“Kenapa kita harus berpindah terus?” tanyaku. “Makanan dan lingkungan di sini lebih oke, Felix,” jawab Ibu sembari merapikan rumah baru kami. “Ancaman hewan lain juga lebih sedikit di tempat ini.” “Ya, begitulah jawaban Ibu seterusnya,” kataku menghela napas, berjalan memasuki kamarku, ingin melihat-lihat. “Ah, aku tak suka kamar ini.”
“Kita ini bukan komodo yang hanya stay di satu tempat sejak lahir sampai mati,” ucap Ibu. “Tapi, ini perpindahan kita yang terakhir. Ibu dan Ayah berjanji kita takkan pindah lagi. Jadi sudah, terima saja.” Aku hanya bisa diam, tak menjawab apa-apa lagi. Aku berusaha melepaskan tas daun yang menempel di punggungku, tapi benda sial ini malah nyangkut di duriku.
Ini yang tak kusuka jika berpindah tempat. Bahkan untuk membawa tas saja adalah sebuah keruwetan. Tas daun ini akan menempel di punggungku yang dipenuhi duri, sekalinya bisa dilepaskan pun, pasti tas itu sudah hancur.
Namaku Felix. Aku adalah seekor landak mungil yang masih duduk di sekolah menengah pertama. Aku sudah sering sekali berpindah-pindah, karena menurutku, ayah dan ibuku tak pernah puas hanya di satu tempat. Bukankah jika kita terus mencari, kita takkan pernah mendapatkan yang sempurna?
Artian ‘tak pernah puas’ maksudku adalah ayah dan ibuku selalu mencari tempat yang memiliki banyak makanan dan mudah didapatkan, lingkungannya lebih aman, serta ancaman hewan lain yang lebih sedikit. Jika ‘tempat aman’ yang mereka cari, bukankah itu hanya harapan semu? Lagipula, apa gunanya polwan jika kita harus melindungi diri sendiri? Polwan? Maksudnya, polisi hewan.
Meskipun rumah ini lebih bagus daripada rumah kami sebelumnya, kamar ini lebih luas daripada kamarku sebelumnya, tapi aku tetap merasa tak nyaman. Belum lagi, jika memikirkan aku harus bagaimana pada hari pertama di sekolah baru, besok.
Mencari teman itu tak gampang. Jangankan untuk mencari teman, untuk mencari orang yang mau diajak berbicara saja susah, bagiku. Maksudku, yah, aku ini seekor landak. Meskipun rupaku imut, tapi, hewan-hewan lain tak mau dekat denganku karena takut duriku menyakiti mereka. Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan tatapan takut dari mereka. Itulah kenapa, aku benci beradaptasi kembali, jika aku berada di tempat baru.
Bayangkan, jika kau harus melihat tatapan itu lagi, mencoba mendekatkan diri lagi, ditolak lagi, lalu sakit hati lagi. Bukankah itu melelahkan?
Hari pertamaku di sekolah sesuai dengan prediksiku. Aku duduk di kursi paling belakang dan tak ada yang mau mendekat padaku. Aku tau posisiku, itulah kenapa aku juga enggan memulai obrolan duluan. Aku takut mereka risih jika kudekati.
“Hei.” Aku menoleh ke sumber suara, mendapati seekor quokka tersenyum ke arahku dan seekor… ah, hewan apa itu? Kalajengking? Yah, sepertinya bukan karena tersenyum, tapi wajahnya memang begitu. Bukankah quokka dinobatkan sebagai hewan paling bahagia di muka bumi ini?
