Niu bergerak ke arah laut, jejak kakinya menghiasi pasir putih. Pity terkesima melihat betapa bersemangatnya dia, sampai-sampai dia tak menoleh untuk kembali menatap Pity. Dan akhirnya ketika Niu telah mencapai bibir pantai, ombak besar menyambutnya, mengantarnya ke kehidupan bawah laut yang menakjubkan. Tepat saat matahari sepenuhnya tenggelam. Kini, bulan sabit yang bersinar keperakan menggantikan mentari, sementara baru satu-dua bintang yang menampakkan diri.
Pity masih termenung. Dalam diam dia memahami ucapan Niu yang ada benarnya. Niu tidak hanya membakar amarahnya, tapi juga mengingatkannya untuk kembali… Laut tetap saja rumahnya.
Perlahan, si kepiting berjalan menuju tepi laut, melintasi pasir yang menggelitik kakinya. Semakin jauh… Sesaat dia ragu sebelum capitnya menyentuh air. Kebetulan tak ada ombak, sehingga air laut tampak seperti cermin biru dengan cahaya bulan yang membias. Dia mendekat, lalu menunduk menatap bayangannya sendiri. Raut mukanya muram saat melihat selaput putih tipis pada bekas capit kanannya.
Tidak. Hanya memiliki satu capit tak menyurutkan tekadnya untuk melaut. Dia bersiap memulai petualangannya ketika ombak menjemputnya. Namun, BRUKK! “Niu?” Ini kedua kali si penyu menubruknya, tapi Niu tak berkata apapun. Niu segera menyingkir dari Pity dan berjalan menuju pohon kelapa terdekat. Pity menyusulnya. “Tunggu, Niu! Dengar, aku mengerti sekarang. Aku memahami ucapanmu-”
Niu melewati akar serabut pohon kelapa, dan bergegas ke balik pohonnya, menerobos semak-semak. “Kau marah denganku?” Pity bertanya sembari ikut menelusup semak, yang ditumbuhi tanaman-tanaman liar. Niu berhenti, lalu menggali pasir sampai cukup dalam dengan kaki belakangnya. Di sana, si penyu bertelur. Pity melihat benda bulat putih yang berjumlah ratusan itu terkumpul berdesakan dalam lubang. Dan Niu tampaknya tak menyadari kalau ada kepiting merah yang menatapnya terharu.
Di mana Niu? Semalam dia bertelur dan akhirnya kembali ke laut dengan tubuh letih. Setelah itu, Pity tidak bertemu dengannya malam ini, ataupun pada malam berikutnya lagi.
Pada malam ketiga setelah Niu menghilang, Pity melewatkan waktu mencari biola kecilnya yang juga terkubur pasir pantai. Dia menggali lubang di sana-sini, berjalan kesana kemari, demi sebuah biola yang sudah lama tak dimainkannya. Dia melanjutkan pencarian di pesisir pantai, mengeruknya dengan sabar, sampai tampak kilatan biola coklat dan sebuah stik bow panjang. Dengan gembira ditariknya kedua benda itu, satu per satu.
Bunyi keresek pelan membuatnya menoleh. Ketakutan menderanya lagi ketika terlihat sesosok putih yang muncul dari semak-semak di kejauhan. Mungkinkah ini ancaman bahaya yang pertama baginya di daratan? Dia memeluk biola dan bownya erat-erat. Dan sosok itu semakin mendekatinya. Pity melihat garis bentuk paruh kuning. Seekor burung pelikan yang paruhnya seperti terikat tapi hitam. Sambil melangkah, si burung mencoba melepas tali itu, yang ternyata sampah plastik.
