Kabut putih turun perlahan setelah menyelimuti sekitar. Diikuti embun pagi yang menempel di tenda-tenda siswa, membuat suasana semakin lembab. Bel nyaring terdengar dari satu-satunya tenda peleton yang berdiri kokoh di depan. Perlahan tapi pasti para siswa mulai berhamburan.
Semua orang merasa kedinginan. Lain dengan satu tenda di ujung kanan, penghuninya sesak keringatan. Mereka seperti habis berdesakan dalam bus kota. Bruno, satu-satunya siswa berbadan gempal pada rombongan kemah itu ternyata menjadi anggota tenda tersebut. Nampaknya jatah lapak tiga orang diembatnya semalam.
Semua peserta dikumpulkan di lapangan yang berada tepat di tengah lingkaran tenda. “Pagi ini kalian harus bakerjasama memasak nasi goreng untuk sarapan dengan kelompok masing-masing. Siap?!” kata Kakak Pembina kemah setelah Apel pagi. “Siap!!” kata semua siswa, kecuali mereka yang sekelompok dengan Bruno menyambutnya dengan bersungut-sungut. Mereka sudah berfirasat jatah makan mereka akan berkurang karena diembat Bruno. Lebih-lebih Bruno tidak mungkin mau membantu dan hanya akan merepotkan.
Betul saja. Ketika waktu memasak Bruno hanya merepotkan dan menjadi rakus ketika nasi goreng siap dihidangkan. Perilakunya ini ternyata menumbuhkan benih-benih dendam kesumat dalam hati teman-teman sekelompoknya. Kebetulan setelah sarapan akan dilakukan tracking ke puncak gunung. Diam-diam setiap otak teman-teman Bruno menyimpan ide untuk balas dendam. Tetapi setiap dari mereka tidak mengetahui bahwa mereka sama-sama ingin membalaskan dendam.
“Baik anak-anak, apakah semuanya sudah mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa untuk tracking?” “Sudah Kak!”
Barisan siswa tersusun rapih melintang dari utara ke selatan. Tas tenteng kecil digenggam masing-masing siswa, menandakan mereka siap untuk perjalanan tracking pagi ini. Hanya dua tempat dalam barisan yang masih kosong. Dari kejauhan terlihat bayangan besar berjalan kesusahan. Tentu saja itu Bruno yang terpogoh-pogoh membawa badannya. Dia langsung berbaris dan menutupi kekosongan dua tempat itu. Pembina kemah pun tidak menyadari bahwa masih ada satu tempat kosong karena tertutup badan Bruno.
Sedangkan di balik tenda, Ulir tertawa kecil seperti sedang memenangkan perlombaan. Namun, terdengar sedikit mengerikan. Dia menatap tajam Bruno disana. Wajahnya terlihat puas. Ternyata dia berhasil mengambil dan membuang botol minum Bruno. Agar Bruno sengsara mendaki tanpa minum.
“Baik anak-anak, di sebelah kanan kalian adalah kebun pisang,” kata kakak Pembina sambil mengarahkan telunjuknya ke lahan di sebelah kanan. Mereka melewati beberapa rumah warga yang terpencil sebelum benar-benar sampai di hutan. “Wah.. kebunnya punya siapa Kak?” tanya seorang siswa. “Ini milik warga. Dilihat saja ya.. ini bukan milik kita.” “Siapp kak!” seru semua siswa.
Ketika semua orang agak jauh di depan, diam-diam Bruno memetik pisang-pisan di kebun warga tersebut. Dia mengacuhkan perintah kakak Pembina dan memenuhi kerakusannya. Dadang, teman sekelompok Bruno melihat hal tersebut dan menasihatinya. Namun Bruno malah marah-marah kepadanya.
Perjalanan terus berlanjut. Mereka semakin mendaki, menyusuri jalan yang miringnya 70 derajat. Hanya Bruno yang kewalahan menanjak karena faktor tubuhnya itu. Kakak Pembina memberikan Bruno tongkat untuk menopang badannya agar lebih mudah berjalan. Dari belakang, Dadang yang kesal akan perbuatan Bruno sebelumnya, mengambil ancang-ancang untuk menjatuhkan tongkat Bruno agar dia tergelincir. Diam-diam dia telah menyiapkan kulit pisang bekas makan Bruno tadi. HAP. Kulit pisang dilempar tepat sebelum tongkat Bruno menyentuh tanah dengan ketukan seiring langkahnya. Tongkat Bruno jatuh tepat diatas kulit pisan itu. Sontak Bruno tergelincir dan terjatuh kearah belakang. Sungguh bukan nasib yang baik, Dadang, Dimas, Raden dan Ulir-teman-teman sekelompoknya, harus menerima beban badan Bruno. Mereka semua samakin kesal. Sedangkan Bruno baik-baik saja karena terjatuh degan posisi yang aman.
