Pada zaman dahulu kala sapi dan kerbau adalah dua hewan yang bersahabat. Kala itu wajah sapi dan kerbau sangat mirip. Mereka sama-sama kuat karena badan mereka besar dan kokoh. Tetapi, kedua hewan itu sebenarnya berbeda sifat dan watak. Sapi lebih pintar dari pada kerbau. Sapi juga pilih-pilih makanan, sedangkan kerbau mau makan rumput apa saja sehingga tubuhnya lebih gemuk dan besar daripada sapi. Kerbau berbulu putih bersih dan tebal, sedangkan sapi berbulu abu-abu dan tipis.
“Sapi, kau besok mendapat tugas apa?” tanya kerbau. “Aku besok akan menarik cikar juragan ke kota.” Jawab sapi “Kamu?” tanya sapi. “Aku membajak sawah.” jawab kerbau. “Tapi, omong-omong kota itu bagaimana?” “Kota itu ramai. Banyak lalu-lalang kendaraan. Banyak rumah bagus-bagus.” “Aku ingin melihat-lihat kota.” “Apa? Baiklah aku ada akal agar kau bisa pergi ke kota.” “Bagaimana caranya?” “Kita bertukar pakaian. Bagaimana?” “Bajuku apa enggak terlalu besar buatmu, Sapi?” “Enggak apa-apa. Wong cuma sehari saja kan?” “Baiklah kalau begitu.”
Malam itu mereka sepakat saling bertukar peran dan pakaian. Sapi memakai baju kerbau yang putih dan tebal sementara kerbau memakai baju milik sapi yang tipis dan berwarna abu-abu. Kerbau menarik pedati ke kota sedangkan sapi membajak sawah. Kerbau merasa sangat senang hatinya bisa tahu kota. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan juragan pemilik kedua hewan tersebut.
“Setelah tugas selesai, segera kembalikan bajuku.” kata kerbau. “Iya, jangan kuatir.”
Keesokan harinya, saat ayam berkokok yang menandakan pagi telah datang, juragan sudah menyiapkan pedati dan isinya yang akan dijual di kota. Kemudian kerbau dipasang untuk menarik pedati itu. Hari itu pedati cukup berat karena banyaknya dagangan yang dijual ke kota.
“Ayo berangkat. Semoga daganganku cepat laku. Nanti kamu tak kasih jamu.” kata juragan seperti berbicara dengan dirinya sendiri. Kerbau jadi tahu ternyata sapi mendapat keistimewaan minum jamu setelah dari kota. Padahal membajak sawah tak kalah beratnya. Panas di sawah sama sekali tidak ada tempat berteduh. Maka nanti setelah dari kota ia akan bermalas-malasan supaya mendapat jamu juga.
Perjalanan ke kota hari itu ramai sekali. Kerbau merasa bingung dengan keramaian kendaraan sehingga laju pedati tidak stabil. Juragan kesal dengan ulah ini sehingga kerbau beberapa kali dicambuk. “Aduuh. Sakit sekali” keluhnya dalam hati. Dengan susah payah ia dapat menarik pedati itu sampai ke pasar di kota. Setelah dagangan terjual, pulangnya terasa ringan. Pada saat pulang itulah juragan membelikan jamu yang langsung diminumkan kepadanya. Rasanya manis, pahit, asam, dan amis. Tapi badannya menjadi segar. Sementara itu, sapi yang bertugas membajak sawah juga sudah pulang. Ia merasa kapok bertukar peran dengan kerbau. Sawah sungguh panas sekali. Tapi, menarik bajak memang lebih ringan daripada pedati dengan muatan penuh.
“Bagaimana? Senang sudah tahu kota?” “Enggak. Kota itu membuatku bingung. Jalannya keras dan panas. Lebih enak di desa.” “Mana bajuku kembalikan.” “Sebentarlah. Aku suka bajumu itu.” “Sapi… jangan ingkar janji.” “Emangnya gue pikirin. Dasar bodoh.”
Dari hari ke hari sapi enggan mengembalikan baju milik kerbau dan terus memakainya sampai melekat erat di tubuhnya meskipun kebesaran. Begitu pula kerbau tak bisa berbuat apa-apa ketika ditipu sapi dengan bajunya yang tipis dan kekecilan. Oleh sebab itu, sekarang bulu sapi putih bersih dan di bagian leher menggelantung kulit karena kebesaran, sedangkan kerbau terlihat ketat bulunya karena bajunya kekecilan. Sejak itu pula sapi dan kerbau tak pernah bertegur sapa. Kerbau menyesali kebodohannya sehingga mudah ditipu oleh sapi.