Sudah seminggu aku tinggal di sebuah kompleks perumahan yang berada di daerah kota Bandung. Aku dan keluargaku baru pindah di kompleks ini. Sekarang aku bersekolah di SDN. 05 BANDUNG. Aku sangat senang sekolah di situ, karena muridnya baik-baik.
“Ibu, Bima pamit ya, assalamualaikum.” ujarku ketika aku hendak pergi ke sekolah. “Waalaikumsalam, hati-hati di jalan!!!” Jawab ibuku. Akupun melangkahkan kakiku menuju sekolah.
Selang beberapa menit aku pun telah sampai di sekolah. Aku pun segera meletakkan tasku di bangku. “Hai Bima…” sapa Shelvi ke padaku dengan senyum, saat aku berteduh di bawah pohon halaman sekolah. Shelvi pun duduk di sampingku. Shelvi memegang pundakku sembari berkata, “Bima, kamu mau gak jadi sahabat aku, dalam suka dan duka kita bersama.” “Tentu saja Shelvi, dalam suka dan duka kita bersama,” jawabku dengan senyum. Kami pun menjalin kelingking kami. Kami pun bercanda riang. Jam 07.30 bel masuk berbunyi, aku dan Shelvi pun segera masuk kelas.
Jam 12.30, bel usai pelajaran berbunyi, aku pun memasukkan buku-bukuku. Aku pulang bersama Shelvi. Disaat perjalanan pulang, ada seorang menghampiri kami, ia adalah kakak kelas kami namanya Riko. Kakak Riko duduk di kelas 6, ssedangkan aku duduk di kelas 4.
“Shelvi, ini novel kemarin yang aku pinjam, terima kasih ya”, ujar kak Riko. “Oya, sama-sama kak,” jawab Shelvi ramah. Kakak Riko pun berlalu pergi pulang ke rumahnya. Setelah itu aku dan Shelvi pun melanjukan berjalan pulang. Sebenarnya kami memang tinggal satu kompleks yang sama. Kami pun telah sampai, kami pulang ke rumah masing-mmasing-masing.
Sore harinya aku bermain petak umpet bersama Shelvi dan teman-teman yang berada di sekitar kompleks. Kami pun bermain dengan bersuka ria.
Tidak terasa 1 tahun lamanya kami menjalin persahabatan. Akupun kini telah naik kelas 5. Aku dan Shelvi sering belajar bersama, kadang aku sering membaca koleksi novel Shelvi.
Selama ini, aku libur semester 1. Aku dan Shelvi di hari minggu kami akan berencana pergi ke perpustakaan.
Hari Minggu pun tiba, aku dan Shelvi pun pergi bersama ke perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan, kami pun masuk ke dalam. Dan disaat kami membaca buku bersama tiba tiba ada seorang kakak yang menghampiri kami, dan bertanya. “Hai dik nama kalian siapa?”, aku dan Shelvipun memperkenalkan diri dan menyalami tangan kakak tersebut.
“Ooo, nama kalian Bima dan Shelvi, kalo nama kakak Syifa”. Kami pun bersenyum pada kakak berkulit putih bersih itu. Kami senang karena kakak itu baik, kami diajari belajar Matematika dan pelajaran yang lain. “Kakak ini udah cantik baik lagi,” ujarku dalam hati sambil tersenyum sendiri.
“Dik Bima kok senyum sendiri,” ujar kakak Syifa membuyarkan lamunanku. “Eee… gak kak, aku liat kakak mirip bidadari”, jawabku sambil tertawa. Kakak Syifa pun tertawa. “Haa… kamu bisa aja Dik”, ujar kakak Syifa sambil tersenyum manis kepadaku dan juga Shelvi.
Hari pun telah sore, aku, Shelvi, dan kak Syifa pun pulang. Hari ini sungguh menyenangkan bisa belajar dengan kak Syifa.
Libur semester 1 telah usai, sekolah pun telah kembali normal. Akupun pergi sekolah jam 06.15. Sesampainya di sekolah aku pun duduk di kelas sambil membaca novel.
Bel masuk pun berbunyi, siswa yang lain pun segera masuk ke dalam kelas. Pak guru pun masuk ke dalam kelas dan berkata sesuatu. “Murid murid, Shelvi tidak masuk hari ini dikarenakan ia mengalami sakit jantung, dan sekarang Shelvi berada di rumah sakit.” Aku pun terperanjak, sejak kapan Shelvi mengalami sakit jantung? Akupun menangis tanpa suara, mendengar berita tersebut.
Setelah pulang sekolah akupun pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Shelvi. Sesampainya di rumah sakit aku pun bertanya pada salah satu suster yang berada di rumah sakit itu.
“Permisi suster mau numpang nanya, kamar Shelvi mana ya, saya temannya.” Suster itu pun memberi tahu kamar Shelvi berada di kamar 108. Akupun segera berlari ke kamar Shelvi.
“Shelvi… kenapa kamu bisa begini? kamu jangan tinggalkan aku, aku sahabat kamu, aku sayang kamu,” ucapaku ketika berada di kamar Shelvi sambil menangis. “Bima, kamu jangan nangis, sebenarnya aku mengalami sakit jantung ini sejak aku di kandungan, kamu jangan nangis Bima”, ucap Shelvi sambil mengusap air mataku.
“Bima aku tidak tahan lagi, ikhlaskan aku Bima”, ujar Shelvi. Detak jantung Shelvi pun telah berhenti, dan Shelvi pun telah meninggal, kini ia pun telah meninggalkan aku untuk selama-lamanya.
“Semoga kau tenang di alam sana Shelvi”, ucapku ketika berada di makam Shevi. Akupun menaburkan bunga di makam Shelvi. Aku akan selalu mengingatmu Shelvi, kaulah sahabat sejatiku.
Tamat