“Teman-teman, kalian sebal tidak sih dengan si Bruno?” kata Raden berbisik-bisik di tengah perjalanan menuju puncak gunung. “Sangat sebal…” kompak teman-teman sekelompoknya. “Aku sebenarnya sudah mengambil botol minumnya tadi. Tetapi dia sejak tadi malah tidak kehausan.” kata Ulir mengaku. “Wah aku tadi juga sudah mencoba menggelincirkan dia di jalan yang menanjak. Tetapi dia malah baik-baik saja dan menimpa kita semua.” sahut Dadang. “Kalau aku sudah berencana untuk mengerjainya. Tetapi aku belum menemukan waktu yang tepat.” sesal Dimas sambil memanyunkan bibir kedepan.
Keempatnya merasa antara terkejut dan senang karena tahu teman sekelompoknya ternyata juga merasakan hal yang sama. Raden pun mengajukan ide agar membuat Bruno tersesat di jalan. Teman-temannya setuju dan saling bekerjasama.
Semua siswa telah menikmati pemandangan di puncak gunung. Sekarang adalah saatnya untuk turun dan kembali ke perkemahan.
Seperti yang telah direncanakan, Dadang, Dimas, Raden dan Ulir mulai menjalankan misinya. Mereka sengaja tidak makan bekal masing-masing ketika di puncak dan mengumpulkannya. Mereka tuhu di dalam pikiran Bruno hanya ada makanan.
Ketika perjalanan pulang, kebetulan mereka melihat sebuah gubuk bambu di sebuah persimpangan, cepat-cepat mereka meletakkan makanan tersebut sebelum Bruno sadar. Bruno yang berjalan paling belakang dari rombongan langsung terjegat karena teman-temanya itu berhenti. Mereka berempat sengaja menarik perhatian Bruno.
“Eh, lihat itu teman-teman! Banyak sekali ya makanannya.” “Ah paling itu punya warga yang sedang bekerja di kebun dekat sini.” “Iya, mungkin itu milik warga disini.” “Itu pasti milik mereka. Kita tidak boleh mengambilnya.”
Wajah Bruno berbinar-binar. Di dalam pikirannya memang hanya ada makanan. Tidak peduli siapapun pemiliknya, yang penting enak. Teman-temannya melanjutkan perjalanan. Sedangkan, Bruno terdiam menatap makanan itu dengan wajah rakus. Tak sadar dia tertinggal rombogan di persimpangan. Setelah beberapa detik terdiam, dia mengambil dan memakan satu persatu makanan di gubuk itu dengan lahap.
“Wahh kenyangnya.. ah aku mau lanjut jalan lagi. Siapa tahu di perkemahan ada makan siang yang enak.” kata Bruno setelah kenyang dengan makanannya. Namun, dia salah mengambil jalan di persimpangan. Dengan percaya diri dia terus berjalan tanpa berpikir apa pun.
—
“Cepat beri tahu Kakak dimana Bruno! Kalian teman sekelompoknya kan?!” tegas Kakak Pembina kepada Dadang, Dimas, Raden dan Ulir dengan nada agak tinggi. Ternyata ada pemeriksaan kelengkapan anggota setelah sampai di perkemahan. “S-Se Sebenarnya, kami membuat Bruno tersesat.” Kata Raden. Kakak Pembina terkejut, “Apa? Kenapa kalian melakukan itu?” “Habis dia sangat menyebalkan Kak!” sahut Dadang. “Baiklah, tetapi seharusnya kalian berterus terang saja kepada Bruno agar dia tahu dan memperbaiki perilakunya. Kalian ini kan kelompok. Lagi pula mengerjai orang lain seperti itu tidak baik bukan? Kakak harap kalian mengerti dan sadar akan hal itu.” “Iya Kak, maafkan kami.” Jawab mereka dengan wajah bersalah. Seharusnya mereka tidak melakukan hal itu. “Kalau Begitu kakak akan mencari Bruno. Kalian tunggu disini dan minta maaflah kepadanya nanti.”
