Di sebuah padang rumput di Afrika hiduplah sepasang keluarga wildebis yang memiliki anak yang baru berumur satu bulan. Anak itu diberi nama orangtuanya Bison. Bison tumbuh dengan baik di bawah asuhan kedua orangtuanya dan keluarga-keluarga wildebis lainnya yang hidup rukun di padang rumput itu.
Waktu terus berjalan dan habislah rumput yang berada di padang rumput itu sehingga semua wildebis harus segera bersiap untuk migrasi ke padang rumput lainnya yang rumputnya masih berlimpah. Migrasi adalah perjalanan jauh yang mau tidak mau harus dilakukan oleh kawanan wildebis itu agar mereka tetap dapat bertahan hidup di padang rumput yang tandus dan kering itu.
“Makanan sudah mulai habis Pak.” Kata ibu Wildebis kepada suaminya. “Iya Bu, tapi ketua belum memerintahkan kita bersiap-siap migrasi.” Jawab suaminya sambil memandangi Bison yang sedang tertidur lelap di sebelah ibunya. “Aku juga mengkhawatirkan si Bison. Apa sudah kuat ia menempuh perjalanan sejauh itu. “Aku lebih takut apakah kita bisa selamat saat menyeberangi Sungai Nil nanti. “Ya kita berdoa saja arusnya tidak kuat dan para keluarga buaya mau membantu kita” kata suaminya dengan ragu. “Tapi buaya itu sering ingkar janji dan oportunis. Ia senang kalau ada Wildebis yang tenggelam, terus diam-diam memangsanya.” “Tapi apa boleh buat, kita harus berhati-hati menyeberangi Sungai Nil itu”.
Beberapa hari kemudian ketua warga wildebis mengumumkan kepada semua keluarga wildebis bahwa migrasi segera dilaksanakan. Semua diminta bersiap-siap. “Kapan ketua kita move on?” kata seekor wildebis muda. “Tunggu hari baik Nak!” jawab Sang Ketua dengan suara yang berwibawa “Bukankah semua hari baik?” tanyanya lagi setengah mendebat jawaban sang pemimpin yang ia anggap tidak logis dan terlalu percaya pada takhayul. “Sabar anak muda. Mungkin Jumat Kliwon minggu depan kita bergerak” jawab ketua sambil pergi meninggalkannya begitu saja.
Hari Jumat Kliwon yang ditentukan sang ketua pun tiba. Semua wildebis bergerak ke selatan, ke padang rumput yang makanannya masih melimpah. “Mana Bison?” tanya ibu wildebis kepada suaminya. “Lho bukankah bersamamu?” jawab suaminya. “Tidak.” Jawab ibu wildebis penuh kekhawatiran. “Baiklah aku akan mencarinya.” Kata suaminya.
Ibu wildebis menangis karena setelah sekian lama mencari tak juga ditemukan anaknya. Para tetangga juga sudah ditanyai tetapi mereka juga sibuk mengurusi keluarga masing-masing sehingga tak sempat memperhatikan yang lain. Sesuai dengan kesepakatan bahwa resiko ditanggung sendiri bagi yang tertinggal.
Sementara itu, Bison yang tertinggal tak menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Suasana sepi memang ia rasakan dan ketika ia memandangi kiri kanannya ternyata tak ada teman sama sekali. ia baru menyadari bahwa Ia sendiri sekarang. Ia coba memanggil-manggil orangtuanya tetapi tak ada jawaban. Hanya desauan angin padang rumput yang terdengar keras. Ia mulai merinding ketakutan.
Dalam ketakutan, tiba-tiba muncul Leo. Bison ketakutan dan secara refleks berlari menyelamatkan diri. Leo terus mengejar Bison. “Tolong… tolong…” teriak Bison sambil terus berlari menghindari terkaman Leo.
Dalam ketakutan dan kepanikan dilihatnya Leoni, ibu singa yang pernah ditolong keluarganya. Tanpa pikir panjang ia minta perlindungan kepada Leoni. “Leoni tolong aku. Leo mengejarku dan ingin memangsaku.” Rengek Bison kepada Leoni sambil mengusap-usapkan kepalanya di leher Leoni. “Benarkah kamu Bison?” “Ya, aku anak wildebis yang pernah menolongmu” “Kenapa kamu tertinggal rombongan keluargamu? Mereka sudah bergerak ke selatan.” “Aku bermain terlalu jauh. Aku menyesal sekarang karena tidak menghiraukan pesan ibuku.”
Pada saat yang sama Leo menyerang dengan ganasnya. Leoni berusaha melindungi Bison dengan sekuat tenaga. “Hai Leoni apa kamu sudah gila?” “Apa katamu Leo?” “Kenapa kau melindungi Bison yang seharusnya jadi makan siang kita?” “Tidak Leo. Aku berhutang nyawa pada ayahnya. Aku pernah diselamatkan orangtuanya. Sudah sepantasnya hari ini aku membalas budi baik itu. “Dasar Singo Edan!” kata Leo sambil pergi meninggalkan mereka.