu” “Kau cari saja kayu bakar yang banyak, sebagai hadiah atas kemenanganmu. Ayah akan meminta Ibu untuk membuat kancil bakar bumbu kuning kesukaanmu” bujuk sang Ayah. “Benarkah!” Momo kecil memang mudah dibujuk. Itu yang membuatnya periang. Momo mudah teralihkan oleh hal yang lebih disukainya dan hal yang menarik perhatiannya. “Baiklah, aku akan mengumpulkan kayu yang banyak” kata Momo “Janji ya Yah” “Janji, juga jangan terlalu jauh mencarinya” Momo langsung berlari meningglakan ayahnya tanpa mendengar pesan tersebut.
Momo mencari kayu bakar di dekat sebuah telaga di hilir anak sungai yang ditemuinya tadi, sebuah telaga dengan air yang sangat jernih hingga mampu memantulkan bayangan langit biru di atasnya. Momo memunguti ranting pohon yang berserakan di tanah. Kayu kecil, kayu besar, kayu pendek, kayu panjang, kering dan basah, semuanya dipungut oleh momo. Tak terasa matahari mulai nampak diatas hutan membuat telaga bersinar semakin terang. Momo mulai merasakan perutnya keroncongan, mengisyaratkan bahwa dia harus pulang dan mengisi bahan bakarnya.
Momo lalu mengikat kayu tersebut menjadi satu, lalu membawanya seperti memakai ransel. Momo pun berbalik badan untuk pulang ke rumah, tapi. Langkahnya terhenti bahkan Momo melompat kebelakang, membuatnya kehilangan keseimbangan. Untung Momo masih berdiri. Hal itu terjadi karena Momo melihat seekor serigala uang menunggunya di balik pohon. Serigala itu mengeluarkan nafas panas seperti kelaparan. Memang saat ini adalah waktunya sarapan, tapi Momo juga tidak ingin dijadikan sebagai menu sarapan seekor serigala.
Dengan tangan bergetar, Momo meraih kapak kecil di punggungnya, mecoba mengancam serigala tersebut agar dia kabur, namun malah Momo yang mundur perlahan. Mata Momo berkaca sangking takutnya. “Mundur! Mundur!” perintah Momo sambil ketakutan.
Tanpa disangka, tiba-tiba punggung Momo bergetar. Getaran itu berasal dari ikatan kayu yang dibawanya. Semakin lama bergetar semakin keras dan kencang, membuat ikatannya lepas. Semua kayu yang susah payah dikumpulkan menjadi berhamburan. Hanya meynisakan kayu panjang yang kini melayang di udara. Hal itu membuat serigala ketakutan dan lari tunggang langgang. Momo yang melihat sebuah kayu melayang juga terkejut dan berteriak. “AAAAAaaaaaAAAAA, HANTUUU!!!” teriak Momo sangat keras. Namun Momo tidak lari, hanya tersungkur kebelakang dan membuat pantatnya kesakitan.
“Siapa kau? Menjauhlah!” Momo mengayunkan kapaknya kesegala arah. Sang tongkat masih melayang lalu mengarahkan ujungnya ke pantat Momo. Seketika pantat Momo bercahaya dan perlahan rasa sakit Momo menghilang. Momo lalu menjadi tenang dan berhenti mengayunkan kapaknya, Dia memandangi tongkat tersebut dengan bingung.
“Apa kau menolongku?” tanya Momo kecil. Tongkat itu lalu berhenti bersinar dan jatuh di tangan Momo. Momo pun menangkapnya dan membuatnya sebagai pijakan untuk berdiri.
“MOMOO, KAU TIDAK APA ANAKU?” sebuah suara yang berat terdengar dari balik hutan, itu adalah Ayah Momo. “Emmm, aku baik-baik saja” Momo melambaikan tangan. “Ya ampun, ada apa ini? semuanya berantakan” “Emm…” Momo bingung harus berkata apa, dia takut akan dimarahi. “Sukurlah kalau tidak ada yang terluka. Tapi lain kali, dengar pesan Ayah! Jangan jauh-jauh mainnya” tegur Ayahnya. “Baik Ayah” kata Momo lesu. “Kalau begitu mari kita kumpulkan kayunya, kau pasti sudah lapar kan” “Iyaaaa, aku lapar sekali Yah” balas Momo.
Mereka lalu mengumpulkan kayu yang berserakan dan mengikatnya kembali. Pekerjaan mereka selesai, kini mereka kembali pulang kerumah. Perut Momo yang semakin lapar juga berteriak semakin keras. Dalam perjalanan Momo masih teringat kejadian tadi, hal itu membuatnya melamun saat kembali ke rumah. sang ayah yang penasaran hanya mendiamkannya, masa ini adalah usia dimana anak-anak memiliki rahasianya sendiri.
Momo dan sekeluarga lalu menyantap sarapan paginya, yaitu kancil bakar bumbu kuning. Dengan nasi uduk dan sambel spesial kesukaan ayah. Keluarga kecil ini menikmati makanan sederhananya ditengah hutan yang damai, saling bercanda dan bergurau. Hanya Momo yang terdiam, padahal biasanya dia yang paling tidak bisa diam saat makan.
“Ada apa Momo, apa kau sakit?” tanya Sang Ibu sambil menyuapi Si Adik. “Ehh.. iya.. maksudku tidak” kata Momo tergagap. “Jangan melamun saat makan! Nanti nasimu hilang lohh” kata Ibunya usil. “Tidak mungkin lah Bu. Aku tidak akan percaya takhayul itu lagi” Momo lalu menjumput nasinya, tapi nasinya sudah hilang. “Apa Ibu bilang” kata sang Ibu. “Baikk Buu” jawab Momo lesu. Momo tidak tau kalau selama dia melamun nasinya diambil oleh kakaknya.
“Amii, jangan usili adikmu!” kata Ayah yang juga mengambil daging Momo. “Ehhh, mana dagingku?” protes Momo pada Ayah dan Kakak. “Salahmu sendiri melamun” bantah Sang Kakak sambil memakan nasi yang tersisa. “Huffff, gembrot baru tau rasa kamu!” hina Momo. “Awas saja. Nanti tidak akan aku masakkan lagi” “Biarin, masih ada ibu kok”
Momo kecil tak pernah kehilngan akal untuk membantah sang kakak. Itu sebabnya si kakak suka kesal dengan Momo. Dan akhirnya mereka bertengkar, seperti biasa si kakak harus mengalah dan memberikan kembali nasinya pada Momo. Sementara Momo sebagai adik harus lebih menghormati kakaknya, itu kata ibu. Sementara sang ayah masih tenang menikmati masakan istri dan anaknya tersebut.
Mereka kembali menikmati sarapanya. Momo berfikir untuk memberitahu tentang tongkat ajaib tersebut. Hanya saja bukan sekarang saatnya. Mungkin besok atau lusa atau minggu depan. Belum saatnya hingga momo mengerti semua hal tentang tongkat ajaib tersebut. Kini hari-hari Momo mulai berubah, Momo mulai sering pergi ke telaga dan bermain dengan tongkat ajaib itu. Tentu saja keluarganya tidak tahu tentang hal ini, itu anggapan Momo. Lalu, apakah ada orang lain yang tau?
Bersambung…