Bruno akhirnya ditemukan dan dibawa kembali ke perkemahan. Ternyata dia tidak tahu kalau sedang dikerjai teman-temannya. Dadang, Dimas, Raden dan Ulir pun akhirnya meminta maaf kepada Bruno dan mengakui kesalahan mereka. “Maafkan kami ya Bruno. Seharusnya kami tidak mengerjai kamu karena tidak suka dengan sikapmu.” “Iya betul. Harusnya kami bilang saja dengan terus terang. Kami sadar apa yang kami lakukan kepadamu tidak baik.” “Nah begitu dong anak-anak” kata Kakak Pembina mengacungkan jempol sambil tersenyum tiga jari. Dia langsung meninggalkan mereka berlima setelahnya, mengira bahwa keadaan telah baik-baik saja.
Namun ketika dia pergi, “Hahaha.. aku ini memang hebat. Siapa pun tidak akan bisa mencelakaiku.” Kata Bruno sambil membusungkan badan dan menepuk-nepuk dadanya dengan tangan terkepal. Bukannya bersyukur karena terhindar dari kejahilan teman-temannya, Dia malah menyombongkan diri.
Teman-temannya pergi ke lapangan dan mengacuhkannya walau dengan perasaan sedikit kesal. Mereka sudah tobat dan tidak ingin berurusan lagi dengan Bruno. Sepertinya memang sifatnya itu tidak bisa diubah. Hanya mukjizat yang dapat menyadarkannya.
Tiba-tiba badan gempal Bruno sempoyongan. Kepalanya berkunang-kunang. Apakah ini sudah saatnya mukjizat datang untuk menyadarkannya? Bruno tersadar bahwa sejak tadi tidak setetes air pun membasahi tenggorokannya. Sekarang tubuhnya mulai merasakan efek kemarau berkepanjangan ini. Dia menjatuhkan diri ke dalam tenda, meraup-raup semua barang di dalamnya. Dia tidak menemukan botol minumnya. Sekarang tenda benar-benar seperti kapal pecah. Namun, setelah beberapa saat tangannya meraih sesuatu berbentuk botol kecil. Dia mengocok botol untuk mengecek apakah ada air di dalamnya, indra penglihatannya sudah tidak berfungsi saat ini. Tanpa basa basi dia membuka tutup botol itu dan langsung menenggak semua isi di dalamnya, “Glek glek glek, ahh..”
Beberapa saat dia terdiam, memproses apa yang terjadi. Mengapa rasa airnya seperti permen mint? Tenggorokannya mulai panas. Perutnya mulai meronta-ronta. Air macam apa yang dia minum, batinnya. Sekarang matanya benar-benar akan terpejam. Kepalanya semakin berkunang-kunang. Dia tepar terkejang-kejang. Mulutnya mengeluarkan busa.
“H-HA HAH.. BRUNO, KAMU KENAPA?” Ulir terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Dia sengaja kembali ke tenda untuk mengambil tongkat yang akan dipakai untuk permainan selanjutnya. Dia melihat keadaan tenda telah porak-poranda dengan tubuh terkejang-kejang Bruno di tengahnya. Apakah ada orang jahat yang datang untuk mencuri kemudian meracuni Bruno saat dia pergi? Ulir berlarian ke lapangan seperti habis melihat setan, memanggil teman-temannya dan kakak Pembina, “TEMAN-TEMAN, KAKAK PEMBINA! B-BRUNO!!”
Tubuh Bruno diangkat delapan orang dengan tandu ke atas truk loreng-loreng khas tentara. Sopir truk tak ragu-ragu menancap gas, menembus jalan gunung yang tidak simetris dan penuh lubang. Hampir-hampir kepala para penumpang bertubrukan karena guncangannya. Bruno dibawa ke rumah sakit terdekat di kaki gunung.
Setelah setengah jam perjalanan, mereka sampai di rumah sakit terdekat. “Dokter, sebenarnya apa yang terjadi dengan anak ini?” kata kakak Pembina khawatir. “Dia over dosis. Dia sepertinya telah meminum obat batuk atau semacamnya dalam jumlah yang besar” “Lalu bagaimana keadaannya sekarang?” “Anak ini sangat kuat. Dia masih selamat. Tapi tolong beri tahu dia untuk tidak makan selain bubur selama satu bulan. Juga jangan beri bumbu apa pun ke dalamnya untuk menetralkan lambungnya.” “Baik Do-” “A-a apa?! Hanya boleh makan bubur hambar selama satu bulan?!! T-TI TIDA-!” tiba-tiba Bruno siuman dan memotong pembicaraan. Dia pingsan lagi setelah itu karena shock dengan apa yang dikatakan pak Dokter barusan. Tidak ada makanan enak selama sebulan. Begitulah balasan atas kerakusan dan kesombongannya.