Ketika si burung tiba di hadapannya, Pity terkejut, “BONG!” Burung itu mengangguk. Dia akhirnya kembali berjumpa temannya, si kepiting. Bong duduk mendekam di depan Pity. Si kepiting meletakkan benda yang dibawanya di atas pasir, kemudian dia memotong lilitan plastik pada paruh Bong dengan capitnya. Plastik itu terkoyak dengan cepat dan membebaskan si burung pelikan. “Terima kasih, Pity.” “Sama-sama, Bong. Bagaimana benda itu bisa mengikat paruhmu?” “Saat itu aku sedang menyasar ikan yang berenang dekat permukaan laut. Ketika aku bersiap menyambarnya, dia berenang makin cepat, dan aku mengikutinya. Tapi dia berhasil lolos dan aku tak melihat ada plastik yang mengambang di depanku. Akhirnya…” Bong mengatupkan paruhnya yang berkantong seakan terikat plastik. Pity mengangguk. “Pantai tempatku tinggal telah tercemar, Kawan. Banyak sekali sampah di sana, begitupun pelabuhannya,” lanjut Bong. “Aku ikut prihatin. Padahal sesungguhnya laut adalah kehidupan bagiku dan bagimu juga. Kalau air laut tercemar, kita bisa kesulitan. Di mana lagi mencari udang kecil untukku dan ikan untukmu? Kusadari betapa berartinya laut, sama berartinya seperti ikatan persahabatan kita. Aku, kau, dan… Niu.” Bong menunduk. Pity melihat bulu putihnya melambai halus terkena semilir angin. Sunyi sejenak.
“Bong?” Si burung menatap bekas capit kanan Pity, “Sebelah capitmu putus, kan? Karena hiu putih yang nyaris menyambar nyawamu.” “Ba- bagaimana kau tahu?” Bong berkata lirih, “Niu yang memberitahuku.” “Di mana dia sekarang? Aku mencarinya sejak kemarin setelah dia bertelur,” kata Pity bersemangat. Mata Bong berkaca-kaca. “Dia telah bertelur, Pity?” “Benar.” Bong menangis semakin deras, dan berkata tersendat-sendat, “Ni… u su… dah m… mati.” Senyum Pity lenyap, “Tak mungkin! Aku tak bisa percaya! Bong, kalau kau bertemu dia, kenapa tidak mengajaknya ke sini?”
Bong menarik nafas. Dia bercerita tentang Niu yang terdampar di pantai lain dua hari yang lalu. Tentang keheranannya karena menemukan sebuah karet balon dalam mulut Niu yang terbuka. Si burung menangis sebab Niu pasti mengira kalau karet balon itu ubur-ubur. Dan dia berusaha mengeluarkan balon dari si penyu, namun terlambat, dan nyawanya melayang. Pity terdiam. Untuk sementara yang terdengar hanyalah suara debur ombak. Percikan air asin menghujani tubuh si kepiting dan burung pelikan.
“Tak kusangka… Niu pergi secepat ini,” ucap Pity sedih. “Bahkan aku belum sempat membalas kebaikannya sebab menyelamatkanku.” “Aku tahu, Kawan. Dan aku juga kasihan pada telur-telur Niu. Siapa yang akan menjaganya?” “Aku yang akan menjaga dan melindunginya, seperti ketika dia menjaga telurku. Dan ini juga caraku berbuat baik padanyapadanya,” kata Pity mantap, walaupun air matanya berlinang. “Kalau begitu, aku akan membantumu, Pity. Tak ada lagi yang kita punyai, karena teman kita sudah pergi. Namun ingat, kita masih saling memiliki.” Pity memeluk bulu-bulu Bong yang putih.
“Terima kasih, Kawan,” ucap Pity sungguh-sungguh seraya melepas Bong. Dia berjalan menyamping mengambil stik bow. Dimainkannya biola itu meskipun tak bisa memegangnya dengan sempurna, namun alunan merdunya tetap sama. Dia bernyanyi, “Ingatkah engkau kepada batu karang padang lamun Yang merindukanmu kembali ke laut Ingatkah engkau kepada debur ombak bergelombang Yang ‘kan memanggilmu pulang.”