“Ada apa?” tanyaku, ragu. Dia diam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. “Namaku Boba.” Aku mengernyitkan dahi. “Boba?” “Ya, Boba. Namamu siapa?” “Aku Felix,” jawabku. “Tunggu sebentar. Kenapa namamu Boba? Ibumu mengidam boba ketika kau di perutnya? Atau kedua orangtuamu bertemu di sebuah kedai boba?” “Yah, itu tak penting. Namamu keren juga untuk seekor hewan,” kata Boba, tak mengindahkan bacotanku. “Dan kenalkan, ini sepupuku, Jack.” Hewan seperti kalajengking itu mengulurkan tangannya padaku, menatapku datar. “Sepupu? Kalian bahkan tak sebangsa,” kataku, bingung. “Hei, maaf jika menyinggung, tapi kau ini kalajengking atau apa?” tanyaku kepada Jack. “Dia ini lobster pohon. Kau mungkin belum pernah bertemu lobster pohon sebelumnya.” “Lobster?” tanyaku, semakin bingung.
Lobster di tempatku yang sebelumnya adalah seekor petinju terkenal dengan otot yang besar. Yah… sejak bertemu Jack beberapa detik yang lalu ini, aku jadi memiliki kepercayaan diri untuk berada setingkat di atas bangsa lobster.
“Yah, dia ini memang pendiam, tapi sebenarnya dia peduli sesama hewan,” ucap Boba merangkul Jack dari samping.
Aku tak mengerti kenapa, sejak itu, Boba dan Jack selalu mencoba untuk mendekatiku, meskipun aku kerap mencoba untuk menghindar, karena aku sadar diri, takut duriku mengenai dan menyakiti mereka.
Boba bercerita mengenai banyak sekali mengenai anak-anak di kelas. Yah, kuakui, banyak hewan yang belum pernah kutemui sebelumnya di tempat baru ini, bahkan tampak aneh bagiku, terutama hewan-hewan dari kelas air, seperti gurita dumbo, lobster galaksi, blopfish, ikan pink bertangan, dan lain-lain.
Hal yang paling pertama kupikirkan ketika melihat gurita dumbo adalah apakah ayahnya gurita dan ibunya gajah, ya? Lalu, lobster galaksi juga membuatku sedikit kaget. Kupikir, lobster itu ya hanya lobster besar, galak, yang biasanya masuk list hewan hilang karena diburu oleh manusia untuk dimakan. Namun, ternyata, ada banyak sekali jenis lobster.
Kuakui, kepercayaan diriku mendadak naik ketika aku melihat lobster buluk seperti Jack, tapi kepercayaan diriku menciut kembali ketika aku melihat lobster galaksi yang keren dan menjadi primadona di sekolah ini.
Sebenarnya, kalau blopfish, aku sudah pernah dengar. Namun, aku tak menyangka wajahnya bisa selucu itu. Aku bahkan kesulitan menahan tawa jika berpapasan dengannya ketika berkunjung ke kelas air untuk observasi.
Hal lucu lainnya juga ada di hewan yang bernama semut panda. Jadi, dia masuk bangsa semut atau panda, ya?
Aku, Boba, dan Jack mulai berteman, peduli satu sama lain, dan tertawa bersama. Akhirnya kutemukan hewan-hewan baik yang mau menerimaku apa adanya dan tak takut kepadaku, kupikir begitu.
Namun, semua itu mendadak runtuh ketika kami bermain di tepi laut dan aku tak sengaja meniban tubuh Jack dengan duriku. Aku sangat panik karena Jack sudah menangis kesakitan, ditambah Boba yang wajahnya selalu tampak berseri, mendadak panik dan memasang ekspresi sedih ketika melihat Jack kesakitan.
Meskipun aku hanya diam di tempat, tapi tentu saja aku ikut sedih. Hal yang kutakutkan datang kembali, aku tak ingin menyakiti hewan lain dengan duriku. Harusnya aku sadar, tidak bisa berjalan beriringan dan berdekatan dengan mereka saja sudah menjadi bendera merah sejak awal.
Jack tak datang ke sekolah selama tiga hari, karena sakit. Aku jadi semakin bersalah dan mencoba menarik diri dari mereka, meskipun Boba bilang, itu bukan kesalahanku. Aku menyendiri lagi, mencoba menghindari mereka.
