Kucing, iya, hewan yang selalu membuatku takut, apalagi ketika aku sedang berada di dekatnya. Oh iya, namaku Andrea Stefanie, panggil aja aku Andrea, tapi aku lebih sering dipanggil Dea. Pagi ini aku dan sahabatku Fhia sedang pergi ke kafe dekat rumahku, nama lengkapnya adalah Effhia Feline Ranggani, bagus kan? Secantik orangnya (Eaaakk…).
“De,” “Hmm?” “Kemarin aku beli kucing loh.” “What? Kamu nggak takut?” “Nggak, kok.” ucapnya sambil mengayunkan kakinya.
“By the way, kok kamu bisa takut gitu ya sama kucing?” sambung Fhia dengan maksud bertanya. “Itu gara-gara waktu kecil aku dicakar kucing, sampai berdarah. Jadinya bisa begini deh.” ucapku “Tunggu, Dea, kucingnya waktu itu kamu ketemuin di mana?” “Di jalanan.” “Terus kamu apain?” “Nggak sengaja nginjek ekornya.” ucapku polos. “Ya elah! Pantesan, De, kan kucing kalau terinjak ekornya bisa ngamuk…” “Oh iya, ya!” aku menepuk dahiku.
“Oke, sekarang kamu nggak usah takut lagi sama kucing, kan udah tau sebabnya kan?” “Tapi… aku masih takut.” “Haahh… Ya udah, besok kita ketemuan di taman, nanti aku bawa kucing aku ke sana ya?” tukas Fhia lalu langsung pergi. “Tapi…” aku pergi keluar. “Be brave Andrea! Nggak ada harapan yang nggak bercampur dengan rasa takut!” serunya padaku dengan bijak. Aku menghela nafas dan segera pulang. Ayo, Dea, kamu pasti bisa! Ayo semangat! batinku.
Keesokan harinya… Aku sudah di taman tempat kami akan bertemu. Terdengar kicauan burung yang merdu di dengar oleh telingaku. Itu membuatku bertambah semangat. You can do it, Dea! batinku menyemangati diriku sendiri.
Tap… tap… terdengar langkah kaki Fhia yang datang sambil membawa kandang kucing miliknya. “Hai, De!” dia meletakkan kandang itu disampingnya. “Hai juga.” “Oh iya, ini kucingku, Catty.” Dia kemudian membuka pintu kandang kucing tersebut, dan yang terjadi selanjutnya membuatku kaget. Meow… kucing tersebut mengeong sambil mengelus-elus pipinya ke kakiku. Aku mundur selangkah ke belakang. “Nggak papa, De. Dia jinak kok.”
Aku memandang kucing warna kuning keemasan tersebut, tanganku ingin mengelus bulunya, tapi pikiranku menolaknya. “Ayo, De, gak papa kok.” Fhia menarik tanganku ke punggung berbulu halus kucingnya itu. Aku menutup mata dan sejenak mengintip. Kucing tersebut mengeong, dan tampaknya dia keenakan aku belai. “Hahaha, ternyata nggak seburuk yang aku bayangin.” ucapku pelan sambil tertawa sendiri. “Ya kan. Kucingnya baik kok.” kata Fhia sambil nyengir. “Iya, Fhi. Makasih ya, hehehe.” ucapku lalu langsung ngacir. “Loh, Dea!” katanya heran karena aku langsung ngacir ke rumahku.
Waktu makan siang aku melihat mamaku di dapur sedang mencuci piring, “Ma…” “Iya?” “Boleh gak, aku beli anjing mini pom?” tanyaku. “Mini pom? Buat apa?” “Buat pelihara.” “Hmm, ya udah, besok kita beli di Pet Shop, yaa…” “Yay! Asik!”
—
“Hai, Fhi!” sapaku pada Fhia saat kami janjian di kafe waktu itu. “Ohh, hai juga, De!” balasnya. “Aku punya sesuatu nih buat ditunjukkan.” kataku. “Apaan tuh? Aku penasaran nih.” jawabnya antusias. “Ntar ya, kita take away dulu minumannya.” “Yaahh…” “Hehe.”
“Mau kemana nih kita?” “Biasa, ke taman, Fhi.”
“Ini nih, Fhi.” aku meletakkan kandang milik anjingku. Tahu tidak, namanya siapa? Namanya Yuri. Imuuttttt… banget deh, anjingku ini. Fhia nampak sedikit mundur dengan ekspresi ragu, tapi kemudian tersenyum dan maju ke dekat Yuri. “Awwwhhh… Imut banget, itu anjing mini pom ya?” “Iya.”
“Makasih ya, De.” “Makasih? Buat apa?” “Makasih udah hilangin fobia anjing aku.” “Hah? Kamu punya fobia sama binatang yang imut gini juga?” “Iya, soalnya dulu aku pernah dikejar anjing.” “Walahh… Fhia… Fhia, ckckck…” “Hehehe.”
Jadi kesimpulan cerita di atas itu adalah: Aku dan Fhia sama-sama punya fobia sama binatang anjing dan kucing, malah kebalikan dari hewan peliharaan kita masing-masing. Hahaha…