Suatu malam, ketika aku tengah menonton TV, menonton sinetron Cat In Love di ruang tengah, aku mendengar bel berbunyi dan membuka pintu tersebut. Awalnya aku sedikit kesal, karena moodku juga sedang tak baik karena antagonis di sinetron yang kutonton.
Dasar menyebalkan kau, Miska.
Betapa kagetnya aku ketika melihat Boba dan Jack ada di hadapanku, membawa sebuah buku. “Ada apa?” tanyaku. “Bukankah terlalu malam jika ingin berkunjung? Di luar sangat dingin.” “Boleh kami masuk?” tanya Jack. Jika saja bukan karena tak tega meninggalkan mereka berdua di luar pada malam yang dingin ini, mungkin aku takkan memperbolehkan mereka mendekatiku lagi.
“Aku minta maaf,” ujar Jack. “Hah? Kenapa?” tanyaku, bingung. “Aku yang harus meminta maaf, Jack. Kau tak salah.” “Aku minta maaf karena membuatmu merasa bersalah dan sedih. Kuberitahu, waktu itu bukan kesalahanmu, Felix,” kata Jack. “Jadi, kuharap, kita masih bisa berteman.”
Aku terdiam sejenak. Rasanya, aku ingin menangis. Bagaimana mungkin dia bisa meminta maaf padahal aku yang menyakitinya?
“Bukankah kalian sudah lama berteman?” tanyaku, dengan nada rendah. “Seharusnya jika tak ada aku, maka tak apa-apa, kan?” “Semuanya takkan sama lagi, karena lebih menyenangkan jika ada kau di samping kami berdua,” kata Boba. “Aku tak mau menyakiti kalian lagi.”
Boba dan Jack saling pandang, diam sejenak. Hening.
“Baiklah, kalau tak ada yang perlu dibicarakan lagi, lebih baik kalian?” “Semua orang punya karakteristik masing-masing, bukankah begitu?” potong Boba. “Seperti sigung yang bau, kura-kura yang lambat, bintang laut yang lelet, kucing yang malas, dan panda yang hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup. Bukankah menjadi teman mereka akan menyusahkan? Namun, jika aku salah satu dari mereka, apakah kau tega meninggalkanku?”
Aku terdiam sejenak. “Tidak.”
“Kadang, ada hal yang harus kita coba mengerti di dunia ini,” ucap Boba. “Mengenai bagaimana naturalnya seseorang. Jika kau berduri dan aku ingin tetap berteman denganmu, itu artinya aku harus mengerti akan hal itu.” “Lagipula, semua makhluk bumi ini punya ‘duri’ masing-masing,” tambah Jack. “Menurutmu, apakah kebanyakan manusia membenci mawar yang berduri atau justru memilih untuk memaklumi karakteristik mawar itu sendiri?”
“Aku tak ingin menyakiti kalian berdua dengan duri sialan ini,” kataku. “Mungkin, kalian bilang, kalian akan terus mencoba mengerti aku, tapi bukankah itu melelahkan?”
Jack meletakkan buku yang daritadi dia bawa di punggungnya, di atas meja bundar di hadapan kami, lalu membuka halaman dari buku tersebut. “Ini adalah jaket busa yang akan kita rancang bersama,” ucap Boba, tersenyum. “Untukmu.” “Jaket busa?” tanyaku, tak mengerti.
“Alih-alih sebuah kekurangan, durimu itu keren, Felix. Namun, jika kau tetap khawatir duri itu akan menyakiti kami lagi, maka kita harus bekerja sama membuat jaket busa untuk menutupi duri-duri itu, ketika kita sedang bermain bersama,” tambah Boba. “Kau tau, jika jalan A dan B gagal, masih ada jalan C untuk mewujudkan sesuatu. Bukankah jaket busa ini adalah jalan C itu?”
Aku menangis, meskipun tertawa. Aku senang sekali.
“Aku berjanji akan memeluk kalian erat jika jaket busa itu sudah selesai.”